Kamis, 03 Juni 2010

BAHASA ARAB_Kendali Pengembangan Bahasa Arab*

Perlu diperhatikan juga bahwa ada saja faktor lain yang menjadi pendorong untuk berkembangnya pemakaian bahasa Arab, yakni bangkitnya kembali minat kaum cendekiawan, khususnya kaum profesi dari angkatan muda, untuk mencari jati dirinya sebagai muslim. Tidak ada aspek kehidupan agama Islam dan wawasannya yang terlepas dari perhatian mereka, antara lain tampak dari pencarian mereka akan pola kehidupan yang Islami, dan upaya pencarian identitas keislaman yang lain. (Abdurrahman Wahid:1990, 5) Di samping itu ada juga kebutuhan kaum cendekiawan untuk mencari informasi dari kawasan muslim yang lain seperti di Timur Tengah dalam upaya mencari wawasan kebangsaan yang tidak mengurangi intensitas kehidupan beragama mereka.
Dengan membanding-bandingkan berbagai faktor pendorong bagi perkembangan pemakaian bahasa Arab di Nusantara ini serta kendala-kendalanya maka kelihatan jelas bahwa faktor agama masih jauh lebih dominan dibanding dengan faktor-faktor lainnya, seperti ekonomi, sosioal budaya serta faktor akademik. Artinya, meskipun bahasa Arab sudah dinyatakan sebagai bahasa resmi sejak tahun 1973 oleh UNESCO sebagai bahasa Internasional, ternyata motif kuat untuk belajar bahasa Arab masih terfokus pada agama.
Bukti lainnya bahwa dorongan untuk belajar bahasa Arab bertumpu pada faktor agama adalah masuknya bahasa Arab itu sendiri di Nusantara berkaitan erat atau bersamanaan dengan masuknya Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa di belahan dunia mana saja hanya mengenal bahasa Arab karena datangnya Islam. Bahkan faktor agama ini yang diuji dengan kepentingan duniawi, yakni sosial, politik dan ekonomi sehingga terkenal bahwa bahasa Arab justru rusak karena masuknya orang 'Ajam ke dalam Islam, sejak zaman Nabi Muhammad saw., yang mana kerusakan itu dikenal dengan lahn (Muhammad at-Thanthawi: 1997, 9) Mereka yang ingin menjaga bahasa Arab umumnya adalah yang punya kepedulian tinggi terhadap agama Islam dan menganggap bahwa bahasa Arab adalah simbol keislamannya. Makin tinggi kepedulian itu makin tinggi semangat untuk mengembangkan pemakaian bahasa Arab. Upaya untuk melahirkan motif-motif belajar bahasa Arab terus dikembangkan. Maksudnya tidak lain adalah agar lebih banyak lagi yang mempergunakan bahasa Arab dengan aktif.
Memang tidak bisa diingkari bahwa kepedulian terhadap nuansa agama masih belum bisa mendorong untuk belajar bahasa Arab dan mempergunakannya dengan aktif. Terbukti digunakannya bahasa Arab di Nusantara ini dengan pasif sejak masuknya Islam, sehingga lagi-lagi bukan hanya bahasanya yang mengalami kecampuran dengan bahasa lain, tetapi tulisan Arab digunakan pula untuk menulis bahasa Latin atau Melayu dan Jawa. Kemudian dikenallah tulisan pegon dengan huruf Arab yang harus dimodifikasi untuk melambangkan bunyi “P”, “G” atau lainnya seperti bunyi “NG”,-yanga masing-masing dilambangkan dengan huruf fa', kaf, dan 'ain yang semuanya dengan tiga titik. Tulisan Arab justru yang terseret untuk memenuhi kebutuhan bahasa lokal, bukannya Islam yang menarik agar mempelajari bahasa Arab melalui tulisannya. Meskipun demikian, tulisan pegon tersebut masih terasa bernuansa Islam sehingga tulisan pegon digemari dan bahkan dipertahankan oleh tokoh-tokoh agama Islam seperti para "ustadz". Melalui jenis tulisan ini diharapkan muncul motif baru untuk mempelajari bahasa Arab. Suatu proses halus dalam membangun citra bahasa Arab. Barangkali karena begitu halusnya sehingga proses itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap upaya pengembangan pemakaian bahasa Arab.
Bahasa Arab berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sejarah dan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa melupakan peran bahasa Arab dalam mewarisi dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada saat-saat kritis. Selama berabad-abad yang lalu bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmu. Sayang sekali dalam pertemuan forum-forum ilmiah antar pakar Islam di dunia Islam bahasa Arab masih belum berfungsi secara penuh. Bahasa Inggris dan Prancis masih dominan untuk menjembatani pertemuan fikiran sesama umat Islam (Moh. Ghufron Zainal Alim: 1990, 15). Fenomena ini akan membangkitkan kesadaran bahwa umat Islam belum bisa memakai bahasanya sendiri, bahasa kitab sucinya. Pada masanya nanti kekosongan ini harus diisi oleh generasi muslim sendiri.
Kekosongan atau minimnya pemakai bahasa Arab dalam pertemuan internasional tersebut bisa direkayasa menjadi motif untuk mendorong semangat para pelajar bahasa Arab. Artinya, semangat untuk bisa terampil dalam berbahasa Arab perlu dimiliki, karena dengan memiliki keterampilan berbahasa Arab akan senantiasa mendapat kesempatan dipilih atau ditunjuk untuk menjadi duta dalam pertemuan-pertemuan ilmiah di luar negeri yang menyangkut keislaman. Ini suatu upaya, senyampang belum banyak yang bisa bahasa Arab maka kesempatan untuk berprestasi dan memperoleh pretise dalam bahasa Arab terbuka lebar. Perlu ditonjolkan ‘aji mumpung’, yakni senyampang masih sedikit yang ahli bahasa Arab maka keberadaannya sangat dibutuhkan mulai dari ruang kelas terbatas sampai pada pertemuan kelas internasional yang luas.
