Minggu, 21 April 2013

Ujian (Guru) Nasional dan Rezeki dari Tuhan


Soal Ujian Nasional yang dibagikan kepada siswa SMA dan SMP tahun 2013 ini tidak satu macam. Macam soal sampai 20 paket. Katanya, tujuannya adalah supaya siswa tidak bisa kerja sama saling menyontoh ketika menjawab soal. Teman saya mengatakan justru tujuannya adalah supaya gurunya jujur. Jujur maksudnya tidak dapat memberikan jawaban kepada siswa secara massal. Kalau memang demikian maka tepatnya dinyatakan bahwa Ujian Nasional tahun ini adalah Ujian Guru Nasional. 
Bisa jadi ada oknum guru yang berhasil memberikan jawaban untuk masing-masing paket soal dan bisa memberikan jawaban kepada siswa dengan caranya yang khusus. Keberhasilan oknum guru itu adalah kegagalan Ujian Nasional. Ada dua kegagalan Ujian Nasional. Kegagalan yang pertama adalah tidak bisa mengetahui kualitas siswa yang sesungguhnya karena jawabannya itu bukan dari siswa sendiri, dan kegagalan yang kedua adalah terjadinya pelanggaran aturan dengan terang-terangan di depan mata siswa yang dilakukan oleh para oknum kepada para siswa yang sedang ujian.
Dalam diskusi muncul pertanyaan: “Mengapa para oknum berbuat curang pada waktu Ujian Nasional?” Jawabannya memprihatinkan. Mula-mula alasannya adalah menjaga nama baik sekolah, kemudian takut sekolahnya nanti tidak laku kalau banyak yang tidak lulus, dan seterusnya takut tidak ada income karena tidak ada siswa baru yang daftar di sekolahnya atau ringkasnya adalah takut rezekinya berkurang. Kalau ditarik garis lurus maka sebenarnya perbuatan curang para oknum itu tujuannya adalah supaya rezekinya tidak berkurang. Padahal mereka tahu bahwa yang memberi rezeki itu adalah Tuhan, bukan kecurangannya itu.  Mereka tahu tetapi belum yakin. Ini disebabkan lemahnya iman.
Di mata siswa yang bodoh yang mau menerima jawaban maka para oknum itu adalah pahlawan, meskipun tidak jelas sebenarnya pahlawan apa. Di mata siswa yang pintar, jujur dan tidak mau menerima jawaban dari oknum itu maka para oknum itu kelihatan seperti terkena virus yang melumpuhkan iman dalam hatinya. Virus ini lebih berbahaya akibatnya dari pada penundaan waktu ujian karena virus ini menyerang mental, sementara penundaan waktu hanya masalah teknis saja.
Para pendidik mesti berharap agar oknum guru itu hanya sedikit, jumlahnya kurang dari tiga. Kalau jumlah oknum itu lebih dari tiga dan disebut dengan gerombolan para oknum namun tetap saja para pendidik mesti konsisten dan tidak ikut-ikutan melumpuhkan imannya sendiri. Masalahnya mau ikut-ikutan pada oknum yang banyak dengan rezeki lewat jalan curang atau mau konsisten jujur dengan rezeki banyak yang berkah.  Semoga iman para pendidik makin kokoh dan diikuti oleh para siswa yang pintar dan jujur. (Mindi, 21 april 2013)

Jumat, 30 November 2012

UJIAN NASIONAL KOK MAU DIHAPUS

Untuk apa UNAS? Atau, apa gunanya? Pertanyaan: “apa gunanya?” berbeda dengan pertanyaan: “apa fungsinya?” ‘Guna’ itu bahasa Inggrisnya adalah ‘the use’, dan ‘fungsi’ itu ‘the function’, dan artinya jelas berbeda. Contoh: sebuah fulpen, fungsinya sebagai alat tulis adalah untuk menulis. Ketika tintanya habis maka fulpen tidak berfungsi, tidak bisa dipakai sesuai dengan fungsinya. Namun fulpen itu masih bisa digunakan, misalnya digunakan untuk mendiamkan murid-murid yang ramai di kelas dengan mengetuk-ngetukkan fulpen di meja supaya diperhatikan, atau bisa juga fulpen itu digunakan untuk melempar seekor ayam yang mau masuk ke masjid supaya masjid tidak dikotori, atau untuk hiasan saja di saku baju. Guna suatu benda itu tergantung kepada siapa yang menggunakan benda itu, bisa bermacam-macam sesuai tujuan orang yang menggunakan, sedangkan fungsi benda itu menempel atau menyatu pada benda itu, sesuai dengan keberadaan benda itu untuk apa diciptakan. Fungsi itu adalah guna ideal. Kita bisa menggunakan fulpen itu untuk menulis. Penggunaan fulpen untuk menulis ini sesuai dengan fungsinya. Guna idealnya memang fulpen itu diciptakan untuk dipakai menulis. Ketika kita menggunakan fulpen untuk melempar seekor ayam maka terjadi salah guna. Salah guna itu menggunakan suatu benda yang tidak sesuai dengan fungsinya, tidak sesuai dengan guna idealnya, dan penggunaan demikian ini masih ada manfaatnya atau masih ada nilai baiknya. Sedangkan penyalahgunaan itu adalah menggunakan sesuatu tidak sesuai dengan fungsinya secara negatif, misalnya: fulpen yang masih berfungsi dengan baik tetapi digunakan untuk melempar siswa yang sedang belajar karena ingin mengganggu saja. Jadi menggunakan suatu benda sesuai dengan fungsinya itu adalah memanfaatkan dengan benar, sedangkan menyalahgunakan suatu benda itu adalah menggunakan benda tidak sesuai dengan fungsinya, yakni menggunakan secara salah. Penyalahfungsian itu tidak ada, tetapi yang ada adalah alih fungsi, dan alih fungsi itu berbeda dari salah guna. Dalam ilmu evaluasi pendidikan, evaluasi itu adalah proses untuk menentukan mutu atau kualitas yang dievaluasi. Untuk menentukan kualitas siswa, yang sudah mempelajari pelajaran selama di SD, SMP atau SMA, maka diadakan ujian. Apabila siswa itu bisa menjawab soal sampai pada batas standar minimal lulusan SD, SMP atau SMA, maka dinyataan lulus. Apabila siswa tidak bisa menjawab sampai pada batas minimal lulusan, maka dinyatakan tidak lulus. Fungsi Ujian Nasional adalah untuk menentukan kualitas siswa secara nasional. Kalau para siswa tidak bisa menjawab soal-soal ujian, kemudian gurunya memberikan jawaban-jawaban, maka Ujian Nasional itu tidak berfungsi dengan semestinya, karena hasil ujian atau jawaban-jawabannya tidak bisa memberikan informasi mengenai kualitas para siswa yang diuji. Jawaban-jawaban ujian itu adalah informasi mengenai kualitas gurunya bukan kualitas para siswa. Ujian Nasional yang disiapkan untuk mencari informasi mengenai kualitas para siswa telah dirusak oleh ulah oknum para guru yang memberikan jawaban itu. Ujian Nasional menjadi tidak berfungsi dengan semestinya, tetapi masih berguna, yaitu berguna setidak-tidaknya adalah untuk kegiatan formalitas saja. Lebih jauh lagi, UNAS bisa disalahgunakan, yakni hanya untuk sahnya pengucuran dana negara untuk penyelenggaraan ujian kepada pelaksana ujian mulai dari tingkat atas sampai kepada para guru yang mengawasi di kelas, termasuk yang merusak fungsi ujian dengan memberikan jawaban kepada siswa. Bukan UNAS-nya yang salah tetapi ulah oknum para guru itu yang mestinya tidak boleh terjadi. Sistem Pendidikan kita itu sudah baik dengan segala persiapan dan teknologinya, tetapi dirusak hanya dengan satu kata yang dipraktekkan di waktu ujian, yakni: “CURANG”. Kalau berpikir bahwa yang menyebabkan curang itu adalah adanya kebijakan UNAS kemudian mengusulkan agar UNAS dihapus, maka hendaknya sadar bahwa kecurangan-kecurangan yang ada selama ini di segala bidang bukan karena adanya UNAS. Para pedagang yang curang melalui timbangan ketika menjual beras itulah yang harus diluruskan, bukan timbangannya yang harus dibuang. Demikian juga dalam hal UNAS, Bukan UNAS-nya yang dihapus tetapi gurunya itu harus diteguhkan sifat jujurnya. Betapa ruginya, mendidik muridnya untuk jujur selama tiga sampai enam tahun tetapi didikannya itu dirusak sendiri dengan mempraktekkan kecurangan dengan terang-terangan dihadapan mata kepala para siswanya sendiri. MasyaAllah, insaflah, semoga para siswa yang akan datang mendapatkan guru-guru yang istiqomah dalam kejujurannya. (Tanggapan terhadap penyiaran diskusi di TV SBO tanggal 29 Nop. 2012, yang diakhiri jam 21.00 WIB).

Minggu, 23 Januari 2011

KORUPSI_MEMBERANTAS KORUPSI*)

Korupsi, sebuah kata terjemahan dari bahasa Inggeris (Corruption = kecurangan, Corrupt = jahat, buruk, rusak. to c, merusak, mengubah, menyuap That lawyer cannot be corrupted, pengacara itu tidak bisa disuap, c manuscript = naskah yang rusak karena kurang teliti dalam menyalin// Korupsi: kecurangan, penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, pemalsuan// Korupsi = perbauatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb.// Korupsi = الإختلاس, الرشوةُ, الفساد.
(Al-Ikhtilaas = mencopet, al-Rosywah = suap, menyuap, al-Fasad = kerusakan).
Secara umum korupsi itu keburukan amal perbuatan atau kejahatan, dan secara khusus kejahatan itu berupa kecurangan, dan kecurangan itu dilakukan dengan cara suap, yakni menyuap agar rusak dengan cara mengubah dari yang sebenarnya. Secara sempit sekarang korupsi dipakai untuk keburukan/kejahatan dengan cara penyuapan.
Minggu-minggu ini banyak orang berbicara mengenai hukuman orang korupsi yang terjadi di bidang perpajakan. Orang yang korupsi dihukum 7 tahun dan denda Rp. 300 juta, padahal uang yang dia terima adalah sampai Rp.100 milliar, maka banyak orang bilang: lho, kok enak!? Kata-kata “kok enak” ini menunjukan ada iri hati. Apakah kita akan punya keinginan begitu? Mau menerima uang sebanyak itu meskipun korupsi dan dihukum sebentar. Orang korupsi kok ditiru, kok diiri. Ini virus sudah masuk ke otak kita.
Pernah terlintas juga dalam pikiran agar uang itu dikembalikan ke negara untuk subsidi pada kebutuhan rakyat. Kedengarannya bagus, tetapi apakah kita ini akan menghidupi rakyat dari uang suapan yang haram itu? Kalau memang demikian caranya berarti kita ini membiarkan daging rakyat tumbuh dari uang haram. Ini sama saja dengan mencampakkan rakyat ke neraka. Kullu Lahmin nabata min haramin fa annaru aula bih.
كل لحم نبت من حرام فالنار اولى به
Dari dalil ini tidaklah heran kalau ada ulama’ yang tidak mau meneima sumbangan dari pejabat pemerintah dengan uang yang “tidak jelas” atau syubhat demi untuk kesucian pondok/pesantrennya. Apabila uang ini dibiarkan maka akan muncullah banyak money loundry. Orang yang tahu bahwa pekerjaannya itu dibayar dari uang haram maka mestinya dia itu tidak mau karena membantu korupsi. Seandainya orang itu tidak mau bekerja di situ maka akan bangkrutlah perusahaan yang beayanya diperoleh dari uang haram. Di sinilah kelihatan jelas sekali benarnya ayat qur’an: (QS. Al-Tahrim/66:6)

66:6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …..

Artinya, dengan ditolaknya uang yang haram itu maka pemberi uang akan tidak bisa berkutik. Coba direnungkan: Kalau semua orang menolak uang “haram” itu, maka orang pemilik uang haram itu tidak akan bisa beli apa-apa termasuk untuk beli makanan saja. Koruptor itu tidak bisa berbuat apa-apa dengan uang haram itu. Pertama kali kita menjaga diri sendiri dari api neraka berupa uang haram, kemudian kedua secara otomatis kita menjaga orang lain agar tidak kena api neraka karena tidak bisa memakai uang haram.itu.
Selanjutnya dalam hal korupsi, Rasulullah SW sudah mengingatkan dengan hadis :
عن خَولَةَ بنتِ ثامرٍ الأنصاريّة و هى امرأة حمزةََ رضى الله عنهما قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه و سلّم يقول :"إنّ رجالا يتخوّضونَ فى مال الله بغير حقٍ فلهم النارُ يوم القيامة- رواه البخارى.
Khaulah binti Tsamir (Isteri Hamzah) ra berkata: Saya telah mendengar Rasulllah SAW bersabda : Sesungguhnya ada beberapa orang yang mempergunakan harta Allah (Bait al-Mal) dengan tidak hak, maka bagi mereka api neraka pada hari qiyamat. (HR Bukhori)
و عن عمر بن الخطاب رضى الله عنه قال لماّ كان يومَ خَيْبرَ اقْبلَ نفرٌ من أصحاب النبى صلى الله عليه و سلّم فقالوا فلانٌ شهيدٌ , و فلانٌ شهيدٌ حتّى مرّوا على رَجلٍ فقالوا فلانٌ شهيدٌ, فقال النبى صل الله عليه و سلّم: كلاّ إنّى رأيتُهُ فى النارِ فى بُردةٍ غَلّها أو عباءَةٍ – رواه مسلم
Umar bin Khottob RA berkata: Ketika selesai perang Khoibar datanglah beberapa sahabat Nabi SAW menyebut-nyebut: Fulan mati syahid, fulan mati syahid, sehingga mereka ,menyebut Fulan mati syahid, mendadak Nabi SAW bersabda: Tidak, saya telah melihatnya dalam neraka karena ia mengambil mantel dari ghanimah yang belum dibagi (yang berarti ghulul)’ (HR. Muslim)
Ghulul ialah mengambil sesuatu yang bukan haknya, meskipun ia merasa mempunyai bagian dalam ghonimah itu.
Diterangkan dalam hadis yang diriwayaktkan oleh Bukhori bahwa yang dimaksud fulan itu tadi adalah Kirkirah hadisnya begini:
و عن عبد الله بن عمرٍو بن العاص رضى الله عنه قال كان على ثقل النبى صلى الله عليه و سلّم رجلٌ يقال له كِْركِرةُ فمات فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلّم: هو فى النار, فذهبوا ينظرون إليه فوجدوا عباءةً قدْ غلَّها-رواه البخارى
Abdullah bin Amr bin al-‘Ash ra. berkata: “Ada seorang bernama Kirkirah biasa menjaga perbekalan Nabi SAW dan ketika mati, Rasulullah SAW bersabda:“ Ia dalam neraka“, maka orang-orang menyelidiki keadaannya, mendadak mereka mendapatkan ia telah mencuri mantel dari ghonimah yang belum dibagi.(HR. Bukhori).
Sewaktu ada orang meninggal, maka Rasulullah SAW tidak mau mensholatinya karena orang tu masih belum mengembalikan hutangnya. Baru ketika ada yang menjamin pengembaliannya, maka Rasulullah SAW mau mensholati jenazah tersebut. Dalam hal hutang yang jelas-jelas tidak untuk menipu atau mengambil hak orang lain, hanya karena belum dikembalikan saja, Rasulllah SAW sudah tidak mau mensholati, maka jelaslah hukumnya kalau niatnya itu mengambil bukan haknya, bahkan meskipun merasa ada haknya, hanya karena belum dibagi (ghulul) itu saja sudah masuk neraka.
Kemudian bagaimana cara memberantas korupsi itu? Umat Islam dalam hal korupsi, cukuplah diberitahu bahwa korupsi itu dilarang dan yang melakukan korupsi dicampakkan ke neraka. Oleh karena itu tobat dan kembalikan hasil korupsinya itu. Apabila orang yang diberitahu itu menolak karena dia menganggap itu bukan korupsi maka pengertian korupsi perlu ditegaskan. Apabila sudah tahu namun tetap saja menolak dan dia itu orang Islam maka masalahnya adalah keimanan. Artinya, orang yang kuat imannya tidak akan berkorupsi. Jadi orang korupsi itu sebetulnya lemah imannya. Dalam Islam bukan bagimana cara menghalang-halangi orang korupsi, dengan KPK atau dengan menakut-nakuti dengan hukuman duniawi yang berat agar yang lain jera, atau apalah cara lainnya yang sulit sekali karena banyak celah yang dipakai untuk merekayasa, tetapi Islam menjaga dari dalam diri agar tidak dholim pada hak orang lain. Jadi memberantas korupsi itu dengan cara menguatkan keimanan diri dan selanjutnya secara otomatis/sekaligus yang lain juga terselamatkan karena uang hasil korupsi itu tidak laku yakni tidak ada yang mau. Masalahnya, apakah orang yang memberantas itu sudah tidak mau uang hasil korupsi itu?
Dalam hal keinginan untuk menjebol ke akar-akarnya agar tidak terjadi korupsi lagi, maka ini akan berbenturan dengan setan yang berwujud manusia. Orang mungkin saja tahu bahwa biangkeroknya adalah si dia. Setelah tahu bahwa si dia itu orang yang kuat tiba-tiba saja surut keinginannya, lalu ikut-ikutan korupsi. Ini sikap orang yang lemah imannya, sehingga tidak sabar dan tidak tahu cara memberantasnya. Lagi pula kalau si dia sudah hilang tetap saja akan lahir setan berwujud manusia yang lainnya, karena ini masih di dunia dengan aturan duniawi. Jadi sebetulnya cara mudah untuk memberantas korupsi adalah cukuplah jaga diri dari uang haram, dan seterusnya jangan masukkan uang haram ke negara agar gaji pegawai itu halal sehingga dagingnya tumbuh dari yang halal dan tidak malas beribadah maka imannya menjadi kuat.
Adapun uang haram yang ada pada para koruptor itu biarkan saja berputar di antara mereka yang lemah imannya, yang tidak terjamin keselamatannya di akhirat, yakni koruptor kelas Big Fish yang menarget, orang yang ditarget yang dianggap small fish, dan orang perusahaan yang nakal. Kalau para pegawai di perusahaan itu kuat imannya, tidak mau dibayar dengan uang haram atau mereka keluar, maka perusahaan itu akan mati gulung tikar sendiri. Sekarang adakah orang yang mau meningkatkan keimanan? (Bagaimana caranya?) Ini masalah kalau tidak tahu. (Iman itu menguat karena taat, dan melemah karena ma’siat). Atau apakah kita sekarang banyak melihat pelemahan keimanan pada diri kita dan di sekitar kita sehingga korupsi menjamur termasuk pada diri kita? Na’udzubillahi min dzalik.
*)Bahan diskusi Majlis Ta’lim ”Pecinta Ilmu”, 23-Januari -2011.

Rabu, 28 Juli 2010

BAHASA ARAB_Evaluasi Kemampuan Berbahasa Arab*

1. Evaluasi Teoretis dan Praktis
Evaluasi kemampuan berbahasa Arab mengacu pada tujuan pembelajarannya. Kemampuan membaca tulisan gundul bukan me-rupakan tujuan pengajaran bahasa Arab. Secara teoretis idealis telah dikemukakan di muka bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah agar bahasa Arab dapat dikuasai sehingga dapat dipergunakan secara aktif, baik memehami maupun memberikan kepahaman dengan bahasa tersebut. Materi pembelajaran bahasa Arab adalah kosa kata dan gramatikanya, maka yang ingin diungkap dalam evaluasi kemampuan berbahasa Arab adalah kemampuan dalam memahami dan menggunakan kosa kata Arab dengan benar sesuai aturan tata bahasanya.

Minggu, 25 Juli 2010

BAHASA ARAB_Bahasa Sasaran: Dari Amiyah ke Fusha*

Kalangan terpelajar banyak yang tahu bahwa bahasa Arab ada dua macam, yaitu bahasa Arab Fusha dan 'Amiyah. Bahasa Arab Fusha dikenal dengan bahasa Arab baku atau standar dan banyak yang menyebutnya sebagai bahasa Arab klasik (classical Arabic), bahkan ada yang menyebutnya sebagai Bahasa Arab Standar Modern.(Sabah Ghazzawi: 1992, 2). Sedangkan bahasa Arab 'Amiyah dikenal dengan bahasa Arab yaumiah (harian) bahkan suqiyah (pasaran), dan ada juga yang menyebutnya dengan bahasa Arab kolukwial atau dialek lisan setempat (Azhar Arsyad: 2003, 3).
Kedua macam bahasa Arab tersebut tidak perlu dibedakan dengan menyebutnya sebagai bahasa tulisan untuk bahasa Arab Fusha dan menyebutnya sebagai bahasa lisan untuk bahasa Arab 'Amiyah, karena sebutan bahasa tulisan dan lisan itu sudah melenceng dari pengertian bahasa. Bahasa adalah bunyi sedangkan tulisan adalah lambang bunyi. Di samping itu penyebutan bahasa Arab tulisan dan lisan itu akan menyebabkan timbulnya pengertian yang melenceng yakni bahasa Arab Fusha itu dianggap hanya ada dalam tulisan atau buku-buku, sedangkan bahasa Arab yang diucapkan dengan lisan itu dianggap bahasa Arab 'Amiyah, padahal bahasa Arab Fusha juga diucapkan dengan lisan.
Kajian tentang macam bahasa Arab disini bukan sekedar untuk menunjukkan ciri-ciri kedua macam bahasa itu, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menunjukkan apa sebenarnya di balik perbedaan serta apa dampak dari pemakaian kedua macam bahasa itu ditinjau dari strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab. Ujung-ujungnya adalah menentukan pilihan macam bahasa Arab yang menjadi sasaran pendidikan, bahasa Arab Fusha atau 'Amiyah.
1. Bermuara pada Bahasa Arab Fusha
Bahasa Arab Fusha ini digambarkan sebagai bahasa yang dipakai oleh masyarakat pada masa Rasulullah SAW. meskipun tentu saja terdapat beberapa kosa kata baru buat obyek-obyek dan konsep-konsep yang kurang familiar pada masa itu. Bahasa Arab standar ini merupakan media pokok komunkasi dalam bentuk buku-buku, majalah, surat kabar, papan-papan pengumuman, dokumen pemerintahan, surat menyurat dan surat pribadi, juga dipakai oleh media televisi dan radio, termasuk dalam pidato-pidato serta konferensi-konferensi dan seminar-seminar ilmiah bahkan di bangku-bangku kuliah. Oleh karena itu bahasa Arab standar ini merupakan bahasa yang berlaku di semua negara yang berpenduduk mayoritas Arab dan Muslim (Azhar Arsyad: 2003, 4).
Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam ko-munikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah SAW. dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya. Mengenai hal ini Ghazzawi menyatakan:
since classical Arabic has change so little since Muham-mad's time, Arab today can read Arabic written in seventh or eighth century without too much difficult. This is quite different from the situation in English, as we can not read Old English texts without special study, as though for foreign language (Sabah Ghazzawi: 1992, 2).
Keberadaan bahasa Arab Fusha yang begitu konstan bertahan sampai kini dan akan datang tidak lepas dari peran Quran yang ter-jaga keasliannya sampai nanti. Terpeliharanya Quran demikian ini menunjukkan bahwa kaedah-kaedah bahasa Arab juga stabil. Meskipun demikian bukan berarti ilmu nahwu dan sharaf yang dikenal sekarang ini sudah lengkap, sempurna, dan sudah tidak dapat berkembang lagi. Hal ini dapat dipahami dengan adanya berbagai struktur dan bentuk kata dalam Quran yang belum teruraikan sampai saat ini.
Ilmu nahwu dan sharaf itu akan berkembang juga sesuai dengan perkembangan percakapan bangsa Arab meskipun tidak secepat perkembangan kosa katanya dengan cara serapan. Kosa kata Arab semula berasal dari berbagai dialek kabilah-kabilah Arab. Untuk kepentingan bersama seperti dalam perdagangan di kota Mekkah maka masing-masing suku itu berusaha saling memahami masing-masing dialek yang dipergunakan. Pada masa itu juga diadakan perlombaan sastra berupa syair-syair, dan yang baik ditempelkan di Ka'bah. Ini bisa dipahami sebagai awal mula "pemilihan bahasa" untuk dipakai bersama. Ternyata dialek yang diterima oleh suku-suku Arab, dengan berbagai sebab, adalah dialek dari suku Quraish. Penerimaan dialek Quraish untuk bangsa Arab itu merupakan lahirnya bahasa Fusha. Bahasa Arab yang dipergunakan dalam Quran berdialek Quraish meskipun ada juga beberapa struktur dan juga kosa kata yang tidak berasal dari dialek Quraish.
Kajian di atas menunjukkan bahwa bahasa Arab Fusha atau standar yang menggelobal itu sebetulnya juga berasal dari salah sa-tu suku Arab. Jadi bahasa Arab standar adalah bahasa Arab yang disepakati pemakaiannya bersama oleh suku-suku Arab. Karena itu bahasa Arab dengan dialek dari salah satu suku yang tidak dipakai dengan aturan yang disepakati bersama oleh suku-suku Arab tidak dapat dinyatakan sebagai bahasa Fusha. Aturan pemakaian bahasa atau tata bahasa yang disepakti itu diperoleh dengan cara induksi dari Quran dan juga syair-syair yang dihafal.
Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Quran dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraish. Jadi bahasa Arab Fusha ini kosa kata dan aturan pemakaiannya disepakati oleh suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha ini yang menjadi materi pembelajaran bahasa Arab, yang sekarang ini diupayakan strategi pengembangan pendidikannya. Suka atau tidak suka, bahasa Arab Fusha itu akan menjadi bahasa yang hidup dan terpelihara, karena merupakan kristalisasi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha itu disepakati dan difungsikan sebagai alat komunikasi untuk semua bangsa Arab. Pada akhirnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajari bahasa Arab Fusha.
2. Mewaspadai Bahasa Arab 'Amiyah
Dalam kajian ini yang dimaksud dengan Bahasa Arab 'Amiyah itu ada dua. Bahasa Arab 'Amiyah pertama yaitu bahasa Arab yang belum disepakati pemakaiannya oleh semua suku Arab, dan bahasa Arab 'Amiyah kedua yaitu bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan bahasa Arab standar.
Bahasa Arab 'Amiyah yang pertama bisa berkembang statusnya menjadi bahasa Arab Fusha karena kekuatan salah satu suku Arab yang memilikinya sehingga bisa diterima oleh semua suku. Misalnya kata haliib dalam dialek lokal Damaskus yang memiliki arti sama dengan kata laban dalam dialek Kairo, yang berarti susu (Azhar Arsyad: 2003, 4). Kedua kata yang berbeda itu akhirnya dipakai dalam bahasa Arab standar menjadi sinonim. Kedua kata itu sering dipakai dan memiliki bentuknya dalam tulisan serta mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab Fusha. Kata haliib atau laban ini merupakan contoh bahasa Arab 'Amiyah yang disebut kolukwial (Azhar Arsyad: 2003, 3). Pada gilirannya bahasa Arab kolukwial ini bisa menjadi bahasa Arab Standar karena bisa mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab standar.
Adapun bahasa Arab 'Amiyah kedua, yakni bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan atau kaedah-kaedah bahasa Arab standar, maka bahasa Arab ini sering dipakai secara lisan dan jarang bahkan tidak pernah memiliki bentuknya dalam tulisan. Baha-sa Arab 'Amiyah ini biasanya diucapkan secara terpotong-potong. Setiap kosa-kata tidak disusun beraturan meskipun dapat dipahami sebagai suatu kalimat sempurna. Keadaan demikian menyebabkan bahasa tersebut pantas untuk disebut sebagai bahasa 'Amiyah, dengan konotasi bahasa santai untuk orang-orang awam. Bahasa Arab ini dipergunakan sering kali dalam percakapan singkat-singkat dan tidak memerlukan pemikiran mendalam.
Bahasa Arab 'Amiyah demikian ini pada umumnya berakhiran dengan bunyi mati. Kalau terpaksa dilambangkan dengan tulisan maka untuk setiap akhir kata senantiasa disukun, bahkan dikurangi suku katanya, dan juga pada pertengahan bunyi suku katanya berbeda dari bahasa Arab Fusha. Jadi bahasa Arab ini pada mulanya berasal dari bahasa Arab Fusha tetapi dipakai dengan seenaknya secara bebas tanpa terikat aturan dengan asumsi bahwa yang penting sudah dapat dipahami. Misalnya ucapan "Maaliis'", bila diucapkan dengan baik maka bunyinya "Maa 'alaihi syai'", artinya "Tidak ada masalah". Begitu juga ucapan "Khombesy" yang bunyi aslinya adalah "Khomsya 'Asyar", artinya “lima belas”. Tampak bahwa bahasa Arab ‘Amiyah ini adalah bahasa Fusha yang dirusak.
Terhadap pemakaian bahasa Arab 'Amiyah ini perlu waspada. Kewaspadaan itu berkaitan dengan apa yang ada di balik kebanggaan pemakaiannya. Demikian ini mengingat apa yang pernah terjadi bahwa ada ajakan untuk mempergunakan bahasa Arab 'Amiyah untuk menggantikan bahasa standar di Mesir pada bulan Januari 1893 Masehi. Ajakan itu dimulai ketika seorang insinyur Inggris bernama William Wilcox memberi kuliah di rumah peristirahatan Azbakiah dengan judul "Kenapa sekarang di kalangan orang-orang Mesir tidak terdapat kekuatan daya cipta (creativity)?, yang isinya menunjukkan bahwa orang Inggris kreatif karena menggunakan bahasa pasaran sehingga muncul Shakespeare dan juga Bacon (Hasan Langgulung: 1987, 94).
Tujuan ajakan itu untuk menghancurkan peradaban Islam, dengan cara meragukan kemampuan bahasa standar untuk memenuhi kebutuhan tuntutan dunia modern, sehingga tidak akan lagi ada yang menggunakan bahasa Arab.(Hasan Langgulung: 1987, 94) Bahkan Anis Farihah, sarjana Arab yang ahli bahasa Arab, menyatakan bahwa bahasa Fusha bukan bahasa percakapan, jadi tidak dapat diharapkan menggambarkan kehidupan dengan pahit-manisnya serta kasar-halusnya, seperti yang dapat dibuat oleh bahasa pasar.(MM Mursi: 1977, 226).
Bila ajakan menggunakan bahasa pasaran itu murni untuk mengembangkan kreativitas, maka sebetulnya tidak harus dengan cara menggunakan bahasa pasaran. Hal ini disebabkan bahasa Arab pasaran itu berbeda dari bahasa Inggris pasaran atau yang lain. Bahasa Arab 'Amiyah adalah bahasa yang tidak disepakati oleh suku-suku Arab untuk dipakai bersama. Perlu diinsafi bahwa bahasa Arab pasaran itu adalah bahasa yang tidak sempurna atau yang rusak dari bahasa Arab Fusha. Ini berbeda dari bahasa Inggris yang memiliki bahasa pasarannya sendiri dan bukan berasal dari bahasa Inggris standar yang dirusak atau yang dilisankan dengan tidak sempurna.
Bahasa Inggris pasaran dan juga bahasa pasaran lainnya bukan-lah bahasa yang rusak, tetapi karena istilah baru yang memang dipergunskan untuk lisan saja. Bahasa Inggris pasaran itu bukan karena melencengnya bunyi fonem seperti yang terjadi dalam bahasa Arab pasaran. Gambaran bahasa Arab pasaran yang berasal dari bahasa Arab Fusha sebagaimana dalam tabel berikut.

TABEL BAHASA ARAB 'AMIYAH
Bunyi Bhs Amiyah Asal Dialek Amiyah Asal Bahasa Arab Fusha Artinya
Istabghoh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Tabghi Apa maumu?
Ayis ih/Aisyn uh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Turidu Apa maumu?
Aiwah/ Iih Mekkah, Kairo Naam , ajal Ya
Lissa maghoos Kairo Laisa Ma Jaa Belum datang
Tirja' Mekkah, Kairo Tarji' Pulang
Akhoya Mekkah Ya akhi Hai sdr-ku
Imta Mekkah, Kairo Mataa Kapan
Maa liis Mekkah, Kairo Ma alaihi syaiun Tak masalah
Bitu 'uulee Kairo Biayyati al-lughah Bicara apa?
Istannaa hina Mekkah Intadhir huna Tunggu disini
Minu Bagdad Man Siapa?
Miin Damaskus, Kairo Man Siapa?

Kalau ada yang menganggap bahwa bahasa Arab Fusha tidak mampu mengungkapkan perasaan hati nurani yang halus dan tidak dapat memenuhi tuntutan dunia modern, maka pendapat itu tidak benar, karena jauh sebelumnya bahasa Arab sudah dipakai untuk berbagai kepentingan, seperti pengungkapan perasaan hati dalam berbagai syair, dan juga adanya konsep ta'rib, yakni memasukkan bahasa asing menjadi bahasa Arab ketika belum ditemukan kata itu dalam bahasa Arab. Jadi ajakan untuk menggunakan bahasa Amiyah dengan alasan ketidakmampuan bahasa Arab Fusha untuk kepentingan pengungkapan segala macam makna tersebut tidak patut untuk diperhatikan.
Keberadaan bahasa Arab 'Amiyah itu banyak disebabkan oleh kemalasan mengucapkan dengan sempurna. Dalam berbagai kasus dapat diketahui bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu hanya dipakai dalam pergaulan sehari-hari dengan ringan dan tidak dipikirkan bagaimana mengabadikan ucapan itu dalam sebuah tulisan. Bahasa Arab 'Amiyah itu diucapkan untuk tidak perlu diperhatikan atau dipikirkan secara serius, diucapkan dan dilupakan. Oleh karena itu kosa katanya seenaknya, dengan prinsip bahwa pada saat diucapkan pendengarnya bisa mengerti.
Ditinjau dari segi pelestarian peradaban, maka tidak heran bila ajakan untuk menggunakan bahasa Arab pasaran itu tujuannya untuk meninggalkan atau melupakan peradaban Islam. Cara yang dipergunakan adalah dengan pelah-pelan dan sedikit demi sedikit tidak memakai bahasa Arab Fusha atau menjadikan agar bahasa Arab Fusha itu rusak, sehingga tidak lagi bisa mengenal ajaran Islam yang diterangkan dengan bahasa Arab Fusha.
3. Mendayagunakan Bahasa Arab 'Amiyah
Bahasa Arab 'Amiyah yang berasal dari bahasa Arab Fusha sering diucapkan dengan lancar dan cepat. Sering kali pemakai baha-sa Arab 'Amiyah ini merasa bangga. Kebanggaan itu biasanya muncul karena adanya perasaan lebih "keren" atau ada anggapan bahwa bahasanya lebih "up to date" bila dibandingkan dengan pemakaian bahasa Arab Fusha yang disebut klasik. Kebanggaan itu juga bisa muncul karena merasa bahwa pemakai bahasa 'Amiyah itu setidak-tidaknya sudah mahir berbicara dengan bangsa Arab pada umumnya di Timur Tengah. Mereka itu berbahasa 'Amiyah sebagai pengantar ringkas dalam menerangkan hal-hal sederhana.
Kebanggaan menggunakan bahasa Arab 'Amiyah bisa mengarah pada melencengnya tujuan pembelajaran bahasa Arab. Perlu dihimbau agar pemakaian bahasa Arab 'Amiyah itu sekedar sebagai bahasa pembantu ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Apabila sudah dapat berbahasa Arab Fusha maka menjadi naif untuk kem-bali pada bahasa 'Amiyah. Memang bahasa 'Amiyah umumnya dipakai oleh orang-orang Arab dewasa ini, namun pada dasanya mereka itu memahami bahasa Arab Fusha, hanya saja tidak mahir menggunakannya dengan baik. Hal ini terbukti bahwa mereka itu ternyata paham ketika mendengar Quran yang fusha itu dibaca.
Memasukkan materi pembelajaran bahasa 'Amiyah ke dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Arab hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Praktek pembelajaran bahasa 'Amiyah justru akan merusak kemampuannya dalam berbahasa Arab Fusha. Lagi pula kosa kata bahasa Arab 'Amiyah itu tidak banyak dan mudah dipelajari sendiri tanpa harus terstruktur dalam kurikulum.
Alasan yang kuat untuk tidak mengajarkan bahasa 'Amiyah adalah bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu tidak dipahami oleh seluruh orang Arab, sedangkan bahasa Arab Fusha dapat dipahami. Mereka mengagumi dan menghargai siapa saja yang bisa berbicara dengan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar bahasa Arab Fusha sudah mencu-kupi untuk keperluan berkomunikasi dengan semua suku Arab. Memang ada pengecualian, misalnya untuk bertempat tinggal agak lama di Timur Tengah pada satu suku tertentu, maka perlu mem-pelajari bahasa Arab 'Amiyah kolukwial.
Tulisan ini bukan untuk menolak keberadaan bahasa 'Amiyah, tetapi untuk memberikan pandangan positif bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu perlu dimanfaatkan sebatas keperluan sementara ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Perlu diketahui pula bahwa sebetulnya merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi orang Arab, sekalipun yang terpelajar, untuk berbahasa Arab Fusha. Jadi tidaklah patut untuk menyatakan bahwa bahasa Arab Fusha itu sangat sulit bagi orang-orang non-Arab saja.
Kajian tersebut diatas menjadi peringatan bagi guru atau dosen yang membangga-banggakan kemahirannya berbahasa Arab 'Amiyah, karena secara tidak langsung ikut andil dalam perusakan peradaban Islam. Dalam konteks strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab, maka menghindari pemakaian bahasa 'Amiyah adalah sebuah keniscayaan.
4. Hubungan Bahasa Arab Fusha dengan Ilmu Nahwu
Disebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang i'rab perkataan Arab.( Ma’luf: Beirut, 1973, 796). Ada yang menyebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang susunan kalimat dan ciri khasnya. Ilmu ini bukan saja mempelajari i'rab dan problematikanya tetapi juga menyinggung masalah-masalah lain yang penting, seperti kedudukan kata dalam kalimat, hubungan intern antar unit-unit morfem yang membentuk kalimat atau ungkapan-ungkapan dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan tata kalimat (Chotibul Umam: 1980, 18-19). Dengan ilmu nahwu dapat diketahui keadaan bentuk kata ketika sendirian dan ketika disusun.( Amin Ali As-Sayyid: 1986, Vol. I, 13-4) Dengan kaedah-kaedah yang ada dalam ilmu nahwu dapat diketahui susunan-susunan bahasa Arab dari segi i'rab dan bina' dan sebagainya (Ali bin Muhammad Al-Jurjani: tt., 240).
Pembahasan dalam ilmu nahwu didominasi oleh permasalahan i'rab sehingga ada yang menyebut ilmu nahwu adalah ilmu yang membicarakan kaedah-kaedah keadaan kata-kata Arab dari segi i'rab dan bina’ sehingga dapat diketahui keadaan akhir kata (Musthafa al-Gholayaini: 1973, Vol, I, 6) Dari definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ilmu nahwu itu dapat dinyatakan sebagai ilmu untuk menentukan harakat dan keadaan akhir sebuah kata untuk disusun dalam sebuah kalimat. Jadi ilmu nahwu itu fungsinya adalah untuk mengatur kata-kata yang dipakai dalam komunikasi sesuai dengan aturan bahasa Arab.
Dengan ilmu nahwu seseorang dapat menyusun kalimat bahasa Arab dan menentukan bunyi akhir kata dengan benar. Dengan ilmu nahwu pula seseorang dapat memahami dengan benar kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun dengan tulisan. Dengan ilmu nahwu, maka komunikasi berbahasa Arab dapat dipahami dengan benar. Jadi kegunaan ilmu nahwu bagi penulis adalah untuk memberikan pemahaman yang benar melalui tulisannya dengan jelas, dan bagi pembaca adalah untuk memahami tulisan yang sudah jelas. Ketegasan tulisan dalam melambangkan bunyi mutlak diperlukan dan diharuskan agar didapatkan pengertian yang tepat berdasarkan ilmu nahwu.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahamai bahwa ilmu nahwu itu gramatika bahasa Arab. Ilmu ini mempunyai fungsi sebagaimana fungsi gramatika bahasa-bahasa selain bahasa Arab. Ilmu nahwu ini bukan alat untuk membaca kitab gundul, bukan untuk menentukan harakat akhir kata yang tidak diharakati. Memberi harakat adalah tugas dan tanggung jawab penulisnya. Pembaca bertugas memahami apa yang tertulis. Bila ternyata terjadi kekeliruan dalam pemberian harakat oleh penulisnya maka itu adalah kasus kesalahan penulisan yang harus dibetulkan. Kekeliruan penulisan harakat bukan berarti lebih baik tidak diharakati, namun seharusnya penulis lebih teliti atau harus belajar lagi ilmu nahwu agar bisa menyempurnakan tulisannya dengan betul.
Dalam kaitannya dengan bahasa Arab Fusha, maka peran ilmu nahwu begitu berarti. Bahasa Arab Fusha senantiasa teratur dan se-suai dengan kaedah-kaedah bahasa. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, il-mu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa 'Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan. Ditinjau dari strategi pendidikan bahasa Arab, maka makin sempurna bahasa Arab yang diajarkan makin maksimal peran ilmu nahwu, dan makin tidak teratur bahasa yang diajarkan, semisal bahasa 'Arab 'Amiyah, makin tidak berperan pula ilmu nahwu.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006),111-121
__________________
Kepustakaan
Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ghazzawi, Sabah, The Arabic Language (Washington D.C: Centre for Contemporary Arab Studies, 1992).
al-Gholayaini Musthafa, Jami' ad-Durus al-'Arabiyah (Beirut: Al-Maktabah al-'Ashriyah, 1973, Vol. I).
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, At-Ta'rifat (Jeddah: Al-Haramain, tt.),
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987).
Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A'lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)
MM Mursi, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Khairah: 'Alam al-Kutub, 1977).
As-Sayyid, Amin Ali, Fi Ilm al-Nahwi (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1986, Vol. I).
Umam, Chotibul. Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980)

Senin, 19 Juli 2010

BAHASA ARAB_Rekonstruksi Konsep I'rab*

1. Kerancuan dalam Konsep I'rab
Bahasa Arab memang memiliki keistimewaan, tetapi keistimewaan itu bukan berarti suatu hal yang menimbulkan kesulitan. Dalam hal i'rab yang sering dianggap sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair an’Natiqin biha (Muhadjir Shulthan: 1998) maka sebetulnya itu adalah penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang i'rab harus diluruskan. I'rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyir (pengubahan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t, 7) atau taghoyyur (perubahan) (Abbas Hasan: 1966,Vol.I, 69), atau atsar (gejala alamat i'rab) (Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid: t.t., Vol. I, 39), atau juga didefinisikan sebagai bayan (keterangan tentang jabatan kata dalam kalimat)(Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Empat macam pengertian tentang i'rab tersebut merupakan hasil pengelompokan dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para penulis buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-masing kelompok definisi tersebut diwakili oleh satu definisi, yang selengkapnya dikemukakan berikut ini agar dapat diketahui dengan jelas adanya kerancuan dalam pemahaman tentang i'rab selama ini.
Abbas Hasan menyebutkan bahwa:
اَلإعْرَابُ هُوَ تغيّرُ العلامَةِ التى فِى آخِرِ اللفْظِ بِسَبَبِ تغيّرِ العَوَامِلِ الداخِلةِ عَلَيْهِ وَ مَا يَقتَضيْه كلُّ عامِلٍ
(I'rab adalah berubahnya tanda di akhir kata yang disebabkan oleh berubahnya faktor-faktor yang masuk pada kata tersebut dan karena tuntutan setiap faktor yang mempengaruhinya) ( Abbas Hasan: 1966, Vol I, 69).
Abdullah bin Ahmad al-Fakihi menyebutkan bahwa:
الإعْرابُ تَغييرُ أوَاخِرِ الكَلِمِ لاخْتِلافِ العَوامِلِ الداخِلَةِ عَلَيْها لفْظًا أوْ تَقديرًا
(I'rab adalah pengubahan akhir masing-masing kata karena perbe-daan faktor-faktor yang memasukinya baik diucapkan maupun diperkirakan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: tt, 7).
Definisi i'rab yang lainnya berbeda, dikemukakan oleh Ibn Hisyam al-Anshori, demikian:
الإعْرابُ أثَرٌ ظاهِرٌ أوْ مُقَدَّرٌ يَجْلِبُهُ العامِلُ فى آخِرِ الآسْمِ المُتَمَكِّنِ وَ الفِعْلِ المُضارِعِ
(I'rab adalah gejala yang tampak nyata atau yang diperkirakan di akhir isim yang “memungkinkan” dan fi'il mudlori' karena faktor yang mempengaruhi) (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12).
Definisi yang "terakhir" lebih panjang, demikian:
االإعْرابُ بَيَانُ مَا لِلْكلِمَةِ أوْ الجُمْلَةِ مِنْ وَظِيفَةٍ لُغَوِيَةٍ أوْمِنْ قِيمَةٍ نَحْوِيَةٍ كَكَوْنِهَا مُسْنَدًا إلَيْهِ أوْ مُضَافًا إليهِ أوْ فاعِلا أوْ مَفْعُوْلاً أوْ حَالاً أو غَيْرَ ذلِك مِنْ الوَظائِفِ التى تُؤدِّ يها الكلماتُ فِى ثنايا الجُمَلِ و تؤَدِ يها الجُمِلٌ فى ثنايا الكَلامِ.
(I'rab adalah keterangan tentang kata atau frasa (jumlah) dari segi fungsi atau nilai-nilai sintaksis, seperti keberadaan kata itu sebagai musnad ilaih (subyek), atau mudlof ilaih, atau fa'il, atau maf'ul atau hal atau lainnya dari segi fungsi-fungsi kata dalam suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu kalimat) (Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Perbedaan definisi bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada substansinya. Secara singkat perbedaan itu menunjukkan belum ditemukannya hakekat i'rab. Untuk itu perlu verifikasi definisi agar dapat diperoleh hakekat i'rab.
2. Verifikasi Definisi I'rab
Definisi kelompok pertama dan kedua yang menyebutkan bahwa i'rab adalah "pengubahan" atau "perubahan" akhir masing-masing kata karena perbedaan faktor yang memasukinya, menganggap bahwa i'rab itu adalah suatu proses perubahan yang abstrak, tidak kelihatan konkret. Berubahnya akhir kata itu tidak kelihatan, tiba-tiba saja tanda i'rab itu berubah menjadi tanda i'rab yang lain.
Definisi ini menganggap bahwa i'rab itu berada di antara ketentuan tanda i'rab yang satu dengan yang lainnya. Padahal masing-masing i'rab, yakni i'rab rofa', nashab, jir dan jazm itu adalah ketentuan setelah selesainya 'perubahan' itu, misalnya berubah menjadi i'rab nashab, berubah menjadi i'rab jir atau menjadi i'rab jazm atau menjadi i'rab rofa'. Jadi i'rab itu bukan berada pada saat perubahan itu tetapi pada saat ketentuan setelah selesai perubahan itu.
Pada saat perubahan itu tidak ada namanya, hanya sekedar proses perubahan saja. Kalau di visualkan maka tampak seperti pada tabel berikut ini:
Perubahan I’rab Kata Isim dan Fi’il
Kata I’rab PP I’rab PP I’rab PP I’rab
Isim Rafa'  Nashab  Jir  Rafa' dst
Fi'il Rafa'  Jazm  Nashab  Jazm dst

Tanda panah () adalah keadaan kata sewaktu dalam proses perubahan (PP) untuk berubah menjadi rafa' atau nashab atau jazm atau jir dan seterusnya. Pada saat proses perubahan itu tidak ada i’rab. I’rab itu ketentuan sebelum dan setelah proses perubahan.
Jadi kelihatan jelas bahwa proses perubahan itu bukan i'rab atau i'rab itu bukan pengubahan dan juga bukan perubahan. Dengan bahasa Arab bisa dinyatakan bahwa:
الإعْرَابُ لَيْسَِ بِتغيير و لا بتغيّر
I'rab itu ada setelah selesai perubahan. Dengan demikian tidaklah tepat menyatakan bahwa i'rab itu pengubahan atau perubahan.
Selanjutnya definisi kelompok ketiga menyatakan bahwa i'rab adalah atsar (gejala) yang dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa yang berubah-ubah itu memang harakat yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya i'rab (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12). Padahal sudah disepakati oleh semua ulama nahwu bahwa harakat di akhir kata “رجلٌ” dan “ رجلا” atau “رجلٍ “ adalah tanda i'rab, yang kadang-kadang berupa huruf bahkan membuang huruf atau dikenal dengan hadzaf, seperti dalam kata-kata berikut ini:
المسلمون, لا تتخيلوا ....

Perlu dicermati dengan seksama bahwa alamat atau tanda sesuatu itu bukan sesuatu itu sendiri. Tanda i'rab kata itu tidak sama dengan i'rab kata. I'rab adalah i'rab dan tanda i'rab adala tanda i'rab dan bukan i'rab. Dengan demikian, definisi yang menyatakan bahwa i'rab itu adalah harakat atau dinyatakan dengan (atsar) sebetulnya bukan definisi i'rab, karena memang I'rab itu bukan tanda i'rab. Dengan bahasa Arab dapat dinyatakan bahwa:
الإعراب ليس بأثر و لا بعلامة الإعراب
Jadi i'rab itu bukan atsar.
Definisi keempat menerangkan bahwa i'rab adalah bayan (keterangan). Definisi ini menekankan fungsi i'rab yang dimanfaatkan sebagai petunjuk tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Misalnya diketahui bahwa i'rab suatu kata itu rafa' maka yang dipahami dari i'rab kata tersebut adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata yang beri'rab rafa', yang mungkin sedang berfungsi sebagai fa'il atau mubtada' atau na'ib al-fa'il dan sebagainya.
Dengan demikian maka penyebutan i'rab rafa' untuk kata tersebut tidak lain adalah untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat dengan sempurna sesuai dengan fungsi masing-masing kata yang telah diketahui i'rabnya.
Definisi keempat sampai sebatas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah kegunaan i'rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jabatannya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam i'rabnya. Macam i'rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata itu dalam sebuah kalimat.
Dalam pandangan selintas tampaknya dapat dipahami bahwa i'rab itu merupakan suatu keterangan tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Akan tetapi definisi demikian tidak menerangkan tentang hakekat i'rab. Definisi tersebut menunjukkan guna atau faedah i'rab dalam suatu kalimat bukan hakekat i'rab. I'rab bisa digunakan untuk menerangkan fungsi kata dalam kalimat, dan fungsi atau guna ideal i'rab itu bukan hakekat i'rabnya. Jadi definisi keempat tersebut tidak menunjukkan hakekat i'rab, tetapi fungsinya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu kiranya diinsafi bahwa sampai sejauh ini sebetulnya hakekat i'rab belum dimunculkan. Oleh karena itu tidak heran bila banyak keterangan simpang siur mengenai i'rab. Ini salah satu alasan perlu adanya kajian ulang tentang i'rab agar pembelajaran ilmu nahwu menjadi mudah tanpa harus menghindari keberadaan i'rab sepeti dalam percakapan dengan bahasa Arab Amiyah.
3. Realitas I'rab dan Fungsi Tanda I'rab
Upaya mempermudah pembelajaran ilmu nahwu dengan cara menghindari masalah i'rab, yaitu dengan cara selalu mewaqafkan dalam tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan erat dengan anggapan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Akan tetapi cara demikian ini pada gilirannya akan tetap menemui kesulitan karena kata-kata Arab meskipun diwaqafkan tetap saja memiliki tanda i'rab dan tidak bisa dihilangkan, misalnya dalam kalimat: Ja'a al-Muslimuna (جاء المسلمون), tetap saja ada tanda i'rabnya meskipun dibaca waqaf,.karena pada dasarnya mewaqafkan itu bukan menghilangkan tanda i'rab.
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata i'rab itu hanyalah sebuah istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab sehingga berada dalam klasifikasi rafa', nashab, jir dan jazm berdasarkan pada keadaan akhir kata yang menjadi tanda i'rab (Saidun Fiddaroini: 2004, 105). Dengan penjelasan demikian maka setiap kata yang memi-liki tanda i'rab berarti ia mu'rab dan apabila kata itu tidak memiliki tanda i'rab, sehingga tidak ada bedanya meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rofa', atau nashab, atau jir atau jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena adanya usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.
Selanjutnya defini i'rab demikian menjadikan istilah alamat i'rab muqaddar atau i'rab taqdiri tidak berlaku. Tanda i'rab itu tidak muqaddar. Bila tanda i'rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri. Sebuah tanda itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis dan bisa diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.
Sangat jauh dari pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda i'rab itu muqaddar atau diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak ada tanda. Cukup saja dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i'rab yang membedakan ketika dalam klasifikasi rofa' atau nashab atau jir atau jazm. Oleh karena itu kata-kata demikian ini, yang tidak memiliki tanda i'rab, apabila dii'rabi atau diklasifikasikan maka cara mengi'rabinya terbalik. Artinya, kegiatan menentukan i'rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan pada fungsinya dalam kalimat atau posisinya dalam struktur kalimat.
Proses mengi'rabi demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud kalimat atau fungsi kata itu dalam kalimat supaya tahu i'rabnya. Proses demikian ini proses mubaddzir yang sia-sia, karena tidak ada gunanya kata itu dii'rabi bila sudah dikatahui maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau diklasifikasi ternyata kata tersebut tetap saja tidak ada tanda yang perlu dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata yang memiliki tanda i'rab dimana cara mengi'rabinya berdasarkan pada tanda i'rab yang ada pada kata itu, baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam kalimat. Setelah diketahui fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh. Dengan demikian kelihatan jelas fungsi tanda i'rab itu, yaitu untuk menunjukkan i'rab atau klasifikasi kata.
Setelah tahu i'rab suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi kata dalam kalimat dan dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini sekaliguis memberikan informasi tentang fungsi tanda i'rab. Adapun sebutan mabni maka istilah tersebut muncul karena adanya kata yang tidak memiliki tanda i'rab tetapi tetap saja dipaksakan untuk dii’rabi atau diklasifikasikan menjadi rofa', nashab, jir, atau jazm. Padahal kata-kata demikian tidak memerlukan i'rab karena tidak punya tanda i'rab yang bisa membedakan. Dari sini dapat dipahami bahwa i'rab taqdiri dan mahalli adalah i'rab main-main, karena tidak ada manfaatnya sama sekali kecuali justru mempersulit dan menjadikan langkah mundur ketika sedang belajar bahasa Arab.
Bila sudah paham maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari i'rab kata itu. Boleh jadi ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa i'rab itu sebetulnya tidak ada. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i'rab itu ada dan perlu. Hanya saja keberadaan dan keperluannya itu tidak harus mempersulit atau menjadikan proses pemahaman bahasa Arab itu terhambat atau mundur. Inilah gunanya konsep baru tentang i'rab yang dikemukakan dalam tulisan ini.
Dengan hadirnya konsep baru tentang i'rab ini diharapkan konsep lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi kecuali dalam tataran wacana dan untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran ilmu nahwu sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai gramatika, bukan sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i'rab suatu kata yang tidak memiliki tanda i'rab. Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang telah menunjukkan i'rabnya melalui tanda i'rabnya yang tidak muqaddar, baru kemudian setelah diketahui i'rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat diketahui fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat.
Dengan orientasi demikian maka pembahasan jelimet tentang i'rab kata dalam sebuah kalimat tidak akan terjadi, karena penentuan i'rab kata dan kegunaan ilmu nahwu itu sendiri sudah berada jauh di belakang kepala bila suatu kalimat itu sudah dapat dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya diperlukan bagi orang yang berbahasa Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi orang yang berbahasa Arab secara otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya sebagai bahasa ibu. Itulah guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi pembelajaran bahasa Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 104-111
____________________
Kepustakaan
Fakihi, Abdullah bin Ahmad al-, Syarh al-Fawakih al-Janiyah 'ala Mutammimah al- Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma'arif, t.t. )
Hamid, Muhammad Muhyiddin Abd al-, Audloh al-Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik (Beirut: Shida, Al-Maktabah al-'Ashriyah, t.t., Vol. I)
Hasan, Abbas, An Nahwu al-Wafi (Kairo: Dar al-Maarif, 1966,Vol.I)
Hisyam, Ahmad bin Abdullah bin, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al- Maktabah as-Saqofiyah, t.t.).
Mahzumi Mahdi al-, Fi an-Nahwi al-'Arabiy Naqd wa Taujih (Beirut: Shida, Al- Maktabah al-'Ashriyah, 1964), 67
Muhadjir Shulthan, Thariqah Ta'lim al-'Arabiyah Li an-Nathiqina bi al-Indonesiyah (Surabaya: Makalah disajikan di Fakultyas Adab Surabaya, 1998)
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I'rab (Surabaya: Lajnah al-Ta'lif Wa al-Nasyr li Nahdlati al-'Ulama'I Jawa Timur, 2004), 105.

BAHASA ARAB_Penyalahgunaan Ilmu Nahwu*

Ada anggapan lama bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca tulisan gundul. Anggapan ini konkretnya dinyatakan oleh banyak pengamat ilmu ini dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut:”… Karena itu, agar bisa membaca dengan benar, pembaca harus menguasai tata bahasa (grammar) bahasa Arab secara matang”. ( Mundzar Fahman: 1989). Jauh sebelumnya ada yang menyatakan sebagai berikut:” Itulah sebabnya, untuk dapat membacanya (kitab-kitab gundul) seorang murid harus dapat mengenali kata demi kata dan tata bahasa Arab. (Zamakhsyari Dhofir: 1983, 29).
Anggapan bahwa ilmu nahwu sebagai alat untuk membaca kitab gundul ternyata sudah diterima dan disetujui oleh penulis buku ilmu nahwu dengan judul Al-Fath (Bimbingan Cepat Membaca Kitab Tulisan Gundul) yang isinya adalah pelajaran nahwu.(Lih: Kharisudin Aqib: 1992). Bahkan secara jelas terealisasikan bahwa ilmu nahwu itu difungsikan untuk dapat membaca kitab gundul dengan pernyataan dalam sebuah buku pelajaran nahwu dalam pengantarnya disebutkan bahwa pada saat kaedah pertama diajarkan para pelajar langsung dapat membaca tulisan gundul sederhana, yang dilanjutkan dengan pernyataan bahwa buku tersebut akan segera disusul buku lainnya untuk self study bagi mereka yang telah mengenal bahasa Arab secara acak untuk dirapikan baca gundulnya (Muhadjir Sulthon: 1998, ii).
Upaya memunculkan istilah musnad dan musnad ilaih dalam sebuah kalimat kemudian yang lain disebut sebagai takmilah harus dii'rabi nashab adalah dimaksudkan untuk mempermudah pembelajaran ilmu nahwu (Muhadjir Sulthon: 1998, iv-v).Upaya demikian ini juga tidak lepas dari adanya anggapan bahwa ilmu nahwu itu alat untuk membaca kitab gundul.
Problem yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan ilmu nahwu tersebut dapat diperhatikan pada uraian tentang proses membaca kalimat–kalimat yang tidak diharakati sebagai berikut.
Ada sebuah tulisan sederhana tidak bersyakal demikian:
(1) تلك المدرسة جميلة .
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian:
(1.a): Tilka al-Madrosah Jamilah. Artinya: Gedung sekolah itu baik.
(1.b): Tilka al-Mudarrisah Jamilah. Artinya: Guru (perempuan) itu cantik.
Ada dua maksud berbeda yang muncul dari satu tulisan gundul. Dua maksud itu sama benarnya berdasarkan ilmu nahwu.
Contoh konkret tulisan nomor (1) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk dua maksud sebagaimana digambarkan de-ngan bacaan-bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Dua kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka. Sedangkan tulisan gundul itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja.
Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor satu (1), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya? Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud yang bermacam-macam berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya untuk tulisan gundul nomor (1) tersebut.
Penentuan satu macam bacaan yang tepat untuk tulisan gundul nomor (1) bisa saja diperoleh dengan cara memahami dulu maksud tulisan itu, atau dengan cara memahami siyaq al-kalam, meskipun kalimat itu sudah sempurna. Kalau memang dengan cara demikian itu, yakni memahami dulu maksudnya, maka yang demikian itu berarti paham dulu maksud tulisan supaya dapat menentukan bacaannya dengan betul.
Proses membaca demikian itu, yakni paham dulu supaya dapat membaca dengan benar tulisan yang hendak dibaca adalah proses yang terbalik dan tidak logis, karena pada dasarnya tujuan membaca itu adalah untuk paham maksudnya, bukan paham dulu maksudnya agar dapat membaca tulisan itu dengan benar. Lagi pula kalau sudah paham maksud tulisan tersebut lalu untuk apa membacanya? Akan naif sekali bila mau membaca sebuah tulisan dianjurkan supaya bertanya dulu pada penulisnya, apa maksud tulisannya itu?, baru kemudian ia bisa membacanya dengan benar. Proses membaca tidak logis ini tentu saja menimbulkan suatu problem. Ini terjadi pada waktu membaca tulisan gundul dengan mempergunakan ilmu nahwu.
Ada juga tulisan lainnya demikian:
(2) قتل الناس عثمان
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian :
(2.a): Qotala al-Nasu ‘Utsmana. Artinya: Orang-orang itu membunuh Utsman.
(2.b): Qotala al-Nasa ‘Utsmanu. Artinya: Utsman membunuh orang-orang itu.
Ada dua maksud berlawanan yang muncul dari satu macam tulisan gundul tersebut, dan keduanya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (2) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digam-barkan dengan bacaan-bacaan nomor (2.a) atau (2.b). Dua kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (2) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (2), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (2.a) dan (2.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang semestinya untuk tulisan gundul nomor (2) tersebut. Demikian seterusnya sebagaimana problem yang terjadi pada tulisan nomor (1).
Misalnya lagi tulisan demikian:
(3) ما أحسن السماء
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan tiga macam bacaan yang betul, demikian:
(3.a): Ma Ahsana al-Sama'a. Artinya: Alangkah indahnya langit itu.
(3.b): Ma Ahsana al-Sama'u. Artinya: Langit itu memperindah apa?
(3.c): Ma Uhsinu al-Sama'a. Aku tidak memperindah langit itu.
Ada tiga maksud berbeda yang bisa muncul dari satu macam tu-lisan gundul tersebut, dan ketiganya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (3) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digambarkan dengan bacaan-bacaan nomor (3.a) atau (3.b) atau (3.c). Tiga kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (3) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Sementara pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada tiga kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (3), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (3.a) dan (3.b), dan (3.c). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan tiga perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Lagi-lagi ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya dikehendaki oleh penulisnya. Demikian seterusnya terjadilah problem sebagaimana pada kasus tulisan gundul nomor (1).
Contoh yang lain lagi, adalah tulisan demikian:
(4) غلقت الأبواب
Tulisan tersebut dapat dibaca dengan empat macam bacaan yang betul, demikian:
(4.a): Ghollaqtu al-Abwaba. Artinya: Aku menutup pintu-pintu itu.
(4.b): Ghollaqta al-Abwaba. Artinya: Kamu menutup pintu-pintu itu.
(4.c): Ghollaqti al-Abwaba. Artinya: Kamu (perempuan) menutup pintu-pintu itu.
(4.d): Ghulliqat al-Abwabu. Artinya: Pintu-pintu itu ditutup.
Ada empat macam bacaan berbeda (4.a), (4.b), (4.c), dan (4.d) yang bisa muncul dari satu macam tulisan gundul nomor (4) tersebut dan betul semua menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (4) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana diperkirakan dengan bacaan-bacaan nomor (4.a) atau (4.b) atau (4.c) atau (4.d). Empat kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan pembaca belaka karena belum tahu satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Penulisnya juga tidak mungkin bermaksud agar pembaca memilih pemahamannya sendiri dengan cara menebak-nebak seperti teka-teki, karena memang tulisan itu bukan untuk teka-teki, tetapi untuk mengungkapkan satu maksud agar dapat dipahami oleh pembacanya dengan benar apa maksud yang dikehendaki oleh penulisnya.
Kelihatan jelas bahwa ilmu nahwu tidak dapat menentukan satu bacaan yang betul sesuai dengan kemauan penulisnya. Ini artinya bahwa ilmu nahwu itu bukan alat untuk membaca tulisan gundul. Kalau ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat untuk membaca kitab gundul maka yang terjadi adalah penyalahgunaan ilmu nahwu.
Adapun penyalahgunaan ilmu nahwu yang bisa berbahaya, adalah ketika terjadi penafsiran yang dipaksakan dengan dasar ilmu nahwu. Contohnya lafadz Basmalah yang berbunyi Bismillahi al-Rohmani al-Rohimi (بسم الله الرحمنِ الرحيمِ . ). Kedua kata al-Rohman dan al-Rohim beri'rab Jir sebagai sifat lafdzu al-Jalalah. Dengan ilmu nahwu kedua kata tersebut bisa dibaca marfu' atau manshub atau majrur.sehingga ada sembilan macam bacaan Basmalah yang dimungkinkan, tetapi hanya ada tujuh yang benar berdasarkan ilmu nahwu (Ahmad Zaini Dahlan: t.t, 4). Macam bacaan tersebut sebagaimana dalam tabel berikut.
Tabel Macam Bacaan Basmalah
No. Bismillahi Al-Rahman / I'rab Al-Rahim /I'rab Keterangan
1. Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahimi/ Jir Benar dan resmi
2. Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahima/ nashab Benar sesuai kaedah
3. Bismillahi Al-Rahmani/Jir Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
4. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
5. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
6 Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah
7. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
8. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
9. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah

Bismillahi al-Rohmanu al-Rohimu, atau Bismillahi al-Rohmana al-Rohima, dengan alasan sifatnya dapat dipisah atau yang disebut dalam ilmu nahwu sebagai na'at maqtu'. Masalahnya bukan bisa dibaca rofa' atau nashob, tetapi lafadz itu semula dimaksudkan oleh Allah SWT untuk apa dengan bunyi yang bagaimana. Bunyi itu menentukan makna. Bolehkah kita mengubah kehendak Pembicara? Apalagi dalam hal ini yang berfirman adalah Allah SWT. Allah SWT menghendaki bunyi lafdz tersebut dengan i'rab jir untuk kedua kata al-Rohman dan al-Rohim.
Ketentuan bunyi itu ada maksudnya tersendiri. Sangat tidak tepat mengubah ucapan atau pembicaraan hanya karena keahlian dalam permainan ilmu nahwu. Ini merupakan penyalahgunaan ilmu nahwu secara sadar. Pengubahan bunyi demikian bisa juga terjadi pada surat Fathir ayat 28 dengan membaca lafdzu al-jalalah marfu' dan al-'Ulama' mansub sehingga artinya menunjukkan bahwa Tuhan itu takut pada para Ulama', dengan penafsiran dibuat-buat supaya bisa dibenarkan, yakni takut di sini dalam arti khawatir; padahal tulisan mushaf yang ada adalah sebaliknya bahwa lafdzu al-Jalalah manshub dan kata al-'Ulama'u itu marfu', sebagaimana ayat tersebut (QS. Fathir/35 : 28) demikian:
………إنما يخشى اللهَ من عباده العلمـؤا ………
Yang artinya bahwa yang takut pada Tuhan hanyalah para Ulama'.
Perlu dipahami bahwa penyalahgunaan ilmu nahwu, yang menganggap bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca kitab gundul, juga bisa merendahkan martabat ilmu nahwu. Demikian ini karena ilmu nahwu itu menjadi tidak ada gunanya kalau tulisan bahasa Arab semua sudah sempurna dilengkapi dengan syakal, seperti Quran sekarang yang sudah sempurna lengkap dengan syakalnya, dan kitab-kitab lama yang dewasa ini sudah dilengkapi dengan syakal. Dengan anggapan seperti itu berarti sekarang ini ilmu nahwu sudah tidak berguna lagi dan tidak perlu dipelajari.
Anggapan yang bisa merendahkan martabat ilmu nahwu ini, hanya bisa muncul karena beredarnya kitab gundul. Ilmu nahwu itu sendiri juga tidak dapat menjamin benarnya bacaan atas tulisan gundul. Kalau orang mempergunakan ilmu nahwu itu untuk membaca kitab gundul, maka praktek demikian itu sama halnya dengan orang yang mempergunakan pisau untuk menancapkan sebuah paku pada tembok. Bisa saja paku itu menancap pada tembok karena ketukan pisau, tetapi pisau itu tetap saja bukan alat untuk itu. Ini terjadi penyalahgunaan dan akibatnya pisau itu bisa rusak.
Demikian juga bila ilmu nahwu itu digunakan untuk membaca tulisan gundul maka terjadi juga penyalahgunaan ilmu nahwu. Ilmu nahwu bisa rusak. Rusaknya ilmu nahwu terlihat pada orientasi penyiapan materi dan pembelajarannya. Ini bisa diketahui pada beberapa topik bahasan ilmu nahwu yang tidak perlu diajarkan.
Masalah yang muncul sebab beredarnya kitab gundul bukan pada tiadanya jaminan ilmu nahwu terhadap benarnya bacaan, karena memang bukan alat untuk membaca. Masalah itu ada pada keberadaan kitab gundul, yakni kitab yang tulisannya belum sempurna tetapi sudah dianggap sempurna. Adanya anggapan bahwa tulisan gundul itu sudah sempurna menyebabkan tiadanya perhatian yang kritis terhadap keberadaan tulisan gundul. Maka wajar bila ilmu nahwu dianggap sebagai alat untuk membaca. Oleh karena ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat membaca, terjadilah penyelahgunaan. Akibat dari penyalahgunaan tersebut antara lain adalah proses membaca yang tidak logis dan munculnya kesan bahasa Arab sebagai momok.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 97-104
____________________
Kepustakaan
Aqib, Kharisudin, Al-Fath (Bimbingan Cepat membaca Kitab Tulisan Gundul ) (Surabaya: H.I Press, 1992)
Dahlan, ,Ahmad Zaini, Syarh Mukhtashor Jiddan 'Ala Matn al-Ajrumiyah (Semarang: Matba'ah Toha Putra, t.t).
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1983).
Fahman, Mundzar, Upaya Meningkatkan Mutu Sarjana IAIN, dalam Jawa Pos (Surabaya: 14 Maret 1989).
Sulthon Muhadjir, Nahwu dalam Kemasan Baru (Surabaya: Penasuci, 1998)