*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 30-38
Minggu, 13 Desember 2009
TAHAPAN MENUTUP PINTU POLIGAMI*
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 30-38
Jumat, 11 Desember 2009
ISTIDRAJ DALAM PERINTAH BERPOLIGAMI*
Dalam hal poligami, umat Islam sangat berhati-hati. Sayang sekali kehati-hatiannya itu sekali waktu diterapkan dengan terbalik oleh beberapa pelaku poligami. Mereka bukannya berhati-hati menjaga diri dari poligami, tetapi berhati-hati dalam mencari argumentasi, yakni bagaimana agar poligaminya itu bisa dianggap sebagai upaya melaksanakan ibadah, dibenarkan oleh masyarakat sekitarnya dan disetujui oleh isteri yang dimadu serta tetap dipandang positif oleh anak-anaknya.
Al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3) mengingatkan agar selalu berbuat adil dengan tidak mengambil hak-hak anak yatim yang mestinya dilindungi. Sayang sekali ada saja keinginan kuat untuk menguasai harta anak yatim tersebut dengan cara menikahinya. Kalau keinginan untuk menikahi anak yatim itu dibiarkan saja maka pasti akan terjadi kedhaliman. Islam melarang kedhaliman maka dengan serta-merta diberikan jalan keluarnya. Hal ini diterangkan dalam ayat itu dengan mempergunakan huruf (حَرف) yang berfungsi sebagai kata sambung, yaitu “ف” (fa’ jawab) yang memerintahkan untuk menikahi perempuan yang lain saja. Bunyi ayat tersebut demikian :
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلثَ وَ رُبَعَ
(Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat) (QS. 4:3).
Begitu kuatnya keinginan untuk menguasai anak yatim beserta hartanya itu sampai-sampai diberikan alternatif untuk menikah lebih dari satu asalkan bukan anak yatim itu.
Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa dengan beristeri dua sampai empat orang itu bukan berarti sudah adil atau sudah tidak berbuat kedhaliman. Poligaminya itu tetap saja berbuat kedhaliman tetapi tidak terhadap anak yatim itu, yakni kedhalimannya berpindah dari dhalim terhadap anak yatim kepada dhalim terhadap perempuan yang lain. Demikian ini dijelaskan pada lanjutan ayat itu secara langsung, bahwa pasti terjadi kedhaliman ketika berpoligami dengan menikahi dua sampai empat perempuan selain anak yatim itu, maka diperintahkan untuk menikahi satu saja perempuan yang merdeka, atau kalau masih saja ingin mempunyai banyak isteri maka bisa menikahi para budaknya tanpa dibatasi jumlahnya. Lanjutan ayat itu demikian:
...فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا: فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ...
(..jika kamu takut tidak berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja atau budak-budak yang kamu miliki... QS: Al-Nisa’/4: 3).
Pada mulanya dapat dipahami dengan sederhana bahwa perintah untuk beristeri lebih dari satu itu adalah pengalihan agar tidak berbuat dhalim terhadap anak yatim itu. Perintah untuk beristeri lebih dari satu menunjukkan betapa kuatnya hasrat untuk menikahi anak yatim itu yang mana kekuatannya itu digambarkan sekuat nafsu untuk beristeri banyak. Dari struktur kalimat tersebut perlu diketahui lebih jauh bahwa fi’il amr demikian itu bukan hanya perintah biasa untuk dilaksanakan, karena salah satu di antara kandungan maksud perintah fi’il amr adalah untuk peringatan atau ancaman (التهديد).
Orang yang tidak memahami adanya peringatan dan ancaman pada perintah dalam fi’il amr itu akan merasa aman-aman saja melaksanakan perintah itu. Orang itu tidak merasa bahwa perintah menikah lebih dari satu demikian itu bisa menjadi istidraj. Perintah tersebut menjadi istidraj bagi orang yang tidak mau menahan nafsunya. Orang yang tidak mau menahan nafsu itu bukan berarti tidak mampu menahan nafsu, tetapi orang itu membiarkan nafsunya berkobar dan boleh jadi suka mengumbar dan biasa membangkit-bangkitkan nafsunya.
