Senin, 12 Januari 2009

Membangun Koridor Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab

Sudah sejak tahun 1943 M terdapat usaha untuk memperburuk citra bahasa arab, yaitu mempersulit pembelajarannya dengan metode yang tidak tepat akibatnya peminat bahasa arab menjadi sedikit.

Persoalan linguistik dikaji untuk mengatasi kesulitan, kesulitan tersebut masih saja tetap ada karena sumber kesulitan sebetulnya bukan masalah lunguistik tetapi ada dalam proses membaca tulisan bahasa arab gundul. Proses membacanya tidak logis, paham untuk membaca bukan membaca untuk paham, tentu saja kesulitan tidak bisa dihindari. Kesulitan itu sudah diisyaratkan oleh para ahlinya namun isyarat itu belum ditindaklanjuti, karena belum dipahami bahwa ketidaklogisan itu berasal dari ketidaksempurnaan tulisan. Demikian pengantar pidato dan Orasi Ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Saidun Fiddaroini, MA yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Bahasa Arab, Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, di Auditorium Gelanggang Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Kamis 09 Agustus 2007. dihadapan rapat senat terbuka yang dipimpin langsung oleh Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya. Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA, selaku ketua senat dan dihadiri oleh segenap undangan. Prof.Dr.H.Saidun Fiddaroini, MA sebagai Guru Besar IAIN Sunan Ampel pada Fakultas Adab. Pengukuhan kali ini yang ke 24 setelah Prof. Dr. Juwairiyah, MA yang dikukuhkan pada tanggal 05 Juni 2007

Dalam orasi ilmiahnya Prof Saidun mengatakan ada anggapan ditengah masyarakat kita, bahwa tulisan arab gundul dianggap sudah sempurna. Ilmu nahwu dan sharaf dianggap sebagai alat untuk membacanya. Kedua ilmu ini adalah gramatika bahasa arab, bukan alat untuk membaca. Bila dipaksakan sebagai alat untuk membaca terjadilah penyalahgunaan ilmu ini. Dari penyalahgunaan ini bisa timbul perubahanmaksud tulisan menjadi tergantung pada kemauan pembaca, naif sekali, tulisan tidak berfungsi untuk dibaca tetapi berubah menjadi teka- teki yang selalu menimbulkan kesulitan. Jika ilmu ini sebagai alat untuk membaca maka ilmu ini sudah tidak ada lagi gunanya karena tulisan mushaf al-Qur’an sudah diharakati dan kitab-kitab berbahasa Arab lainnya sudah banyak yang disempurnakan tulisannya.

Bentuk tulisan yang gundul itu mempengaruhi para pengajar bahasa Arab. Mereka ikut-ikutan mengunggap ada empat keterampilan berbahasa arab. Ini menyebabkan tujuan pembelajaran melenceng, yakni memberikan latihan membaca yang tidak logis, mengarang, dan bahkan menulis khat.

Bahasa itu bunyi, keterampilan berbahasa adalah terampil menyimak atau mendengar dan terampil berbicara. Membaca dan menulis itu bukan keterampilan berbahasa. Banyak orang terampil berbahasa arab tetapi tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis atau mengarang.

Bahasa arab mengalami kristalisasinya untuk semua suku Arab. Kristalisasi bahasa arab menjadi bahasa Arab fusha. Oleh karena itu hendaknya memfokuskan pembelajaran pada bahasa arab fusha.

Pada tahun 1893 M. Sudah ada upaya untuk merusak bahasa arab berkaitan dengan peradaban islam, dengan cara mensosialisasikan bahasa A’miyah, maka perlu menjaganya dan agar tidak ikut-ikut berbangga dengan bahasa pasaran yang berarti ikut andil dalam perusakan peradaban islam.

Tidak bisa diingkari adanya bahasa arab ’amiyah, tetapi hendaknya ditempatkan pada proporsinya, yaitu untuk belajar sementara ketika belum bisa berbahasa arab fusha. Oleh karena itu tidak layak kembali ke ’amiyah bila sudah dapat berbahasa arab fusha.

Kesimpulannya,

Bila bahasa arab ’amiyah tetap diajarkan maka sudah tidak ada lagi guna ilmu nahwu dan sharaf. Mushaf al-qur’an sudah memberi contoh bentuk tulisan yang sempurna. Tidak perlu lagi memaksakan kehendak untuk kembali pada tulisan gundul yang menyebabkan sukarnya bahasa arab.

Akhirnya diakhir pidato dan orasi ilmiahnya Prof Saidun, berharap bahwa dengan kesempurnaan tulisan dan kefushaan bahasa arab maka pembelajaran bisa efektif dan efisien, dan terciptalah citra yang baik bagi bahasa arab, yang dimulai dari institusi tercinta ini, IAIN Sunan Ampel Surabaya, smoga.....

BAHASA ARAB DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

PENDAHULUAN

Pada dasarnya bahasa yang memasyarakat adalah bahasa yang mudah dikuasai, mudah diperoleh dan juga mudah dipakai oleh masyarakat. Proses belajar mengajar, bahasa Arab sebagai media sosialisasinya, dengan sendirinya berusaha untuk menjadikan bahasa Arab itu mudah dikuasai sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Tugas mulia ini ada di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Semangat mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab tidak ada yang menghalangi. Berbagai sarana dipenuhi sebagai penunjang proses belajar mengajar bahasa Arab. Namun kesan yang muncul masih saja berkisar pada belum memasyarakatnya bahasa Arab. Bahasa Arab terkesan sangt sulit. Munculnya kesan bahwa bahasa Arab itu sulit berasal dari mereka yang mempelajari. Artinya, sumber sulitnya bahasa Arab itu adalah lembaga pengajaran bahasa Arab itu sendiri.

Dewasa ini berkembang rasa tidak puas atas rendahnya mutu/kualitas kemampuan berbahasa Arab dari para alumnus lembaga lembaga pendidikan Islam yang juga membidangi pengajaran bahasa Arab. Adanya kekhawatiran akan habisnya calon tokoh tokoh/ulama yang ahli bahasa Arab memunculkan gugatan terhadap tugas lembaga lembaga pengajaran bahasa Arab. Metode pengajaran dipermasalahkan : Bagaimana caranya menjadikan bahasa Arab itu tidak sulit? Pembicaraan tentang metode menjadi semarak, khususnya dalam menampilkan berbagai argumentasi untuk memasyarakatkan metode tertentu. Akibatnya inti permasalahan belum ditemukan. Dimana letak sulitnya bahasa Arab ?

TARIK MENARIK METODE

Berkali kali diadakan seminar, diskusi mengenai metode pengajaran bahasa Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama dan IAIN, namun kegiatan serupa masih saja digelar sampai dewasa ini. Ini menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa menjawab bagaimana caranya bahasa Arab itu mudah. Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi . Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun sudah ada sejak zaman Romawi . Kemudian muncul the aural - oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip prinsip linguistik . Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa para pengajar hendaknya merasa bebas untuk memakai metode metode yang cocok bagi pelajarnya, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan cocok bagi dirinya sendiri .

Gambaran berbagai metode yang telah dikaji kiranya sudah lengkap. Permasalahan yang ada tampaknya belum terpecahkan. Para pelajar yang sudah mampu berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Arab masih sering diragukan kemampuannya dalam membaca kitab klasik/kuning/gundul. Keraguan akan kemampuan membaca kitab klasik tersebut bermula dari anggapan adanya dua kemampuan yang tampak berlawanan : 1. Mampu membaca kitab klasik/gundul tapi lemah berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Arab, dan; 2. Mampu berbicara bahasa Arab tetapi tidak mampu/lemah dalam membaca kitab klasik. Dalam kasus ini muncul pertanyaan bagaimana metode pengajaran bahasa Arab yang bisa menghasilkan dua kemampuan, berbicara dan membaca kitab klasik, sekaligus/secara bersamaan?

Ketidak mampuan menemukan metode yang dimaksud menyebabkan tarik menarik metode yang diterapkan di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Hasilnya adalah tetap saja, di satu sisi "ahli" membaca kitab klasik (dalam anggapan) dan sisi lain ahli dalam berbicara tetapi lemah membaca kitab klasik. Berganti ganti dominasi keahlian yang diharapkan sesuai dengan wawasan para birokratnya.

BEBAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam dengan sifatnya yang terbuka akan senantiasa terus berkembang dan mengadopsi sistem-sistem pendidikan yang lebih baik. pendidikan Islam model pesantren adalah hasil adopsi dari Hindu . Kemudian sampai dewasa ini banyak pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan dari Barat sehingga lahir beberapa kampus perguruan tinggi di dalam pondok pesantren.

Perkembangan sistem selanjutnya akan tergantung pada inovasi yang sudah mapan sesuai perkembangan zaman dan wawasan para ahli pendidikan Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa kesarjanaan para alumnus lembaga pendidikan Islam akan diuji sampai pada taraf yang paling dasar. Bagaimana mereka melafalkan basmalah atau mengucapkan salam ? Manakalah tidak fasih, maka kehebatannya dalam mengemukakan argumen serta uraiannya tentang ke Islamannya meskipun mendetil dan mengagumkan akan menjadi dongeng dan kehebatannya menguap . Kemampuan melafal bahasa Arab dengan fasih dan kelancarannya membaca kitab kuning dianggap sebagai alat untuk eksistensi diri ketika kembali ke masyarakat. Ketidakmampuannya membaca kitab kuning menimbulkan kekecewaan 'senior' yang memuja kitab kuning. Pada kasus ini timbul gugatan terhadap sistem pendidikan Islam, khususnya IAIN, STAIN dan Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Islam yang hanya membuka jurusan sosial keagamaan. Karena itu ada keinginan untuk kembali pada sistem yang dianggap bisa memberikan keterampilan membaca kitab klasik, mungkin dengan mendirikan surau-surau kecil di dalam kampus dengan sistem pengajaran santri yang dikenal dengan bandongan dan sorogan.

Tuntutan untuk bisa membaca kitab klasik/kuning tidak akan ada pada jurusan eksakta. Karena itu para alumnus Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Islam dari jurusan Eksakta atau tehnik merasa aman dari gugatan untuk membaca kitab kuning atau kefasihan melafal bahasa Arab. Para alumnus dimaklumi tidak mengkaji keislaman dan kitab kuning. Mereka mampu bersaing dengan Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi umum lainnya, bahkan sangat membanggakan. Mereka banyak mendapat toleransi ketika tidak bisa berbahasa Arab apalagi baca kitab kuning. Karena itu kualitasnya tidak dijadikan alasan untuk mempertanyakan sistem pendidikan Islam. Pada kasus ini, sistem pendidikan Islam dinilai sangat membanggakan. Tidak di tarik-tarik lagi untuk kembali pada sistem yang sudah dinilai klasik. Karena itu derap langkah lembaga pendidikan Islam yang terasa terengah-engah itu ada pada jurusan sosial keagamaan yang mempertanyakan keahlian berbahasa Arab. Permasalahannya mengapa kemampuan membaca kitab klasik dijadikan acuan keberhasilan studi di lembaga-lembaga pendidikan Islam?

CARA MEMBACA KITAB KUNING

Kesulitan membaca kitab klasik/kuning/gundul bukan hanya dialami oleh para pemula, tetapi juga terbukti bahwa santri pondok Gontor Ponorogo masih kesulitan bahkan dinyatakan belum bisa membaca kitab kuning . Karena itu permasalahannya bukan sekedar membaca bahasa Arab, tetapi membaca kitab kuning. Demikian ini mengingat bahwa terampil berbahasa itu berjenjang dari menyimak kemudian berbicara, dari membaca kemudian menulis . Bila sudah sampai pada taraf terampil berbicara atau menulis berarti sudah melewati taraf menyimak atau membaca. Jadi yang perlu dipermasalahkan bukan metode tetapi mengapa membaca kitab klasik itu sulit? Artinya, perlu diketahui mengapa kitab klasik menimbulkan kesulitan bagi pembacanya. Jawaban ini akan dapat membuka kajian baru untuk menemukan bagaimana supaya bisa membaca kitab kuning dengan mudah.