Akhirnya menjadi kelihatan lebih jelas bahwa motif paling kuat untuk belajar bahasa Arab adalah lingkungan di mana bahasa Arab sangat diperlukan sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa Arab menjadi sangat efektif dan efisien bila berada dalam lingkungan yang kondusif. Nuansa Islam akan menonjol dengan sendirinya dalam suatu lokasi pembelajaran bahasa Arab yang serba Arab. Tidak perlu agama menjadi motif belajar bahasa Arab. Pemakaian bahasa Arab secara aktif diciptakan, misalnya ketika dalam proses belajar mengajar di kelas. Segala informasi yang tertulis ditampilkan dengan bahasa Arab, mulai dari yang paling sederhana seperti papan untuk menyebutkan kantor dinyatakan dengan tulisan bahasa Arab: (الادارة) dan sebagainya.
Penciptaan kondisi yang memaksa harus berbahasa Arab adalah suatu rekayasa. Rekayasa ini perlu dimaksimalkan sehingga keterpaksaan itu menjadi suatu kebiasaan yang menarik. Ini merupakan antisipasi terhadap pengembangan bahasa Arab di masa yang akan datang. Rekayasa maksimal ini merupakan kendali pengembangan bahasa Arab. Agar rekayasa tersebut tidak menjadi momok yang menakutkan dan terkesan memaksa, maka harus diimbangi dengan upaya menjadikan bahasa Arab itu mudah, yakni penyusunan strategi menjadikan bahasa Arab sangat mudah dipahami dan mudah pula dipergunakan. Ini yang dimaksud dengan program pemasyarakatan bahasa Arab dengan efektif dan efisien.
Motif agama sudah tidak lagi dominan sebagai alasan mempelajari bahasa Arab, yang justru menjadikan pasif dalam berbahasa Arab. To the point saja: Belajar bahasa Arab alasannya adalah karena memang mau memakainya secara aktif. Oleh karena itu bahasa Arab harus dikondisikan menjadi bahasa yang dipakai dengan sendirinya secara otomatis, biasa dan mudah, dengan pedoman bahwa "students learn to understand the language by listening to a great deal of it and that they learn to speak is by speaking it" (A. Dzo'ul Milal: 2004, 15)
Untuk menjadikan bahasa Arab secara otomatis dan mudah dipakai perlu program khusus penggunaan bahasa Arab, mulai dari perencanaan penentuan subyek pengguna bahasa Arab, lokasi penggunaannya, waktunya, cara menggunakannya, keperluannya, situasi dan kondisi ligkungannya, materi yang menjadi sarana penggunaannya sampai dengan penentuan taraf kesulitan bahasa Arab yang digunakan. Semua ini menjadi sasaran kajian dalam rangka pemasyarakatan bahasa Arab. Tanpa pemrograman yang rinci niscaya akan diperoleh kekecewaan-kekecewaan yang tidak dimengerti sebabnya.
Dalam rangka penyusunan program pemasayarakatan bahasa Arab tersebut berbagai teori kebahasaan diperlukan. Namun ini bukan berarti mengadopsi begitu saja teori-teori pembelajaran bahasa asing yang ada, tetapi perlu kajian kritis lebih dulu sehigga tidak diperoleh hanya pemindahan informasi dari pengalaman pada bahasa selain bahasa Arab kepada penerapan pada bahasa Arab. Demikian ini disebabkan bahasa Arab berbeda dari bahasa asing lainnya, misalnya bahasa Inggris, yang dianggap berhasil dalam pemasyarakatannya. Tidak dengan serta-merta teori yang diterapkan pada bahasa Inggris diterapkan untuk pembelajaran bahasa Arab.
Bahasa Arab dan bahasa Inggris berbeda, dan sangat berbeda. Perbedaan penerapan teori-teori pembelajaran bahasa Inggris dengan bahasa Arab itu akan tampak dalam kajian kritis pada pembahasan khusus tentang prinsip pembelajaran bahasa Arab. Keadaan bahasa Arab sekarang ini, dengan isunya yang negatif, sudah cukup menjadi peringatan agar setiap kegiatan pembelajaran bahasa Arab selalu terkendali, tidak lagi merupakan kegiatan yang justru menjadikan bahasa Arab tidak memasyarakat, hanya karena menimbulkan kesan yang negatif. Akhirnya, daya kritis sangat diperlukan dalam pengembangan dan pemasyarakatan bahasa Arab. Tidak semua teori pembelajaran bahasa asing bisa di terapkan dalam pembelajaran bahasa Arab.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 11-16
_____________________
Kepustakaan
Abdurrahman Wahid, Prospek Pengembangan Bahasa Arab di Indonesia, Pendorong dan Kendala-kendalanya, dalam Qimah (Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III, Agustus 1990).
A. Dzo'ul Milal, Sistem Pengajaran Bahasa Inggris di Pondok Modern Gontor dan di Basic English Course Pare, dalam Qualita Ahsana (Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel, Vol. VI No. 3 Desember2004), 15.
Moh. Ghufron Zainal Alim, Bahasa Arab sebagai Alternatif Bahasa Komunika-si Antar Umat Islam, dalam Qimah (Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III/1990, 15
Muhammad at-Thanthawi, Nasy'at an-Nahwi wa Tarikh Asyhari an Nuhat (Al- Maktabah al-Faishaliyah, 1997)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan