Minggu, 20 Juni 2010

BAHASA ARAB_Pokok Bahasan yang Tidak Perlu Diajarkan*

Seleksi materi dalam proses belajar mengajar bahasa Arab sangat diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua kosa kata serta aturan pemakaiannya dalam satu kesempatan yang terbatas. Pada penyusunan silabus dengan langkah seleksi ini pasti ada pokok-pokok bahasan yang tidak dipersiapkan sebagai bahan pembelajaran.
Tidak semua pokok bahasan dalam buku-buku yang berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab harus disajikan dalam proses pembelajaran. Alasan yang pertama adalah berkaitan dengan waktu penyampaiannya. Ada pokok bahasan yang disampaikan lebih dulu dan bahkan menjadi syarat untuk pokok bahasan berikutnya, dan ada pokok bahasan yang disampaikan belakangan sesuai dengan tata urut yang logis. bahkan ada yang diserahkan kepada para pelajar sendiri karena pertimbangan praktis bahwa materi bahasan itu cukup dipelajari sendiri dalam kasus untuk pendalaman dan atau sekedar untuk diketahui sepintas dan bukan untuk dilatihkan sebagai suatu keterampilan.
Adapun alasan kedua sebab materi pembelajaran itu tidak disajikan adalah karena kesalahan konsep dan orientasi. Untuk sebab pertama ini, yakni kekeliruan konsep atau pemahaman maka perlu diluruskan lebih dulu konsep yang keliru tersebut. Adapun untuk sebab kedua, yakni karena kekeliruan orientasinya, maka ini perlu penjelasan mengenai tujuan dan arah pembelajar pokok-pokok bahasannya agar tidak menghabiskan waktu untuk masalah yang mestinya tidak perlu diajarkan atau karena melenceng dari tujuan pembelajaran.
Pokok bahasan yang masuk dalam kriteria tidak perlu diajarkan dalam kasus ini adalah yang bersangkut paut dengan materi gramatika, yakni khusus ilmu nahwu. Berikut ini pokok bahasan yang dimaksud.

1. I'rab Taqdiri dan Mahalli
I'rab taqdiri adalah i'rab untuk kata-kata yang dianggap tidak memiliki tanda i'rab sehingga tandanya diperkirakan atau taqdiri. Disini terdapat kekeliruan konsep, yaitu ketika menyebutkan tanda i'rab yang diperkirakan.
Perlu dipahami bahwa suatu tanda itu adalah hissi, yakni dapat diindera. Bila tanda itu ditulis maka dapat dilihat tulisannya, dan bila tanda itu diucapkan maka dapat didengar tanda tersebut dan bila dibuang (hadzaf) maka dapat diketahui bahwa tanda itu tidak ditulis atau bunyi tanda itu tidak dapat didengarkan karena tidak diucapkan sehingga terasa ada yang kurang.
Suatu tanda itu bukan diperkirakan adanya tetapi memang ada dan konkret, karena tanda itu sebagai pembeda. Kalau tidak ada pembeda maka tidak ada tandanya dan kata yang tidak ada tanda i'rabnya tidak perlu lagi dibeda-bedakan atau diklasifikasi, karena kata yang tidak memiliki tanda pembeda itu akan tetap saja bentuknya dan tidak berbeda meskipun dibeda-bedakan.
Dalam hal kata yang tidak bisa dibeda-bedakan ini muncullah istilah mabni dalam ilmu nahwu. Untuk mengetahui i'rab kata yang dinyatakan sebagai kata mabni, maka caranya adalah senantiasa lebih dulu membutuhkan pemahaman tentang fungsi kata dalam kalimat, kemudian menentukan i'rab dan memperkirakan tanda i'rab kata itu. Dalam kasus seperti ini, yakni mengetahui i'rab kata setelah mengetahui maksud kalimat lebih dulu, maka proses penentuan i’rabnya adalah terbalik. Proses menentukan i’rab suatu kata yang lazim adalah memperhatikan tanda i’rab suatu kata untuk diketahui i’rabnya, dan setelah diketahui i’rab kata tersebut maka dapat ditentukan fungsinya dalam kalimat yang mengandung kata tersebut. Setelah mengetahui fungsi kata tersebut maka maksud kalimat dapat dipahami dengan benar.
Lain masalahnya bila sudah mengetahui maksud kalimat lebih dulu, maka perkiraan tanda i'rab kata dalam kalimat itu sudah tidak penting lagi. Kelihatan disini bahwa i'rab dan tanda i'rabnya tidak berfungsi dengan sebenarnya karena memang hanya perkiraan saja. Demikian juga untuk i'rab mahalli yang hanya diketahui ketentuan i'rabnya setelah dipahami maksud kalimat atau kedudukan dan fungsi kata itu dalam kalimat. Jadi materi bahasan i‘rab taqdiri dan mahalli ini tidak perlu diajarkan. Hal ini disebabkan adanya kekeliruan pemahaman konsep tentang i'rab dan fungsinya dalam ilmu nahwu sehingga muncul istilah yang kontradiktif, yakni memahami suatu tanda yang konkret sebagai sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu tidak ada manfaatnya kecuali untuk membuang-buang waktu saja.

2. Tanda I'rab Far'iy (Cabang)
Konsep tentang tanda i'rab asli dan cabang atau far'iy menganggap bahwa tanda i'rab yang asli itu adalah harakat dan sukun sementara yang lainnya adalah bukan asli tetapi cabang. Seperti dinyatakan demikian: bahwa ada empat tanda i'rab rofa' yakni dlommah, wawu, alif, nun, dan dlommah itu yang asli, …. Ada tiga tanda i'rab jazm, yakni sukun, membuang akhir kata, membuang nun, dan sukun itu yang asli (Musthofa al-Gholayaini: 1972, 18-9).
Dengan pernyataan tersebut di atas, maka tidak heran bila ada yang mengatakan bahwa tanda i'rab rofa' selain dlommah itu adalah tanda yang bukan asal tetapi cabang. Dinyatakan sebagai tanda cabang atau far'iy alasannya adalah karena tanda i'rab tersebut mengganti yang asli. Misalnya tanda dlommah sebagai tanda rofa' untuk ism mufrod disebut sebagai tanda asli sementara wawu sebagai tanda rofa' untuk kata jama' mudzakkar salim dianggap sebagai tanda i'rab cabang. Alasannya adalah bahwa wawu itu mengganti dlommah karena wawu lahir dari dlommah ketika di-panjangkan ('inda al-Isyba') (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t., 15-6).
Ini alasan yang diberikan untuk tanda i'rab rofa' wawu untuk jama' mudzkkar salim. Adapun untuk alasan bahwa alif itu adalah cabang dlommah maka dinyatakan bahwa alif itu saudaranya wawu (Ukhtuha) dengan alasan bahwa keduanya berasal dari huruf mad dan layn. Selanjutnya nun sebagai cabang dari dlommah itu alasan yang dikemukan adalah karena nun itu mendekati wawu dalam makhrajnya (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t, 15-6)
Dengan memperhatikan alasan yang dipakai untuk menunjukkan bahwa tanda i'rab cabang itu asalnya dari tanda yang asli, menjadi kelihatan bahwa tanda i'rab itu dipahami sebagai suatu unsur terpisah di luar kata yang memiliki tanda i'rab tersebut, seolah-olah tanda i'rab itu suatu unsur lain yang menempel pada kata dan bisa dibuang atau dihilangkan dari kata itu. Sebagai contoh bahwa tanda i'rab rofa' wawu, alif, dan nun itu dinyatakan berasal dari dlommah dengan berbagai argumentasi yang dipaksakan agar bisa diterima bahwa memang tanda i'rab rofa' asli itu bisa berubah menjadi tanda i'rab cabang atau setidak-tidaknya tanda itu masih sejenisnya. Padahal sudah diketahu bahwa berbedanya tanda i'rab itu karena berbeda jenis katanya.
Di samping itu tanda i'rab yang ada itu adalah unsur kata itu sendiri, bukan merupakan bagian lain yang menempel dan bisa dibuang begitu saja. Wawu sebagai tanda i'rab rofa' pada kata jenis jama' mudzakkar salim tidak bisa dibuang seperti kalau sedang malas menulis harakat pada kata jenis mufrod seperti muslim karena wawu pada kata jama' mudzakkar salim itu adalah bagian dari kata itu sendiri yang tidak bisa dibuang. Bagitu juga alif yang menjadi tanda rofa' bagi kata tasniyah tidak mungkin bisa dibuang karena alif itu merupakan bagian kata itu sendiri. Demikian juga nun yang menjadi tand i'rab rofa' bagi fi'il mudlori' yang disebut al-Af'al al'khomsah.
Dari uraian singkat tersebut di atas mestinya sudah bisa dipahami bahwa pada dasarnya tanda i'rab rofa' pada kata tatsniyah itu alif. Tanda alif itu bukan karena saudara wawu, tetapi memang asli karena alif sebagai tanda tatsniyah, begitu juga tanda-tanda yang lainnya adalah asli semuanya yang tidak bisa dibuang karena tanda itu merupakan unsur dari bunyi kata itu sendiri. Kalau tanda i'rab furu' saja tidak bisa dibuang, misalnya huruf wawu pada kata jama' mudzakkar salim, lalu bagaimana mungkin kita bisa membuang tanda asli, misalnya harakat dlommah dalam isim mufrod? Kajian singkat ini memberikan ketetapan bahwa tanda i'rab itu semuanya adalah asli, tidak ada tanda far'iy atau tanda cabang dan semuanya tidak bisa dibuang karena semuanya adalah unsur kata itu sendiri.

3. Badal Gholath.
Badal Gholath itu mengganti kata sebelumnya karena kekeliruan. Ini diterangkan dalam ilmu nahwu dengan contoh tertulis bah-wa yang diganti itu masih ada tertulis dan terletak sebelum kata yang mengganti, sebagai berikut:
أَعْطِ السَائِلَ ثَلاثةً أَرْبَعَةً
Kata Tsalatsatan masih ada dan ditulis sebelum kata Arba'atan yang berfungsi sebagai penggantinya atau badal. Badal ini namanya badal mubayin yang disebut juga dengan badal ghalath.(Hifni Bik Nasif dkk: t.t., 77).
Tinjauan terhadap kajian ini yang ditonjolkan adalah bahwa badal ghalat ini tidak boleh terjadi pada sebuah tulisan. Dalam ucapan bisa saja terjadi ada badal gholat, tetapi untuk tulisan yang keliru tidak akan dibiarkan keliru. Bila sudah diketahui ada kekeliruan maka segera dibetulkan, dengan cara dihapus atau diberi tanda salah atau dicoret. Karena itu badal gholath tersebut hanya diajarkan pada kekeliruan ucapan dan tidak layak diadakan dalam kajian tertulis karena tidak akan mungkin terjadi. Kalau tertulis demikian: "Ini buku Umar, Ali", dengan maksud kata Ali mengganti kata Umar, maka tulisan itu jelas keliru. Oleh karena keliru maka harus dibetulkan dengan dihapus, tidak dibiarkan dua nama tetap tertera begitu saja.
Perlu dijelaskan bahwa demikian ini hanya terjadi secara lisan dan tidak dalam tulisan. Ini yang menyebabkan materi badal ghalat tersebut tidak layak diajarkan dan tidak perlu dijadikan bahasan dalam ilmu nahwu.

4. Jumlah Laha Mahal Min al-I'rab wa al-Lati La Mahalla Laha Min al-I'rab.
Hampir di banyak buku ilmu nahwu diajarkan bab Jumlah Laha Mahal Min al-I'rab wa al-Lati La Mahalla Laha Min al-I'rab ini, padahal materi ini tanpa diajarkan akan diketahui dengan sendirinya bila sudah mengerti bahwa tempat i'rab atau klasifikasi itu ada pada kata bukan ada pada jumlah. Artinya, tiap kata yang beri'rab dan disebut mu'rob kemudian tempatnya ditempati oleh yang lainnya, misalnya ditempati oleh jumlah, maka jumlah itu ikut-ikutan dii’rabi atau diklasifikasikan seperti kata atau ism mufrod semula.
Pekerjaan klasifikasi atau mengi'rabi jumlah ini tidak ada gunanya. Tidak ada tanda i’rab untuk jumlah. Kalau maksud kalimat sudah dipahami maka sudah tidak diperlukan lagi menentukan i'rab suatu kata apa lagi jumlah. Oleh karena itu mengajarkan materi ini sama saja dengan membuang-buang waktu.

5. Ahkamu Ma Ba’da al-Wawi
Bab Ahkamu Ma Ba’da al-Wawi ini ada pada sub bab maf'ul ma’ah. Judul tersebut (Ahkamu Ma ba'da al-Wawi) maksudnya adalah wawu al-ma'iyah, bukan wawu lainnya, tetapi ternyata dalam bahasannya dimasukkan juga wawu yang lainnya, yakni wawu 'ataf. Artinya, keterangan dalam bahasan wawu ma'iyah ini menunjukkan bahwa di belakang wawu itu bisa ditentukan i'rabnya menjadi i'rab yang mengikuti, seperti 'athof atau bisa menjadi maf'ul ma'ah (Musthofa al-Gholayaini: 1972,70-4).
Pada judulnya saja sudah mengandung pengertian bahwa yang dimaksud dengan ma ba'da al-'wawi itu adalah wawu ma'iyah. Jadi semestinya i'rab kata setelah wawu adalah nashab sebagai maf'ul ma'ah, bukan lainnya. Akan tetapi ternyata kelihatan bahwa bahasan disitu mempunyai tujuan untuk menunjukkan bagaimana cara membaca tulisan bahasa Arab yang tidak berharakat, yakni untuk mengetahui i'rab kata setelah wawu. Dan bila dipahami bahwa yang dimaksud dengan wawu itu wawu ma'iyah maka setelahnya adalah beri'rab nashab sebagai maf'ul ma'ah.
Ketika isi kajiannya menjadi tidak disiplin, yakni tidak fokus pada maksud wawu ma'iyah, maka ada kerancuan dalam kajian ini yang tidak layak untuk diajarkan. Di samping itu materi ini tidak layak dajarkan karena oreintasinya adalah bahwa ilmu nahwu itu dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul, dan ini sudah keliru sejak awal, karena ilmu nahwu bukan alat untuk membaca kitab gundul, tetapi bagaimana memahami kalimat yang sudah konkret disampaikan oleh pembicara atau penulis.

6. Al-Mubtada' Lahu Marfu'.( المتدأ له مرفوع ).
Al-Mubtada' lahu marfu' dikenal dengan Al-Mubtada' as-shifah. Al-Mubtada lahu marfu' ini disebut lagi sebagai al-Mubtada' alladzi lahu fa’il sadda masadda al-khobar.
Dinyatakan sebagai mubtada' dengan dua syarat (Abd al-Syakur Rahim: 1979, 35-6) yaitu:
a. Mubtada' tersebut adalah ism fa'il atau ism maf'ul mufrod/ tunggal dan didahului dengan nafi atau istifham, misalnya
مَا قائِمٌ الرَجُلانِ, مَا مَضْروبٌ الناجِحانِ,
أَ قَاِئمٌ الطُلاّبُ؟, هَلْ مُحْتَرَمٌ الطالِبَانِ
b. Fa'il atau na'ib al-fa'il terdiri dari ism dhohir atau dlomir munfasil, misalnya:
مَا حَاضِرٌ التِلْمِيْذُ, , مَا مَحْبُوْبٌ الكَسْلانُ.
هَلْ مُجَاهِدٌ أنْتُم؟ هَلْ مُحْترَمٌ أنْتَ أيُّهَا الأسْتاذُ؟
Kata-kata yang dimaksud sebagai mubtada' tanpa khobar itu ada yang menyebutnya sebagai sifat (al-wasfu) dan yang dimaksud dengan sifat itu adalah ism fa'il, ism maf'ul, as-shifah al-musyabbahah, af'al al-tafdlil, ism mansub (yang dinisbahkan). Semuanya itu menduduki tempat fi'il, yang berarti juga beramal sebagai amal fi'il, karena itu tidak boleh tatsniyah, tidak jama', tidak disifati, tidak ma'rifat, dan tidak ditashghir (Ahmad al-Hasyimi: 1354 H, 139-40), dan setelahnya itu adalah fa'il atau na'ib al-fai'ilnya yang dikatakan sedang menduduki tempat khobar.
Fa'il atau na'ib al-Fa'il itu tidak mugkin dikatakan sebagai khobar karena tidak memenuhi syarat khobar. Sementara untuk kata yang depan yang dinyatakan sebagai mubtada' itu karena berjenis ism dan letaknya di depan sebagaimana sering dikatakan bahwa mubtada' adalah ism marfu' di awal jumlah. Kelihatan jelas sekali bahwa menentukan fungsi kata sebagai mubtada' hanya karena ter-pengaruh definisi yang menyatakan bahwa mubtada' itu ism marfu' fi awwali al-jumlah yang mestinya definisi demikain perlu ditinjau kembali, dengan bukti bahwa tidak semua mubtada' itu di depan karena ada juga yang di belakang seperti mubtada' mu'akhkhor.
Dalam setiap jumlah ismiyah itu ada mubtada' dan khobar. Disini ada mubtada' tanpa khobar. Tetapi bila dinyatakan sebagai jumlah fi'li-yah tenyata bukan fi'il meskipun pada kenyataannya semua sifat itu diamalkan sebagai fi'il, yang terbukti tidak tatsniyah, tidak jama' dan seterusnya sebagai syarat jumlah fi'liyah yang terdiri dari fi'il dan fa'il.
Selanjutnya menetukan i'rab seperti ini lebih layak dengan cara mendekati pemahaman maksud kalimat melalui struktur demikian itu. Artinya, sifat yang disebut sebagai mubtada' al-sifah itu dinyatakan sebagai musnad dan fa'il setelah itu dinyatakan sebagai musnad ilaih.
Dalam kaitannya dengan pengertian kalimat maka perlu analisis struktru mubtada lahu marfu’ tersebut beserta maksud yang dikandungnya. Untuk itu perlu diperhatikan contoh-contoh berikut:
1- أ مُجَاهِدٌ الطَالِبُ؟ 2- أ مُجاهِدٌ الطالبانِ؟ 3- أ مُجاهِدٌ الطَلَبَةُ؟
4- أ مُجَاهِدَانِ الطالبُ؟ 5- أ مُجاهِدانِ الطالبانِ؟6- أ مُجاهِدانِ الطلبة؟
7- أ مُجَاهِدُوْنَ الطالِبُ؟ 8- أ مُجاهِدون الطالبانِ؟9- أ مُجاهِدونَ الطَلَبَةُ؟
Contoh kalimat-kalimat tersebut di atas tidak semuanya betul. Contoh kalimat di atas yang memenuhi syarat struktur bahasa Arab adalah kalimat-kalimat nomor 1, 2, 3, 5, dan nomor 9. Sedangkan nomor 4, 6, 7, dan 8 tidak bisa dibenarkan dalam struktur bahasa Arab.
Dalam menentukan i'rabnya maka dinyatakan bahwa untuk contoh nomor 1 yakni:
أَ مُجَاهِدٌ الطَالِبُ؟
memiliki analisis i'rab dua macam yaitu (1) bahwa kata "mujahid" adalah khobar muqaddam dan "al-Thalib" adalah mubtada' mu'akh-khor, dan (2) bahwa kata "mujahid" adalah mubtada' al-sifah (yang tidak memiliki khobar) dan kata "al-Thalib" adalah fa'il yang menduduki tempat khobar (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 91). Dapat diperhatikan dengan seksama bahwa satu model struktur tersebut dianalisis dengan dua macam i'rab (klasifikasi kata) dalam satu kesempatan, yakni mubtada'nya itu kata mujahid dan kata al-Thalib. Artinya, klasifikasi kata atau pengi'raban itu pada dasarnya adalah untuk menentukan apa maksud kalimat, seperti menentukan bahwa kata mujahid itu adalah mubtada' maka terkandung pengertian di dalamnya bahwa kata mujahid itu adalah musnad ilaih atau pokok kalimat.
Kalau dalam klasifikasi kata (pengi'raban) ditentukan juga bahwa kata al-Thalib itu adalah fa'il yang terkandung juga di dalamnya pengertian bahwa fa'il itu adalah musnad ilaih, maka musnad ilaihnya berpindah-pindah, yakni satu struktur kalimat itu memiliki dua maksud yang tidak sama. Tentu saja timbul pertanyaan: apa maksud kalimat itu sebenarnya? Secara sederhana terjemahannya demikian: Apakah pelajar itu rajin? Terjemahan demikian adalah model bahwa kata mujahid itu khobar dan mubtada'nya atau musnad ilaihnya atau pokok kalimatnya adalah al-Thalib. Maka bagaimana menterjemahkan klasifikasi kata kedua yang menyata-kan bahwa kata mujahid itu mubtada' atau musnad ilaih atau berarti itulah pokok kalimatnya? Kalau ada yang menterjemahkan dengan model kedua demikian: Apakah yang rajin itu seorang pelajar? Maka terjemahan ini tidak memenuhi ketentuan struktur. Kata Mujahid tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan "yang rajin itu" yang berarti ma'rifat padahal kata mujahid tersebut adalah nakirah dan tidak bisa diterjemahkan dengan "yang rajin itu".
Lagi pula tidak akan terjadi dalam suatu kalimat ternyata pokok kalimatnya dua dan tidak ada keterangannya (predikatnya) ketika diklasifikasi (dii'rabi) bahwa kata mujahid itu mubtada' dan kata al-Thalib itu fa'il yang berarti keduanya adalah musnad ilaih atau pokok kalimat. Dengan demikian akan menjadi lebih baik bila dii'rabi dengan model bahwa kata "mujahid" itu khobar muqaddam atau bila tidak dapat dinyatakan sebagai khobar misalnya seperti pada contoh nomor 2 dan 3 maka sebaiknya dinyatakan sebagai ism yang beramal sebagai fi'ilnya sebagaimana sering dilaksanakan demikian bahwa ism fa'il itu bisa beramal sebagaimana fi'ilnya dan kenyataannya demikian dengan syarat tidak boleh tatsniyah atau jama' dst. Sedangkan kata al-Thalib dinyatakan sebagai fai'lnya yang berarti musnad ilaihnya. Maka dengan i'rab demikian pengertian struktur kalimat bisa dipahami dalam satu maksud, yakni: “Apakah pelajar itu rajin?” I'rab demikian tidak berlaku untuk con-toh nomor 5 dan 9. Namun dapat dipahami bahwa struktur demikian menunjukkan bahwa musnad ilaih atau pokok kalimatnya adalah berada di akhir kalimat (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 91-2).
Dari kajian tersebut di atas dapat dipahami bahwa mengkalsifikasi kata (mengi'rabi kata) dalam kalimat dengan struktur demikian tidak sepantasnya dengan menunjukkan kata nakirah itu sebagai mubtada' meski didahului oleh nafi atau istifham. Dengan kelanjutan bahwa pengi'raban demikian tidak ada manfaatnya serta menyebabkan kekeliruan dalam pemahaman.
Penyebutan bahwa materi ini tidak perlu diajarkan adalah disebabkan kekeliruan pemahaman terhadap struktur yang diawali dengan ism nakirah dan didahului dengan adanya nafi dan istifham, yang seolah-olah ism itu berarti sudah memenuhi syarat mubtada' yang ditunjang dengan definisi bahwa mubtada' itu ism marfu' di awal kalimat, padahal keterangan tentang tempat mubtada' di awal kalimat itu kadang-kadang saja, bukan substansi tempat mubtada' mesti di awal kalimat. Ketika kata "mujahid" dipaksakan sebagai pokok kalimat maka pengertiannya tidak masuk akal karena tidak sesuai dengan yang dikehendaki struktur kalimat itu.

7. Hadzfu al-Mubtada’ Wa al-Khobar Wujuban.
Bahasan tentang hadzfu al-mubtada' wujuban dan hadzful al-khobar wujuban menerangkan bahwa ada sebuah kalimat yang mubtada'nya tidak boleh ditampilkan, demikian juga sebaliknya ada kalimat yang khobarnya tidak boleh ditampilkan.
Contoh pada kasus hadzfu al-mubtada' wujuban sebagai berikut:
فِىْ ذِمَّتِىْ لأَخْلَعَنّ رَدَاءَ الكَسَلِ,
فِىْ عُنُقِىْ لأبْذُلَنّ كُلّ جُهْدِىْ,
Dalam kalimat-kalimat tersebut tidak ditemukan ism marfu' di awal jumlah sehingga tidak bisa ditemukan mubtada'nya, tetapi dalam kalimat itu ditemukan jir majrur yang bisa difungsikan sebagai khobar, yakni khobar syibhu al-jumlah. Kata-kata dalam kalimat tersebut yang dianggap sebagai khobar syibhu al-jumlah adalah:
فِىْ ذِمَّتِىْ, فِىْ عُنُقِىْ.
Anggapan tersebut berlandaskan pada kebiasaan bahwa setiap kalimat itu terdiri dari mubtada' dan khobar. Jadi kalau salah satunya tidak ada maka seperti ada keharusan untuk dipahami bahwa yang tidak ada itu asalnya ada dan sedang dibuang. Dalam contoh tersebut yang dianggap tidak ada adalah mubtada'nya. Akan tetapi kalau diumpamakan mubtada'nya dimunculkan maka tidak mungkin karena menyebabkan berubahnya makna dari pemahamannya, struktur bersumpah menjadi kalimat biasa. Oleh karena itu dinyatakan bahwa mubtada'nya tidak boleh ada dengan kata lain mubtada'nya dibuang secara wajib atau hadzfu al-mubtada' wujuban.
Anggapan seperti itu serta keinginan menganalisis semua kali-mat dengan struktur mubtada'-khobar menyebabkan munculnya bahasan hadzfu al-Mubtada' wujuban tersebut. Padahal seperti diketahui bahwa kalimat ini memiliki struktur tersendiri, yakni un-tuk sumpah, yang berbeda dengan struktur kalimat biasa. Jadi tidak boleh dianalisis sama dengan menganalisis kalimat dengan struktur mubtada-khobar. Kalau itu yang terjadi maka pemahaman maknanya berbeda, tidak lagi dengan aksen sumpah tetapi dengan gaya bahasa datar sebagai subyek dan predikat atau mubtada'-khobar seperti cerita biasa tidak ada aksen sumpah, dan demikian ini tidak dibenarkan dalam memahami maksud kalimat dengan struktur qasam (bersumpah) tersebut karena tidak menunjukkan pembicaraan dengan nada sumpah.
Contoh lain Ni'ma dan Bi'sa dengan struktur khusus demikian:
نِعْمَ الأسْتَاذُ صَلاحُ الدِّيْنِ,
نِعْمَتِ الأمُّ أسْمَاءُ بِنْتُ أبِىْ بَكْرٍ,
بِئْسَ الخُلُقُ خَلْفُ الْوَعْدِ
Stuktur kalimat dengan menggunakan fi'il ni'ma dan bi'sa yang kemudian diikuti dengan kata ism dan selanjutnya diikuti dengan kata sebagai keterangan (atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pelengkap) maka penterjemahannya menjadi demkian:
-Sebaik-baik guru adalah Sholahuddin,
-Sebaik-baik ibu adalah Asma' binti Abu Bakr, dan
-Seburuk-buruk akhlaq adalah mengingkari janji.
Kalimat tersebut dengan struktur berbeda dari susunan mubtada'-khobar. Maksud kalimat tersebut adalah memuji dengan memakai kata "ni'ma" dan mencela dengan memakai kata "bi'sa". Pada kasus ini disebutkan bahwa analisisnya menyatakan bahwa mubtada'nya wajib dibuang. Artinya, bahwa dalam kalimat itu dibayangkan ada mubtada'nya tetapi tidak boleh dimunculkan. Disebutkan bahwa mahsus ni'ma dan bi'sa yang dalam contoh tersebut adalah kata-kata setelah al-ustadz, al-Um, dan setelah al-Kholq, yakni:
صَلاحُ الدِّينِ, أسْمَاءُ بِنْتُ أبِى بَكْرٍ, خَلْفُ الوَعْدِ.
Kata kata tersebu dinyatakan fungsinya sebagai khobar dari mubtada' yang dibuang (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 74).
Kalau analisis ini diterapkan maka pengertian memuji dengan struktur itu menjadi tidak ada, dan berubah menjadi struktur mubtada'-khobar, sebagai pernyataan biasa, bukan pujian. Menganalisis dengan cara demikian ini berarti mengubah makna dari pujian menjadi kalimat biasa. Ini tidak dibenarkan. Ini yang perlu diperhatikan sehingga ketika terdapat struktur pujian maka pemaknaannya juga pujian bukan statemen biasa yang berubah dari maksud kalimat dengan struktur pujian (ni’ma) atau celaan (bi'sa).
Perlu dipahami bahwa makna kalimat dengan pernyataan biasa berbeda dengan kalimat dengan maksud memuji (ni’ma). Pujian diikuti dengan perasaan keinginan untuk menghargai atau berkaitan dengan perasaan yang semestinya terkandung dalam pujian. Misalnya seseorang memuji, betapa bagusnya sebuah baju yang ada di sebuah toko, maka pujian itu mengandung pengertian mengagumi, menyenangi dan menghargainya. Sementara bila pernyataan biasa tentang baju yang bagus, maka.pernyataan demikian tidak harus diikuti dengan perasaan memuji atau mengagumi. Pernyataan itu sekedar sebuah pernyataan biasa, tidak seperti dalam struktur pujian dengan memakai kata ni'ma.
Dalam kasus membuang khobar yang wajib dengan alasan bahwa mubtada'nya itu ism shorih jelas-jelas untuk qasam/sumpah (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 77), misalnya:
لعَمرُكَ لأُخْلِصَنّ لك الودّ,
يَمِيْنُ اللهِ لأُنْصِفَنّ المظلومَ,
أيْمَنُ اللهِ لأشْكُرَنّ المُنْعِمَ
Dari contoh tersebut dinyatakan bahwa tiga kalimat itu semuanya adalah mengandung maksud qasam atau bersumpah. Kata-kata yang menunjukkan sumpah itu adalah kata-kata yang pertama atau di awal kalimat, yaitu:
لَعَمْرُكَ .... , يَمِيْنُ اللهِ ......, أيْمَنُ اللهِ .......
Masing-masing dianggap sebagai mubtada' kemudian tidak ditemukan khobarnya, tetapi yang ada adalah kalimat sebagai jawab-an dari qasam. Kalau dianalisis dengan struktur mubtada'-khobar maka khobar-khobarnya dimunculkan dengan terpaksa sebagai berikut:
لَعَمْرُكَ قَسَمِىْ.... , يَمِيْنُ اللهِ قَسَمِىْ......., أيْمَنُ اللهِ قَسَمِىْ.......
Struktur demikian tidak menunjukkan struktur qasam, tetapi struktur mubtada'-khobar sebagai kalimat biasa. Oleh karena maksud kalimat adalah untuk bersumpah maka tidak boleh menampilkan kata yang dianggap sebagai khobar tersebut, yang menyebabkan berubahnya struktur qosam menjadi struktur kalimat biasa. Dengan demikian bahasan hadzfu al-khobar wujuban tidak layak diajarkan karena akan menggunakan analisis yang menyebabkan berubahnya maksud kalimat dari struktur qasam.
Kalaupun struktur tersebut diajarkan maka harus tetap menganalisis struktur tersebut sebagai struktur qosam, dan tidak boleh dianalisis dengan struktur mubtada'-khobar. Dengan demikian maka pemahaman tetap sebagaimana maksud sturktur itu. Bisa jadi untuk pengenalan struktur itu adalah dengan mengenalkan kebiasaan qosam yang menggunakan kata-kata tertentu untuk qosam dan diikuti dengan kalimat sebagai jawabannya, yakni apa yang disumpahkannya dengan struktur fi'il mudlori' yang dimulai dengan lam ta'kid dan seterusnya. Dengan demikian pemahaman dan aksennya sesuai dengan maksud kalimat yang diucapkan, tidak dibebani dengan pemikiran tentang kewajibannya membuang khobar atau mencari-cari khobar buatan dari perkiraannya sendiri yang asalnya tidak pernah ada dalam struktur tersebut.

8. Struktur Ta’ajjub
Pada pemberian materi ta’ajjub tidak perlu dianalisis dengan struktur mubtada’-khobar dengan menunjukkan bahwa mubtada' dalam kalimat itu adalah kata di awal (مَا ) misalnya:
مَا اَكْرَمَ الْمُخْلِصِيْنَ
Kalau kata di awal itu (مَا ) disebut sebagai mubtada' nakirah yang berarti sesuatu, maka akan dicari khobarnya dalam bentuk fi'il dengan wazan af'ala seolah-olah untuk "ta'diyah" dan fai'lnya mesti tersembunyi kembali ke (مَا ), kemudian yang terakhir adalah maf'ul ((Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 63). Setelah itu memahaminya dengan pengertian biasa tidak dengan pengertian keheran-heranan (ta'ajjub). Ini yang harus dihindari.
Dengan demikian untuk pengajaran struktur ini cukup diberikan keterangan kepada subyek didik bahwa setiap kali ada bentuk kalimat sedemikian rupa, yakni dimulai dengan "ma" dan diikuti dengan lafad berwazan af’ala kemudian diikuti dengan ism ma'rifah beri'rab nashab maka itu menunjukkan maksud keheranan (Ta'ajjub), misalnya strukturnya disusun sebagai berikut:
ما + أفْعَلَ + هُ
Atau dengan susunan sebagai berikut:
أفْعِِلْ + به
Diharapkan dengan model-model yang tetap memperhatikan struktur dan tidak berusaha menganalisis sebagai struktur mubtada'-khobar maka pemahaman dapat sesuai sebagaimana maksud kalimat dan tidak membayangkan hal-hal yang dibuang atau diperkirakan (muqoddaroh). Dengan model analisis yang sederhana maka dapat diperoleh kemudahan dan selanjutnya timbullah kesan positif terhadap bahasa Arab.