Disebutkan bahwa para pembaca bahasa asing (selain bahasa Arab) membaca agar dapat memahami apa yang dibaca, sedangkan para pembaca bahasa Arab harus paham dulu teks yang dibaca supaya betul bacaannya . Disebutkan pula bahwa umumnya orang orang Eropa dapat membaca dengan benar tulisan bahasa mereka, dan kemampuan membaca yang mereka miliki menjadi sarana untuk memahami maksud yang dikandung dalam bacaan, sedangkan para pembaca bahasa Arab tidak bisa membaca dengan benar kecuali jika sudah paham lebih dahulu apa yang hendak dibaca . Pernyataan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa untuk membaca tulisan bahasa Arab dengan benar itu harus memahami dulu maksudnya. Dengan kata lain paham dulu baru bisa membaca, selanjutnya paham untuk membaca bukan membaca untuk paham. Bila kenyataannya demikian maka tidak heran adanya kesulitan dalam membaca tulisan bahasa Arab. Hal ini disebabkan proses membaca demikian itu adalah proses yang tidak logis. Karena itu HM. Bakalla menyatakan bahwa para pembaca tulisan bahasa Arab banyak mengalami kesulitan untuk membacanya dengan benar, karena mereka harus memikirkan teks sebelum membacanya, bahkan sering kali harus memahami lebih dulu maksud teks agar benar bacaannya.

Pernyataan pernyataan yang menunjukkan sulitnya membaca tulisan bahasa Arab tersebut di atas tentunya tidak ditujukan pada aktivitas membaca tulisan yang sudah sempurna seperti mushaf-mushaf. Demikian ini dapat dimaklumi mengingat bahwa untuk membaca mushaf-mushaf itu tidak perlu harus memahami lebih dahulu bahkan tidak paham meksudnya pun dapat membaca dengan benar. Dengan demikian maka sulitnya membaca kitab kuning itu disebabkan tidak dilengkapinya tulisan dengan syakal yang menyebabkan proses membacanya tidak logis. Karena itu bila kitab klasik itu sudah disempurnakan dengan syakal, maka tidak ada lagi permasalahan bagaimana membaca kitab klasik, yang mana sering menimbulkan kekecewaan serta ganjalan pada lajunya sistem pendidikan Islam.

Kadang kadang muncul anggapan bahwa untuk membaca kitab kuning itu alatnya adalah ilmu Nahwu dan Sharaf (gramatika bahasa Arab). Anggapan ini hanya muncul karena belum dipahaminya fungsi kedua ilmu tersebut. Buku Bimbingan Lanjut Membaca Kitab Tulisan Gundul, merupakan pengejawantahan anggapan tersebut . Bagi para penulis bahasa Arab, maka kedua ilmu berfungsi sebagai alat untuk menyusun tulisannya agar sesuai dengan aturan bahasa Arab yang baku dan bagi para pembaca, maka kedua ilmu itu berfungsi untuk memahami maksud yang terkandung dalam tulisan bahasa Arab yang sudah diatur dengan aturan yang baku. Bila hanya untuk membaca, maka cukuplah dilengkapi dengan syakal. Karena itu kedua ilmu nahwu dan sharaf tersebut tetap berfungsi, meskipun tulisan sudah dilengkapi dengan syakal seperti mushaf-mushaf, karena fungsi gramatika memang bukan untuk membaca.

PENUTUP

Pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada kitab kuning (dalam proses membacanya) akan menjadikan bahasa Arab itu menjadi menakutkan (momok). Aktifitasnya tidak menunjang pemasyarakatan bahasa Arab tetapi justru memetieskannya bahkan dapat membebani lajunya sistem pendidikan Islam.

Permasalahan yang perlu diselesaikan dalam proses pengajaran bahasa Arab bukan hanya metode, tetapi kesadaran bahwa komponen-komponen pengajaran hendaknya disempurnakan lebih dulu, khususnya materi pengajarannya yang berupa tulisan. Dengan demikian tidak akan lagi muncul permasalahan membaca kitab kuning. Pada gilirannya tidak ada lagi evaluasi yang menanyakan bagaimana bunyi bacaan tulisan gundul pada kitab kitab klasik/kuning, seperti perintah melengkapi dengan syakal atau perintah : A'rib hadzihi al-kalimat ...!

Dengan evaluasi yang mengarah pada pemahaman terhadap teks yang sudah sempurna serta penyusunan kalimat yang benar, niscaya bahasa Arab akan dapat dikuasai dengan mudah dan cepat memasyarakat, semoga, amin.

Mataram, 26 Maret 1998