Perlu diingat kembali bahwa Al-Quran merupakan mukjizat kasih sayang untuk memberi petunjuk. Al-Quran tidak membiarkan orang keliru dalam memahaminya. Agar tidak diambil alternatif menikah dengan banyak perempuan maka langsung dengan menggunakan kata sambung huruf “ف” (fa’ jawab) yang segera memperingatkan agar tidak berpoligami, yakni untuk segera mensucikan diri dari kedhaliman dengan cara menikahi satu saja perempuan yang merdeka atau budak-budak yang dimiliki. Pilihan pada budak-budak yang dimiliki tanpa batasan jumlah itu diberikan tanpa resiko timbulnya ketidakadilan. Dengan demikian tidak akan terjadi kedhaliman sesuai dengan maksud ayat yang dinyatakan di akhir ayat itu (QS: Al-Nisa’/4: 3):
ذَلِكَ أدْنَى ألاّ تَعُوْلُوْا
(Yang demikian (satu isteri atau dengan para budak) itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)
Sekilas memang kelihatannya ayat tersebut menyuruh menikah lebih dari satu, tetapi secara seksama tampak dengan jelas bahwa struktur kalimat yang memakai fi’il amr (فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ) tidak mutlak dimaksudkan untuk perintah yang harus dikerjakan, apalagi sudah ada qarinah atau tanda bukti yang menunjukkan bahwa maksud kalimat itu bukan perin-tah. Struktur bahasa Arab demikian itu menggambarkan adanya penekanan makna untuk diperhatikan apa yang sebenarnya tersirat dalam kalimat itu secara keseluruhan. Orang-orang yang sangat berhati-hati, dalam arti sebenarnya, menindaklanjuti ayat itu sesuai dengan arah ayat tersebut, yaitu mendekat ke arah yang tidak dhalim atau menjauhi perilaku aniaya dengan tidak berpoligami.
Gaya bahasa ayat tersebut di atas yang menyatakan demikian: ...“maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat” .., itu bukan berarti membiarkan atau memberi kebebasan orang untuk mengumbar nafsunya dengan berpoligami. Gaya bahasa demikian banyak contohnya dalam bahasa Indonesia, misalnya ketika seorang anak memanjat pohon lalu dicegah oleh orang tuanya dengan menyeru: “Ayo teruskan naik, kalau jatuh kakimu nanti bisa patah!”. Dalam kalimat itu ada perintah tetapi diikuti dengan peringatan. Kiranya demikian juga makna surat al-Nisa’ ayat 3 ter-sebut selengkapnya. Di bagian depan kelihatan seperti diperintahkan berpoligami tetapi di bagian akhir ayat diberi pilihan yang paling baik. Perintah di awal ayat yang diberi persyaratan itu tidak layak untuk dikerjakan karena dilanjutkan dengan anjuran seba-gai pilihan yang baik, yakni bermonogami atau menikahi budak-budak itu. Sebagai kelanjutannya kalau tetap saja ingin berpoligami tetapi dengan menikahi para budaknya maka akan lebih baik bagi budak-budak itu karena anak-anaknya di kemudian hari sebagai manusia yang sudah merdeka, yakni sudah tidak lagi berstatus budak seperti ibunya.
Ayat itu memberikan petunjuk untuk mengadakan perubahan dari kecenderungan untuk berbuat aniaya berubah menjadi kecenderungan untuk berbuat kemakrufan, yakni dari nafsu untuk menguasai anak yatim beserta hartanya berubah menjadi memerdekakan budak dengan cara yang sangat terpuji dengan penuh kesadaran. Adapun jumlah perempuan (merdeka) yang dinikahi dari dua sampai dengan empat itu pada dasarnya untuk menunjukkan jumlah banyak, karena dapat dipahami bahwa isteri dua, tiga ataupun empat tidaklah berbeda, sama disebut poligami. Meskipun demikian bilangan empat yang dianggap sebagai batasan itu patut diperhatikan karena di sana terdapat rahasia yang belum diketahui oleh orang awam, mengapa sejumlah empat.
Pilihan dua sampai empat perempuan itu bisa jadi merupakan peringatan sindiran atas keinginan untuk pemuasan nafsu belaka. Banyaknya jumlah perempuan yang diperintahkan untuk dinikahi itulah yang menunjukkan istidraj, sehingga maksud ayat itu dapat dipahami demikian: ...”sudahlah, kawini saja perempuan-perempuan mana yang kamu sukai sebanyak mungkin untuk memenuhi kobaran nafsumu, asal jangan menikahi anak yatim itu”... Hal yang demikian itu menunjukkan tiadanya kemauan untuk menahan nafsu maka bandingannya itu sama halnya dengan keinginan untuk menikah lebih dari satu karena kobaran nafsu yang tidak ditahan sepertinya tidak cukup dengan satu isteri saja.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami (Surabaya : Jauhar, 2009), 23 - 29
Rabu, 02 Desember 2009
KEDHALIMAN POLIGAMI *)
Adanya ketidakadilan dalam berpoligami itu sudah disebutkan dengan jelas dalam al-Quran, surat al-Nisa’ ayat 129. Perihal yang menonjol pada ayat ter-sebut bukan kebolehan atau larangan berpoligami, tetapi pemberitahuan sebagai peringatan bahwa se-mua orang yang berpoligami itu tidak akan bisa menghindar dari ketidakadilan. Artinya, orang yang berpoligami itu tidak akan mampu berbuat adil di an-tara para isterinya, adil secara material maupun spi-ritual.
Pada dasarnya sudah dapat dipahami bahwa ber-poligami itu melakukan suatu ketidakadilan. Pema-haman demikian bukan hanya dapat diperoleh dari makna surat al-Nisa’ ayat 129 tetapi justru dari su-rat al-Nisa’ ayat 3. Demikian ini dapat diperhatikan dengan seksama maksud ayat tersebut yang leng-kapnya berbunyi demikian:
وَإنْ خِفْتُمْ ألاّ تُقْسِطُوْا فِى اليتَمَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلثَ وَ رُبَعَ. فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ ذَلِكَ أدْنَى ألاّ تَعُوْلُوْا
(Dan jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama-na kamu menikahinya), maka nikahilah perem-puan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu ta-kut tidak (akan) berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah le-bih dekat kepada tidak berbuat aniaya) (QS: Al-Nisa’/4: 3).
Pada ayat tersebut ada dua anak kalimat yang di-anggap mempunyai maksud yang sama dengan me-makai ungkapan yang berbeda, yakni anak kalimat “ألاّ تُقْسِطُوْا” (Allaa Tuqsituu) dan “ألاّ تَعْدِلُوْا” (Allaa Ta’diluu). Kedua anak kalimat itu selama ini diterje-mahkan sama saja yakni ”tidak (akan) berlaku adil”.
Ada yang mencoba untuk membedakan bahwa anak kalimat yang pertama (“ألاّ تُقْسِطُوْا”) itu berorien-tasi pada kuantitatif dan yang kedua (“ألاّ تَعْدِلُوْا” ) itu berorientasi pada kualitatif, dengan anggapan bahwa orang laki-laki bisa memberikan bagian yang sama dalam hal materi (kuantitatif), sementara pembagian yang adil dalam aspek kualitatif, semisal kasih sa-yang, tidak akan bisa dipenuhi sebagaimana diisya-ratkan pada surat al-Nisa’ ayat 129 yang berbunyi: وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ (wa lan tastathii’uu an ta’diluu baina al-nisaa’i.
Dalam sejarahnya disebutkan bahwa surat al-Ni-sa’ ayat 127 melarang seorang laki-laki yang bersi-keras ingin menikahi seorang perempuan yatim yang memiliki harta dengan maksud untuk menguasai har-ta itu. Larangan tersebut adalah agar tidak berbuat dhalim karena tidak adil, yakni tidak memberikan hak milik perempuan yatim itu tetapi berkeinginan untuk memilikinya. Sementara larangan menikahi banyak perempuan itu adalah agar tidak terjadi kedhaliman karena tidak adil, yakni tidak sama dalam memberi-kan nafkah lahir-batin di antara para isteri.
Perbedaan maksud demikian itu tentu saja dinya-takan dengan ungkapkan yang berbeda. Anak kalimat yang pertama, yakni ”ألاّ تُقْسِطُوْا” berarti “tidak berlaku adil” karena berbuat dhalim mengambil dan meram-pas hak orang lain, atau tidak memenuhi kewajiban memberikan hak milik orang lain. Anak kalimat yang kedua ”ألاّ تَعْدِلُوْا” berarti “tidak berlaku adil” karena ti-dak sama dalam memberikan pembagian nafkah ma-terial maupun spiritual. Kedua anak kalimat itu me-nunjukkan kesamaan kandungan maksud, yakni ber-laku tidak adil atau berbuat kedhaliman tetapi berbe-da latar belakangnya. Perbedaan makna dari dua anak kalimat itu bukan dalam aspek kuantitatif atau-pun kualitatif.
Perlu dicermati bahwa anak kalimat yang perta-ma itu menunjukkan akan terjadinya ketidakadilan meskipun menikahi satu perempuan saja, sementara anak kalimat yang kedua itu didatangkan untuk me-nunjukkan adanya ketidakadilan yang terjadi karena ada beberapa perempuan yang dinikahi. Maksud anak kalimat yang pertama adalah berlaku tidak adil karena bertujuan untuk merampas hak, sedangkan maksud anak kalimat yang kedua sudah tidak perlu lagi dinyatakan alasannya mengapa tidak berlaku adil. Demikian ini karena kontek kalimatnya sudah sangat jelas dapat dipahami, bahwa latar belakang-nya adalah karena berpoligami.
Sudah bisa dipastikan bahwa melakukan poligami itulah yang menjadi alasan mengapa tidak berlaku adil meskipun alasan tersebut tidak ditampilkan. Pa-da anak kalimat kedua (”ألاّ تَعْدِلُوْا”) itu ada dua qorinah atau alasan yang jelas, yaitu ada jawab syarat, yakni hendaknya menikahi satu saja perempuan lainnya atau para budak. Alasan kedua adalah bahwa kata yang dijadikan syarat setelah kata “إنْ” (in) adalah anak kalimat “خِفْتُمْ”, yakni rasa takut: Ada perasaan takut atau tidak ada perasaan takut untuk berlaku ti-dak adil ketika berpoligami, bukannya bisa berlaku adil atau tidak bisa berlaku adil ketika berpoligami.
Persyaratan demikian itu sama dengan yang ter-dapat pada anak kalimat yang pertama (”ألاّ تُقْسِطُوْا”), kalau menikahi anak yatim yang dimaksud itu pasti terjadi ketidakadilan. Kalau takut berlaku tidak adil maka dianjurkan agar menikahi perempuan yang lain saja agar tidak berbuat dhalim pada anak yatim itu, yang mestinya harus dilindungi. Demikian juga orang yang menikahi dua perempuan sampai empat, itu pasti berlaku tidak adil maka diperintahkan untuk menikahi satu perempuan saja atau para budak. Me-nikahi para budak tanpa batas jumlahnya itu tidak melakukan ketidakadilan karena para budak tidak memiliki hak untuk menuntut tuannya atau menuntut apa yang menjadi hak-hak dalam perkawinan.
Surat al-Nisa’ ayat 3 tersebut sangat efisien, ti-dak perlu diberikan penjelasan atau alasan mengapa tidak akan bisa berlaku adil kalau menikah lebih dari satu. Ayat itu secara tersirat menunjukkan bahwa dalam berpoligami itu ada ketidakadilan. Ayat terse-but cukup dengan mempergunakan susunan anak ka-limat “ألاّ تَعْدِلُوْا“ (allaa ta’diluu) tanpa menampilkan se-bab ketidakadilannya, yakni berpoligami itu sendiri, misalnya dengan tambahan kalimat demikian:
..ألا تَعْدِلُوْا فِى نِكَاحِ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلاثَ وَ رُبَاعَ ...فواحدةً
(.....Kamu tidak berlaku adil karena menikahi perem-puan dua, tiga sampai empat...maka (nikahi) seorang saja...)
Anak kalimat “ألاّ تَعْدِلُوْا” sudah tidak lagi menjadi akibat dari berpoligami tetapi sudah menjadi satu makna. Artinya, berpoligami itu sendiri sudah me-ngandung ketidakadilan. Disini efisiensi ayat terse-but, secara otomatis menunjukkan satu makna antara sebab dan akibatnya, yakni pada saat mulai berpoli-gami itu juga sudah berlaku tidak adil, tidak menung-gu setelah lama berpoligami barulah berlaku tidak adil. Lebih jelas lagi ketidakadilan atau kedhaliman itu ketika ditampakkan adanya pelanggaran terhadap hak seorang isteri, yakni hak untuk tidak disakiti ha-tinya ketika awal mula mempunyai niat untuk meni-kah lagi.
Kepastian tentang tiadanya kemampuan untuk berlaku adil dalam berpoligami itu bukan hanya dise-butkan dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 129, te-tapi diajarkan juga oleh Nabi Muhammad SAW. ba-gaimana sikap yang seharusnya ditempuh kalau su-dah berpoligami. Beliau berdoa memohon ampunan. Bunyi doanya demikian:
اَللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِىْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُؤَاخِذْنِىْ فِيْمَا لاَ أَمْلِكُ
(Ya Allah, inilah pembagian (giliran sesuai kemam-puan) ku maka jangan Engkau siksa karena ketidak-mampuanku). (HR. Ibn Majah).
Doa tersebut di atas menunjukkan suatu peng-akuan bahwa tidak mungkin terjadi pembagian yang adil dalam berpoligami, baik pada aspek kuantitatif maupun aspek kualitatif. Pengakuan itu juga menun-jukkan adanya niat untuk mengadakan perbaikan se-bagaimana diajarkan al-Quran, bahwa Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Penyayang kepada hambaNya yang mau mengadakan perbaikan dan memelihara diri (QS. al-Nisa’/4: 129). Niat untuk perbaikan ini ditunjukkan oleh Rasulullah SAW yang “berpoligami” karena perintah Allah SWT dengan berbagai sebab untuk kepentingan dakwah dan pen-didikan Islam melalui para isterinya.
Kedhaliman berpoligami itu ada pada ketidakadil-an. Ketidakadilan tersebut mencakup dalam hal pem-berian nafkah material dan spiritual yang bersifat kuantitas dan kualitas. Salah satu akibat dari pene-tapan adil sebagai syarat poligami adalah munculnya penafsiran kata “adil”. Boleh jadi hanya karena ingin bisa memenuhi syarat poligami maka kata “adil” di-artikan hanya untuk pembagian bersifat kuantitatif. Tidaklah bisa dipahami seorang suami memberikan materi yang sama secara adil kepada para isterinya kalau ia lebih cinta terhadap salah satu di antara pa-ra isterinya. Perbedaan kualitas cinta itu menyebab-kan adanya perbedaan pemberian berwujud materi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Inilah sumber kedhaliman poligami.
*) Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam Tidak Berpoligami?, (Surabaya: Jauhar, 2009)
Syarat Poligami yang Salah Kaprah*
Sampai sejauh ini banyak orang yang menganggap bahwa syarat poligami adalah adil. Syarat adil ini dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, bab IX pasal 55 ayat 2, yang menyatakan bahwa syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.[1] Belum dipahami bahwa adil itu bukan syarat poligami. Sampai dengan disusunnya buku ini Kompilasi Hukum Islam itu masih diberlakukan. Sudah terlalu lama anggapan yang keliru ini sehingga bisa dinyatakan salah kaprah.
Boleh saja orang awam memberikan syarat adil untuk poligami, tetapi tidak selayaknya umat Islam ikut-ikutan demikian. Lebih naïf lagi kalau dikatakan bahwa syarat adil untuk berpoligami demikian itu berdasarkan kitab suci al-Quran. Ayat-ayat suci al-Quran tidak ada yang menyatakan demikian. Ini yang perlu diuraikan agar jelas.
Umat Islam yang ikut-ikutan menjadikan adil sebagai syarat berpoligami biasanya berusaha mencarikan legitimasinya dari ayat-ayat al-Quran. Mereka mengira bahwa ada ayat al-Quran yang memberikan syarat adil untuk berpoligami. Ayat al-Quran yang dianggap memberikan syarat adil untuk berpoligami itu adalah potongan ayat ketiga surat al-Nisa’. Potongan ayat tersebut berbunyi demikian:
...)فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ ...(
(...maka jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja atau budak-budak yang kamu miliki..)(QS. 4:3).
Secara sepintas memang kelihatannya ayat tersebut menjadikan adil sebagai syarat untuk berpoligami. Selama ini banyak yang memahami demikian dengan menerjemahkan ayat itu demikian: “jika kamu tidak (akan) berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja”. Ini adalah pemahaman yang keliru, tidak sesuai dengan terjemahan yang semestinya. Ada kata “خِفْتُمْ“ (takut) yang dibuang sehingga menjadi: “jika kamu tidak (akan) berlaku adil...” padahal seharusnya berbunyi: “...jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja.....”
Dalam kenyataannya pada potongan ayat tersebut terdapat kata “إنْ” yang berarti “jika”, dan kata “فَ” yang berarti maka. Kalimat yang mengandung kata “إنْ” dan “فَ” demikian ini berstruktur pengandaian atau Uslub al-Syarthi. Kata “إنْ” sebagai “adat syarat” dan kata setelah “فَ” sebagai “jawab syarat”. Kata setelah “إنْ” itu sebagai syarat untuk terjadinya sesuatu yang lain yakni setelah kata “فَ” yang menjadi jawab syarat. Kata yang dijadikan syarat setelah “إنْ” adalah anak kalimat “خِفْتُمْ” yang artinya “kamu takut”, bukan kata “لا تَعْدِلُوا” yang artinya “kamu tidak (akan) berlaku adil”. Lengkapnya adalah “فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا“ yang artinya „maka jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil”.
Dengan memperhatikan struktur “syarat” tersebut maka tampak jelas bahwa yang disyaratkan adalah adanya rasa takut, bukan adanya perlakuan yang tidak adil ketika berpoligami. Dari potongan ayat dengan susunan demikian ini dapat dipahami bahwa ada orang yang takut berlaku tidak adil dan ada juga orang yang tidak takut berlaku tidak adil dalam berpoligami. Jadi kalau merasa takut tidak berlaku adil dalam berpoligami maka hendaknya menikahi seorang perempuan saja. Anjuran menikahi seorang perempuan saja yang berbunyi “فَوَاحِدَةً“ adalah sebagai jawab syarat dari kata “فإنْ خِفْتُمْ“. Potongan ayat tersebut tidak mensyaratkan keadilan untuk bepoligami, karena tidak berbunyi “ فَإنْ لا تَعْدِلُوا“ yang artinya “jika kamu tidak berlaku adil”. Jadi jelas bahwa maksud potongan ayat itu adalah “jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil, maka nikahi seorang perempuan saja”, bukan “jika kamu tidak (akan) berlaku adil, maka nikahi seorang perempuan saja”.
Menentukan adil sebagai syarat untuk berpoligami dengan dasar ayat ketiga surat al-Nisa’ tersebut mempunyai dua kekeliruan yang nyata. Kekeliruan yang pertama adalah dari segi pemahaman makna ayat, yakni tidak mengetahui kata yang sebetulnya menjadi syarat dalam potongan ayat tersebut. Adapun kekeliruan kedua adalah dari segi pemahaman terhadap Uslub al-Syarthi atau struktur pengandaian, yakni terlaksananya jawab syarat itu apabila sudah terpenuhi syaratnya.
Perbuatan yang menjadi jawab syarat itu baru bisa dinyatakan sah untuk dilakukan kalau syarat sebelumnya sudah dipenuhi. Kalau “adil” dijadikan syarat untuk berpoligami maka seseorang harus adil lebih dulu sebelum berpoligami. Sebelum berpoligami orang hanya mempunyai satu isteri, tidak ada isteri yang lain yang dijadikan tolok ukur untuk menimbang atau mengukur keadilan suami itu, misalnya dalam pemberian nafkah atau pembagian ‘giliran’.
Syarat adil tersebut belum pernah dan tidak akan pernah dapat dipenuhi karena isterinya baru satu. Meskipun pada waktu mulai menikah, langsung saja dengan dua orang perempuan atau lebih, yang kelihatannya bersamaan, tetapi pernikahan itu tetap saja berlangsung satu persatu, yakni ada yang pertama dan ada yang kedua dan seterusnya. Tidak ada orang menikahi isteri lebih dari satu bersamaan akad nikahnya. Dari sini dapat dipahami bahwa penentuan adil sebagai syarat yang harus dipenuhi lebih dulu untuk berpoligami adalah mustahil. Kemustahilan demikian ini tidak mungkin berasal dari al-Quran.
Selanjutnya apabila yang dimaksudkan dengan kata “syarat” itu adalah adil terhadap isteri-isterinya di waktu nanti ketika sudah berpoligami, maka itu namanya bukan “syarat” berpoligami tetapi ‘rukun’ yang sudah biasa digunakan sebagai istilah dalam ilmu fiqh. Kalau yang dimaksud dengan syarat adil dalam berpoligami itu memang apa yang biasa disebut dengan ‘rukun’ tersebut maka setiap kali seorang suami berbuat tidak adil secara otomatis gugurlah pernikahan (poligaminya) itu karena syaratnya telah dilanggar atau digugurkan oleh perlakuannya yang tidak adil itu. Demikian seterusnya apabila syarat poligami itu sering gugur maka harus sering diulangi pernikahan (poligaminya) itu setiap kali berbuat tidak adil. Ini adalah suatu perbuatan dhalim yang mustahil bisa dilakukan.
Dalam petunjuk al-Quran, seorang suami itu tidak akan mampu berlaku adil dalam berpoligami. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran. Allah SWT. berfirman:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَ تَتَّقُوْا فإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا .
(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) (QS. Al-Nisa’/4: 129).
Sangat jelas bahwa adil dalam poligami itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa adil itu bukan syarat berpoligami. Al-Quran tidak mungkin menjadikan adil sebagai syarat berpoligami karena sangat tidak masuk akal kalau al-Quran menjadikan sesuatu yang tidak mungkin dapat terpenuhi sebagai syarat untuk sesuatu yang lain. Kajian ini menunjukkan bahwa sebetulnya adil itu tidak tepat kalau dijadikan sebagai syarat untuk berpoligami.
Boleh jadi para penggagas syarat adil untuk poligami tersebut bermaksud untuk menjaga agar tidak terjadi kedhaliman terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Diberikan syarat adil yang begitu berat masih saja terjadi poligami, apalagi kalau tidak diberi syarat. Demikian alasan yang sering dikemukakan. Kemudian bisa jadi usulan untuk menghapus syarat poligami yang salah kaprah itu dianggap sebagai tindakan kurang hati-hati, tetapi perlu diingat kembali bahwa kemaslahatan yang besar itu tidak lahir dari dasar yang keliru. Justru dari dasar keliru ini akan menimbulkan kekeliruan berikutnya yang akibat dan dampaknya lebih besar.
Memang, tiadanya syarat adil untuk berpoligami sering kali memunculkan secara ”tiba-tiba” kesimpulan yang keliru. Hanya karena dorongan keinginan yang begitu kuat untuk berpoligami maka banyak orang awam mudah cenderung untuk memahami makna ayat tersebut dengan pemahaman terbalik yang dikenal dengan mafhum mukhalafah. Semula arti potongan ayat dengan syarat “khiftum“ tersebut demikian: “Jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja“. Mafhum mukhalafahnya menjadi demikian: “Jika kamu berani tidak berlaku adil maka boleh-boleh saja berpoligami“.
Menarik kesimpulan dengan cara mafhum mukhalafah demikian itu tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Makna ayat secara utuh tidak bisa diabaikan. Demikian ini banyak contohnya, bahkan dalam ung-kapan dari bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan sebagai pelajaran moral dalam tradisi di Indonesia (Jawa dan Madura) demikian: “Apabila anda dicubit merasa sakit maka anda janganlah mencubit”. Ungkapan demikian ini bukan berarti bahwa apabila anda tidak merasa sakit ketika dicubit maka anda boleh-boleh saja mencubit. Arah nasehat tersebut adalah hendaknya tidak berbuat aniaya kepada orang lain, bukannya memperbolehkan mencubit karena dirinya tidak sakit kalau dicubit. Kiranya demikian juga makna utuh ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut. Syarat untuk berpoligami tidak ada tetapi maksud ayat tersebut mengarah pada pernikahan monogami agar tidak terjadi perbuatan dhalim melalui ketidakadilan dalam berpoligami.
Adapun akibat dan dampak dari kekeliruan menjadikan adil sebagai syarat berpoligami tentu saja akan tampak dengan sendirinya, baik sesudah terjadi poligami ataupun masih hanya dalam pembenaran terhadap konsep adanya syarat yang salah kaprah tersebut. Masalah yang perlu diperhatikan adalah kemauan untuk meninggalkan syarat salah kaprah itu demi menuju kebenaran (al-haq) dan mencapai kemaslahatan yang lebih besar. Ini bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa.
[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), 175. Lihat: Anonim, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), 17.