9. Jumlah Haliyah
Dalam buku-buku ilmu nahwu dikenal istilah jumlah haliyah dan diajarkan bergandengan dengan keterangan tentang al-hal. Dari satu sisi mestinya kajian itu jauh berbeda sama sekali, karena ada perbedaan jauh yaitu antara al-hal dan jumlah haliyah seperti jauhnya perbedaan antara fi'il dan jumlah fi'liyah.
Dalam kenyataannya menjadi sangat jelas perlu dipilah kajiannya karena pada dasarnya untuk mengetahui al-hal itu dari bentuk kata dan i'rabnya, sementara untuk mengetahui jumlah haliyah ternyata dari pemahaman lebih dulu. Begitu juga ketika merujuk kem-bali pada definisi al-hal maka jumlah haliyah itu sama sekali tidak termasuk dalam kajian tentang al-hal. Al-Hal itu menerangkan keadaan shohibul hal ketika sedang terjadi fi'il. Sementara jumlah haliyah tidak menerangkan shohibul hal. Contohnya
حَضَرَ الضُيُوْفُ وَ المُضِيفُ غَائِبٌ
غَابَ أخُوْكَ وَ قَدْ حَضَرَ جَمِيْعُ الأصْدِقَاءِ
أبْصَرْتُ الخَطِيبَ فَوْقَ المِنْبَرِ
تألّمَ الطائِرُ فِىْ القفَصِ
Ketika mendefinisikan al-hal dinyatakan bahwa al-hal itu adalah isim mansub yang menerangkan keadaan fa'il atau maf'ul bih ketika terjadi peristiwa/perbuatan fa'il atau ketika maf'ul itu dikenai peker-jaan. Ini dinyatakan demikian (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: t.t., 96).
الحَالُ اِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيِّنُ هَيْئَةَ الفَاعِلِ أوْ المَفْعُولِ بِه حِيْنَ وُقُوْعِ الفِعْلِ
Setelah definisi itu diteruskan dengan contoh-contoh dan mene-rangkannya bahwa Hal itu ada yang isim mufrod, ada yang jumlah ismiyah dan ada yang jumlah fi'liyah, dan ada yang dhorof dan ada yang jar dan majrur, yang dinyatakan demikian (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: t.t. 98).
تَجِىْءُ الحالُ اِسْمًا مُفْرَدًا وَجُمْلَةً اسْمِيةً وَجُمْلَةً فِعْلِيَةً وَظَرْفًا وَجارًّا وَ مَجْرُورًا
Dari empat contoh di atas sudah kelihatan bahwa apa yang dimaksud dengan jumlah ismiyah sebagai hal dan jumlah fi'liyah berupa dhorof dan juga berupa jar dan majrur itu ternyata tidak menerangkan keadaan shohibul hal, tetapi menjadi keterangan lainnya tentang tempat atau keadaan lingkungannya. Ini berbeda dari pengertian atau definisi hal yang menerangkan sohibul hal.
Analisis ini untuk menunjukkan bahwa jumlah haliyah yang berupa jumlah ismiyah atau berupa jumlah fi'liyah atau berupa dhorof dan berupa jar majrur itu sebetulnya menambah keterangan yang tidak perlu, atau hanya membuang-buang waktu karena hanya mempelajari apa yang sudah diketahui fungsinya. Tanpa materi jumlah haliyah itu kiranya sudah dapat dipahami bahwa jumlah tersebut menerangkan keadaan atau hal pada jumlah sebelumnya.
Demikian beberapa contoh pokok bahasan yang tidak perlu diajarkan karena kekeliruan konsep dan orientasi pembelajarannya. Dalam hal kekeliruan konsep maka pokok bahasan itu baru bisa menjadi layak untuk diajarkan kalau konsepnya sudah dibetulkan. Demikian juga dalam hal kekeliruan orientasi pembelajarannya, maka pokok bahasan demikian ini bisa diajarkan dengan catatan sudah diluruskan orientasi pembelajarannya.
*Saidun Fddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 57-73
________________________
Kepustakaan
Musthofa al-Gholayaini, Jami' al-Durus al-'Arabiyah (Beirut: Shida, Vol. I, 1972), .
Abdullah bin Ahmad al-Fakihi, Syarhu al-Fawakih al-Janiyah 'ala Mutammimah al-Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma'arif , t.t.),
Hifni Bik Nasif dkk, Kitab Qawa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li al-Talamid al-Madaris al-Tsanawiyah (Surabaya, Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, t.t.),
Abd al-Syakur Rahim, Mufid al-Mustafid Fi Lughat al-Qur'an al-Majid (Jakarta: Akadimiyah al-Lughah al-'Arabiyah, 1979),
Ahmad al-Hasyimi, Al-Qawa'id al-Asasiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1354 H),
Ali al-Jarim wa Musthofa Amin, Al-Nahwu al-Wadlih Fi Qawa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li al-Madaris al-Tsanawiyah (Mesir: Dar ala-Ma'arif, Vol. I, 1950),
Ali al-Jarim dan Musthofa Amin, Al-Nahwu al-Wadlih Fi Qowa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li Madaris al-Marhalah al-Ula (Libanon: Dar al-Ma'arif, t.t., vol . III),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan