Rabu, 28 Juli 2010

BAHASA ARAB_Evaluasi Kemampuan Berbahasa Arab*

1. Evaluasi Teoretis dan Praktis
Evaluasi kemampuan berbahasa Arab mengacu pada tujuan pembelajarannya. Kemampuan membaca tulisan gundul bukan me-rupakan tujuan pengajaran bahasa Arab. Secara teoretis idealis telah dikemukakan di muka bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah agar bahasa Arab dapat dikuasai sehingga dapat dipergunakan secara aktif, baik memehami maupun memberikan kepahaman dengan bahasa tersebut. Materi pembelajaran bahasa Arab adalah kosa kata dan gramatikanya, maka yang ingin diungkap dalam evaluasi kemampuan berbahasa Arab adalah kemampuan dalam memahami dan menggunakan kosa kata Arab dengan benar sesuai aturan tata bahasanya.

Minggu, 25 Juli 2010

BAHASA ARAB_Bahasa Sasaran: Dari Amiyah ke Fusha*

Kalangan terpelajar banyak yang tahu bahwa bahasa Arab ada dua macam, yaitu bahasa Arab Fusha dan 'Amiyah. Bahasa Arab Fusha dikenal dengan bahasa Arab baku atau standar dan banyak yang menyebutnya sebagai bahasa Arab klasik (classical Arabic), bahkan ada yang menyebutnya sebagai Bahasa Arab Standar Modern.(Sabah Ghazzawi: 1992, 2). Sedangkan bahasa Arab 'Amiyah dikenal dengan bahasa Arab yaumiah (harian) bahkan suqiyah (pasaran), dan ada juga yang menyebutnya dengan bahasa Arab kolukwial atau dialek lisan setempat (Azhar Arsyad: 2003, 3).
Kedua macam bahasa Arab tersebut tidak perlu dibedakan dengan menyebutnya sebagai bahasa tulisan untuk bahasa Arab Fusha dan menyebutnya sebagai bahasa lisan untuk bahasa Arab 'Amiyah, karena sebutan bahasa tulisan dan lisan itu sudah melenceng dari pengertian bahasa. Bahasa adalah bunyi sedangkan tulisan adalah lambang bunyi. Di samping itu penyebutan bahasa Arab tulisan dan lisan itu akan menyebabkan timbulnya pengertian yang melenceng yakni bahasa Arab Fusha itu dianggap hanya ada dalam tulisan atau buku-buku, sedangkan bahasa Arab yang diucapkan dengan lisan itu dianggap bahasa Arab 'Amiyah, padahal bahasa Arab Fusha juga diucapkan dengan lisan.
Kajian tentang macam bahasa Arab disini bukan sekedar untuk menunjukkan ciri-ciri kedua macam bahasa itu, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menunjukkan apa sebenarnya di balik perbedaan serta apa dampak dari pemakaian kedua macam bahasa itu ditinjau dari strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab. Ujung-ujungnya adalah menentukan pilihan macam bahasa Arab yang menjadi sasaran pendidikan, bahasa Arab Fusha atau 'Amiyah.
1. Bermuara pada Bahasa Arab Fusha
Bahasa Arab Fusha ini digambarkan sebagai bahasa yang dipakai oleh masyarakat pada masa Rasulullah SAW. meskipun tentu saja terdapat beberapa kosa kata baru buat obyek-obyek dan konsep-konsep yang kurang familiar pada masa itu. Bahasa Arab standar ini merupakan media pokok komunkasi dalam bentuk buku-buku, majalah, surat kabar, papan-papan pengumuman, dokumen pemerintahan, surat menyurat dan surat pribadi, juga dipakai oleh media televisi dan radio, termasuk dalam pidato-pidato serta konferensi-konferensi dan seminar-seminar ilmiah bahkan di bangku-bangku kuliah. Oleh karena itu bahasa Arab standar ini merupakan bahasa yang berlaku di semua negara yang berpenduduk mayoritas Arab dan Muslim (Azhar Arsyad: 2003, 4).
Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam ko-munikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah SAW. dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya. Mengenai hal ini Ghazzawi menyatakan:
since classical Arabic has change so little since Muham-mad's time, Arab today can read Arabic written in seventh or eighth century without too much difficult. This is quite different from the situation in English, as we can not read Old English texts without special study, as though for foreign language (Sabah Ghazzawi: 1992, 2).
Keberadaan bahasa Arab Fusha yang begitu konstan bertahan sampai kini dan akan datang tidak lepas dari peran Quran yang ter-jaga keasliannya sampai nanti. Terpeliharanya Quran demikian ini menunjukkan bahwa kaedah-kaedah bahasa Arab juga stabil. Meskipun demikian bukan berarti ilmu nahwu dan sharaf yang dikenal sekarang ini sudah lengkap, sempurna, dan sudah tidak dapat berkembang lagi. Hal ini dapat dipahami dengan adanya berbagai struktur dan bentuk kata dalam Quran yang belum teruraikan sampai saat ini.
Ilmu nahwu dan sharaf itu akan berkembang juga sesuai dengan perkembangan percakapan bangsa Arab meskipun tidak secepat perkembangan kosa katanya dengan cara serapan. Kosa kata Arab semula berasal dari berbagai dialek kabilah-kabilah Arab. Untuk kepentingan bersama seperti dalam perdagangan di kota Mekkah maka masing-masing suku itu berusaha saling memahami masing-masing dialek yang dipergunakan. Pada masa itu juga diadakan perlombaan sastra berupa syair-syair, dan yang baik ditempelkan di Ka'bah. Ini bisa dipahami sebagai awal mula "pemilihan bahasa" untuk dipakai bersama. Ternyata dialek yang diterima oleh suku-suku Arab, dengan berbagai sebab, adalah dialek dari suku Quraish. Penerimaan dialek Quraish untuk bangsa Arab itu merupakan lahirnya bahasa Fusha. Bahasa Arab yang dipergunakan dalam Quran berdialek Quraish meskipun ada juga beberapa struktur dan juga kosa kata yang tidak berasal dari dialek Quraish.
Kajian di atas menunjukkan bahwa bahasa Arab Fusha atau standar yang menggelobal itu sebetulnya juga berasal dari salah sa-tu suku Arab. Jadi bahasa Arab standar adalah bahasa Arab yang disepakati pemakaiannya bersama oleh suku-suku Arab. Karena itu bahasa Arab dengan dialek dari salah satu suku yang tidak dipakai dengan aturan yang disepakati bersama oleh suku-suku Arab tidak dapat dinyatakan sebagai bahasa Fusha. Aturan pemakaian bahasa atau tata bahasa yang disepakti itu diperoleh dengan cara induksi dari Quran dan juga syair-syair yang dihafal.
Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Quran dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraish. Jadi bahasa Arab Fusha ini kosa kata dan aturan pemakaiannya disepakati oleh suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha ini yang menjadi materi pembelajaran bahasa Arab, yang sekarang ini diupayakan strategi pengembangan pendidikannya. Suka atau tidak suka, bahasa Arab Fusha itu akan menjadi bahasa yang hidup dan terpelihara, karena merupakan kristalisasi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha itu disepakati dan difungsikan sebagai alat komunikasi untuk semua bangsa Arab. Pada akhirnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajari bahasa Arab Fusha.
2. Mewaspadai Bahasa Arab 'Amiyah
Dalam kajian ini yang dimaksud dengan Bahasa Arab 'Amiyah itu ada dua. Bahasa Arab 'Amiyah pertama yaitu bahasa Arab yang belum disepakati pemakaiannya oleh semua suku Arab, dan bahasa Arab 'Amiyah kedua yaitu bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan bahasa Arab standar.
Bahasa Arab 'Amiyah yang pertama bisa berkembang statusnya menjadi bahasa Arab Fusha karena kekuatan salah satu suku Arab yang memilikinya sehingga bisa diterima oleh semua suku. Misalnya kata haliib dalam dialek lokal Damaskus yang memiliki arti sama dengan kata laban dalam dialek Kairo, yang berarti susu (Azhar Arsyad: 2003, 4). Kedua kata yang berbeda itu akhirnya dipakai dalam bahasa Arab standar menjadi sinonim. Kedua kata itu sering dipakai dan memiliki bentuknya dalam tulisan serta mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab Fusha. Kata haliib atau laban ini merupakan contoh bahasa Arab 'Amiyah yang disebut kolukwial (Azhar Arsyad: 2003, 3). Pada gilirannya bahasa Arab kolukwial ini bisa menjadi bahasa Arab Standar karena bisa mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab standar.
Adapun bahasa Arab 'Amiyah kedua, yakni bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan atau kaedah-kaedah bahasa Arab standar, maka bahasa Arab ini sering dipakai secara lisan dan jarang bahkan tidak pernah memiliki bentuknya dalam tulisan. Baha-sa Arab 'Amiyah ini biasanya diucapkan secara terpotong-potong. Setiap kosa-kata tidak disusun beraturan meskipun dapat dipahami sebagai suatu kalimat sempurna. Keadaan demikian menyebabkan bahasa tersebut pantas untuk disebut sebagai bahasa 'Amiyah, dengan konotasi bahasa santai untuk orang-orang awam. Bahasa Arab ini dipergunakan sering kali dalam percakapan singkat-singkat dan tidak memerlukan pemikiran mendalam.
Bahasa Arab 'Amiyah demikian ini pada umumnya berakhiran dengan bunyi mati. Kalau terpaksa dilambangkan dengan tulisan maka untuk setiap akhir kata senantiasa disukun, bahkan dikurangi suku katanya, dan juga pada pertengahan bunyi suku katanya berbeda dari bahasa Arab Fusha. Jadi bahasa Arab ini pada mulanya berasal dari bahasa Arab Fusha tetapi dipakai dengan seenaknya secara bebas tanpa terikat aturan dengan asumsi bahwa yang penting sudah dapat dipahami. Misalnya ucapan "Maaliis'", bila diucapkan dengan baik maka bunyinya "Maa 'alaihi syai'", artinya "Tidak ada masalah". Begitu juga ucapan "Khombesy" yang bunyi aslinya adalah "Khomsya 'Asyar", artinya “lima belas”. Tampak bahwa bahasa Arab ‘Amiyah ini adalah bahasa Fusha yang dirusak.
Terhadap pemakaian bahasa Arab 'Amiyah ini perlu waspada. Kewaspadaan itu berkaitan dengan apa yang ada di balik kebanggaan pemakaiannya. Demikian ini mengingat apa yang pernah terjadi bahwa ada ajakan untuk mempergunakan bahasa Arab 'Amiyah untuk menggantikan bahasa standar di Mesir pada bulan Januari 1893 Masehi. Ajakan itu dimulai ketika seorang insinyur Inggris bernama William Wilcox memberi kuliah di rumah peristirahatan Azbakiah dengan judul "Kenapa sekarang di kalangan orang-orang Mesir tidak terdapat kekuatan daya cipta (creativity)?, yang isinya menunjukkan bahwa orang Inggris kreatif karena menggunakan bahasa pasaran sehingga muncul Shakespeare dan juga Bacon (Hasan Langgulung: 1987, 94).
Tujuan ajakan itu untuk menghancurkan peradaban Islam, dengan cara meragukan kemampuan bahasa standar untuk memenuhi kebutuhan tuntutan dunia modern, sehingga tidak akan lagi ada yang menggunakan bahasa Arab.(Hasan Langgulung: 1987, 94) Bahkan Anis Farihah, sarjana Arab yang ahli bahasa Arab, menyatakan bahwa bahasa Fusha bukan bahasa percakapan, jadi tidak dapat diharapkan menggambarkan kehidupan dengan pahit-manisnya serta kasar-halusnya, seperti yang dapat dibuat oleh bahasa pasar.(MM Mursi: 1977, 226).
Bila ajakan menggunakan bahasa pasaran itu murni untuk mengembangkan kreativitas, maka sebetulnya tidak harus dengan cara menggunakan bahasa pasaran. Hal ini disebabkan bahasa Arab pasaran itu berbeda dari bahasa Inggris pasaran atau yang lain. Bahasa Arab 'Amiyah adalah bahasa yang tidak disepakati oleh suku-suku Arab untuk dipakai bersama. Perlu diinsafi bahwa bahasa Arab pasaran itu adalah bahasa yang tidak sempurna atau yang rusak dari bahasa Arab Fusha. Ini berbeda dari bahasa Inggris yang memiliki bahasa pasarannya sendiri dan bukan berasal dari bahasa Inggris standar yang dirusak atau yang dilisankan dengan tidak sempurna.
Bahasa Inggris pasaran dan juga bahasa pasaran lainnya bukan-lah bahasa yang rusak, tetapi karena istilah baru yang memang dipergunskan untuk lisan saja. Bahasa Inggris pasaran itu bukan karena melencengnya bunyi fonem seperti yang terjadi dalam bahasa Arab pasaran. Gambaran bahasa Arab pasaran yang berasal dari bahasa Arab Fusha sebagaimana dalam tabel berikut.

TABEL BAHASA ARAB 'AMIYAH
Bunyi Bhs Amiyah Asal Dialek Amiyah Asal Bahasa Arab Fusha Artinya
Istabghoh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Tabghi Apa maumu?
Ayis ih/Aisyn uh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Turidu Apa maumu?
Aiwah/ Iih Mekkah, Kairo Naam , ajal Ya
Lissa maghoos Kairo Laisa Ma Jaa Belum datang
Tirja' Mekkah, Kairo Tarji' Pulang
Akhoya Mekkah Ya akhi Hai sdr-ku
Imta Mekkah, Kairo Mataa Kapan
Maa liis Mekkah, Kairo Ma alaihi syaiun Tak masalah
Bitu 'uulee Kairo Biayyati al-lughah Bicara apa?
Istannaa hina Mekkah Intadhir huna Tunggu disini
Minu Bagdad Man Siapa?
Miin Damaskus, Kairo Man Siapa?

Kalau ada yang menganggap bahwa bahasa Arab Fusha tidak mampu mengungkapkan perasaan hati nurani yang halus dan tidak dapat memenuhi tuntutan dunia modern, maka pendapat itu tidak benar, karena jauh sebelumnya bahasa Arab sudah dipakai untuk berbagai kepentingan, seperti pengungkapan perasaan hati dalam berbagai syair, dan juga adanya konsep ta'rib, yakni memasukkan bahasa asing menjadi bahasa Arab ketika belum ditemukan kata itu dalam bahasa Arab. Jadi ajakan untuk menggunakan bahasa Amiyah dengan alasan ketidakmampuan bahasa Arab Fusha untuk kepentingan pengungkapan segala macam makna tersebut tidak patut untuk diperhatikan.
Keberadaan bahasa Arab 'Amiyah itu banyak disebabkan oleh kemalasan mengucapkan dengan sempurna. Dalam berbagai kasus dapat diketahui bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu hanya dipakai dalam pergaulan sehari-hari dengan ringan dan tidak dipikirkan bagaimana mengabadikan ucapan itu dalam sebuah tulisan. Bahasa Arab 'Amiyah itu diucapkan untuk tidak perlu diperhatikan atau dipikirkan secara serius, diucapkan dan dilupakan. Oleh karena itu kosa katanya seenaknya, dengan prinsip bahwa pada saat diucapkan pendengarnya bisa mengerti.
Ditinjau dari segi pelestarian peradaban, maka tidak heran bila ajakan untuk menggunakan bahasa Arab pasaran itu tujuannya untuk meninggalkan atau melupakan peradaban Islam. Cara yang dipergunakan adalah dengan pelah-pelan dan sedikit demi sedikit tidak memakai bahasa Arab Fusha atau menjadikan agar bahasa Arab Fusha itu rusak, sehingga tidak lagi bisa mengenal ajaran Islam yang diterangkan dengan bahasa Arab Fusha.
3. Mendayagunakan Bahasa Arab 'Amiyah
Bahasa Arab 'Amiyah yang berasal dari bahasa Arab Fusha sering diucapkan dengan lancar dan cepat. Sering kali pemakai baha-sa Arab 'Amiyah ini merasa bangga. Kebanggaan itu biasanya muncul karena adanya perasaan lebih "keren" atau ada anggapan bahwa bahasanya lebih "up to date" bila dibandingkan dengan pemakaian bahasa Arab Fusha yang disebut klasik. Kebanggaan itu juga bisa muncul karena merasa bahwa pemakai bahasa 'Amiyah itu setidak-tidaknya sudah mahir berbicara dengan bangsa Arab pada umumnya di Timur Tengah. Mereka itu berbahasa 'Amiyah sebagai pengantar ringkas dalam menerangkan hal-hal sederhana.
Kebanggaan menggunakan bahasa Arab 'Amiyah bisa mengarah pada melencengnya tujuan pembelajaran bahasa Arab. Perlu dihimbau agar pemakaian bahasa Arab 'Amiyah itu sekedar sebagai bahasa pembantu ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Apabila sudah dapat berbahasa Arab Fusha maka menjadi naif untuk kem-bali pada bahasa 'Amiyah. Memang bahasa 'Amiyah umumnya dipakai oleh orang-orang Arab dewasa ini, namun pada dasanya mereka itu memahami bahasa Arab Fusha, hanya saja tidak mahir menggunakannya dengan baik. Hal ini terbukti bahwa mereka itu ternyata paham ketika mendengar Quran yang fusha itu dibaca.
Memasukkan materi pembelajaran bahasa 'Amiyah ke dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Arab hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Praktek pembelajaran bahasa 'Amiyah justru akan merusak kemampuannya dalam berbahasa Arab Fusha. Lagi pula kosa kata bahasa Arab 'Amiyah itu tidak banyak dan mudah dipelajari sendiri tanpa harus terstruktur dalam kurikulum.
Alasan yang kuat untuk tidak mengajarkan bahasa 'Amiyah adalah bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu tidak dipahami oleh seluruh orang Arab, sedangkan bahasa Arab Fusha dapat dipahami. Mereka mengagumi dan menghargai siapa saja yang bisa berbicara dengan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar bahasa Arab Fusha sudah mencu-kupi untuk keperluan berkomunikasi dengan semua suku Arab. Memang ada pengecualian, misalnya untuk bertempat tinggal agak lama di Timur Tengah pada satu suku tertentu, maka perlu mem-pelajari bahasa Arab 'Amiyah kolukwial.
Tulisan ini bukan untuk menolak keberadaan bahasa 'Amiyah, tetapi untuk memberikan pandangan positif bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu perlu dimanfaatkan sebatas keperluan sementara ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Perlu diketahui pula bahwa sebetulnya merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi orang Arab, sekalipun yang terpelajar, untuk berbahasa Arab Fusha. Jadi tidaklah patut untuk menyatakan bahwa bahasa Arab Fusha itu sangat sulit bagi orang-orang non-Arab saja.
Kajian tersebut diatas menjadi peringatan bagi guru atau dosen yang membangga-banggakan kemahirannya berbahasa Arab 'Amiyah, karena secara tidak langsung ikut andil dalam perusakan peradaban Islam. Dalam konteks strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab, maka menghindari pemakaian bahasa 'Amiyah adalah sebuah keniscayaan.
4. Hubungan Bahasa Arab Fusha dengan Ilmu Nahwu
Disebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang i'rab perkataan Arab.( Ma’luf: Beirut, 1973, 796). Ada yang menyebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang susunan kalimat dan ciri khasnya. Ilmu ini bukan saja mempelajari i'rab dan problematikanya tetapi juga menyinggung masalah-masalah lain yang penting, seperti kedudukan kata dalam kalimat, hubungan intern antar unit-unit morfem yang membentuk kalimat atau ungkapan-ungkapan dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan tata kalimat (Chotibul Umam: 1980, 18-19). Dengan ilmu nahwu dapat diketahui keadaan bentuk kata ketika sendirian dan ketika disusun.( Amin Ali As-Sayyid: 1986, Vol. I, 13-4) Dengan kaedah-kaedah yang ada dalam ilmu nahwu dapat diketahui susunan-susunan bahasa Arab dari segi i'rab dan bina' dan sebagainya (Ali bin Muhammad Al-Jurjani: tt., 240).
Pembahasan dalam ilmu nahwu didominasi oleh permasalahan i'rab sehingga ada yang menyebut ilmu nahwu adalah ilmu yang membicarakan kaedah-kaedah keadaan kata-kata Arab dari segi i'rab dan bina’ sehingga dapat diketahui keadaan akhir kata (Musthafa al-Gholayaini: 1973, Vol, I, 6) Dari definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ilmu nahwu itu dapat dinyatakan sebagai ilmu untuk menentukan harakat dan keadaan akhir sebuah kata untuk disusun dalam sebuah kalimat. Jadi ilmu nahwu itu fungsinya adalah untuk mengatur kata-kata yang dipakai dalam komunikasi sesuai dengan aturan bahasa Arab.
Dengan ilmu nahwu seseorang dapat menyusun kalimat bahasa Arab dan menentukan bunyi akhir kata dengan benar. Dengan ilmu nahwu pula seseorang dapat memahami dengan benar kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun dengan tulisan. Dengan ilmu nahwu, maka komunikasi berbahasa Arab dapat dipahami dengan benar. Jadi kegunaan ilmu nahwu bagi penulis adalah untuk memberikan pemahaman yang benar melalui tulisannya dengan jelas, dan bagi pembaca adalah untuk memahami tulisan yang sudah jelas. Ketegasan tulisan dalam melambangkan bunyi mutlak diperlukan dan diharuskan agar didapatkan pengertian yang tepat berdasarkan ilmu nahwu.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahamai bahwa ilmu nahwu itu gramatika bahasa Arab. Ilmu ini mempunyai fungsi sebagaimana fungsi gramatika bahasa-bahasa selain bahasa Arab. Ilmu nahwu ini bukan alat untuk membaca kitab gundul, bukan untuk menentukan harakat akhir kata yang tidak diharakati. Memberi harakat adalah tugas dan tanggung jawab penulisnya. Pembaca bertugas memahami apa yang tertulis. Bila ternyata terjadi kekeliruan dalam pemberian harakat oleh penulisnya maka itu adalah kasus kesalahan penulisan yang harus dibetulkan. Kekeliruan penulisan harakat bukan berarti lebih baik tidak diharakati, namun seharusnya penulis lebih teliti atau harus belajar lagi ilmu nahwu agar bisa menyempurnakan tulisannya dengan betul.
Dalam kaitannya dengan bahasa Arab Fusha, maka peran ilmu nahwu begitu berarti. Bahasa Arab Fusha senantiasa teratur dan se-suai dengan kaedah-kaedah bahasa. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, il-mu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa 'Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan. Ditinjau dari strategi pendidikan bahasa Arab, maka makin sempurna bahasa Arab yang diajarkan makin maksimal peran ilmu nahwu, dan makin tidak teratur bahasa yang diajarkan, semisal bahasa 'Arab 'Amiyah, makin tidak berperan pula ilmu nahwu.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006),111-121
__________________
Kepustakaan
Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ghazzawi, Sabah, The Arabic Language (Washington D.C: Centre for Contemporary Arab Studies, 1992).
al-Gholayaini Musthafa, Jami' ad-Durus al-'Arabiyah (Beirut: Al-Maktabah al-'Ashriyah, 1973, Vol. I).
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, At-Ta'rifat (Jeddah: Al-Haramain, tt.),
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987).
Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A'lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)
MM Mursi, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Khairah: 'Alam al-Kutub, 1977).
As-Sayyid, Amin Ali, Fi Ilm al-Nahwi (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1986, Vol. I).
Umam, Chotibul. Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980)

Senin, 19 Juli 2010

BAHASA ARAB_Rekonstruksi Konsep I'rab*

1. Kerancuan dalam Konsep I'rab
Bahasa Arab memang memiliki keistimewaan, tetapi keistimewaan itu bukan berarti suatu hal yang menimbulkan kesulitan. Dalam hal i'rab yang sering dianggap sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair an’Natiqin biha (Muhadjir Shulthan: 1998) maka sebetulnya itu adalah penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang i'rab harus diluruskan. I'rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyir (pengubahan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t, 7) atau taghoyyur (perubahan) (Abbas Hasan: 1966,Vol.I, 69), atau atsar (gejala alamat i'rab) (Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid: t.t., Vol. I, 39), atau juga didefinisikan sebagai bayan (keterangan tentang jabatan kata dalam kalimat)(Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Empat macam pengertian tentang i'rab tersebut merupakan hasil pengelompokan dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para penulis buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-masing kelompok definisi tersebut diwakili oleh satu definisi, yang selengkapnya dikemukakan berikut ini agar dapat diketahui dengan jelas adanya kerancuan dalam pemahaman tentang i'rab selama ini.
Abbas Hasan menyebutkan bahwa:
اَلإعْرَابُ هُوَ تغيّرُ العلامَةِ التى فِى آخِرِ اللفْظِ بِسَبَبِ تغيّرِ العَوَامِلِ الداخِلةِ عَلَيْهِ وَ مَا يَقتَضيْه كلُّ عامِلٍ
(I'rab adalah berubahnya tanda di akhir kata yang disebabkan oleh berubahnya faktor-faktor yang masuk pada kata tersebut dan karena tuntutan setiap faktor yang mempengaruhinya) ( Abbas Hasan: 1966, Vol I, 69).
Abdullah bin Ahmad al-Fakihi menyebutkan bahwa:
الإعْرابُ تَغييرُ أوَاخِرِ الكَلِمِ لاخْتِلافِ العَوامِلِ الداخِلَةِ عَلَيْها لفْظًا أوْ تَقديرًا
(I'rab adalah pengubahan akhir masing-masing kata karena perbe-daan faktor-faktor yang memasukinya baik diucapkan maupun diperkirakan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: tt, 7).
Definisi i'rab yang lainnya berbeda, dikemukakan oleh Ibn Hisyam al-Anshori, demikian:
الإعْرابُ أثَرٌ ظاهِرٌ أوْ مُقَدَّرٌ يَجْلِبُهُ العامِلُ فى آخِرِ الآسْمِ المُتَمَكِّنِ وَ الفِعْلِ المُضارِعِ
(I'rab adalah gejala yang tampak nyata atau yang diperkirakan di akhir isim yang “memungkinkan” dan fi'il mudlori' karena faktor yang mempengaruhi) (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12).
Definisi yang "terakhir" lebih panjang, demikian:
االإعْرابُ بَيَانُ مَا لِلْكلِمَةِ أوْ الجُمْلَةِ مِنْ وَظِيفَةٍ لُغَوِيَةٍ أوْمِنْ قِيمَةٍ نَحْوِيَةٍ كَكَوْنِهَا مُسْنَدًا إلَيْهِ أوْ مُضَافًا إليهِ أوْ فاعِلا أوْ مَفْعُوْلاً أوْ حَالاً أو غَيْرَ ذلِك مِنْ الوَظائِفِ التى تُؤدِّ يها الكلماتُ فِى ثنايا الجُمَلِ و تؤَدِ يها الجُمِلٌ فى ثنايا الكَلامِ.
(I'rab adalah keterangan tentang kata atau frasa (jumlah) dari segi fungsi atau nilai-nilai sintaksis, seperti keberadaan kata itu sebagai musnad ilaih (subyek), atau mudlof ilaih, atau fa'il, atau maf'ul atau hal atau lainnya dari segi fungsi-fungsi kata dalam suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu kalimat) (Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Perbedaan definisi bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada substansinya. Secara singkat perbedaan itu menunjukkan belum ditemukannya hakekat i'rab. Untuk itu perlu verifikasi definisi agar dapat diperoleh hakekat i'rab.
2. Verifikasi Definisi I'rab
Definisi kelompok pertama dan kedua yang menyebutkan bahwa i'rab adalah "pengubahan" atau "perubahan" akhir masing-masing kata karena perbedaan faktor yang memasukinya, menganggap bahwa i'rab itu adalah suatu proses perubahan yang abstrak, tidak kelihatan konkret. Berubahnya akhir kata itu tidak kelihatan, tiba-tiba saja tanda i'rab itu berubah menjadi tanda i'rab yang lain.
Definisi ini menganggap bahwa i'rab itu berada di antara ketentuan tanda i'rab yang satu dengan yang lainnya. Padahal masing-masing i'rab, yakni i'rab rofa', nashab, jir dan jazm itu adalah ketentuan setelah selesainya 'perubahan' itu, misalnya berubah menjadi i'rab nashab, berubah menjadi i'rab jir atau menjadi i'rab jazm atau menjadi i'rab rofa'. Jadi i'rab itu bukan berada pada saat perubahan itu tetapi pada saat ketentuan setelah selesai perubahan itu.
Pada saat perubahan itu tidak ada namanya, hanya sekedar proses perubahan saja. Kalau di visualkan maka tampak seperti pada tabel berikut ini:
Perubahan I’rab Kata Isim dan Fi’il
Kata I’rab PP I’rab PP I’rab PP I’rab
Isim Rafa'  Nashab  Jir  Rafa' dst
Fi'il Rafa'  Jazm  Nashab  Jazm dst

Tanda panah () adalah keadaan kata sewaktu dalam proses perubahan (PP) untuk berubah menjadi rafa' atau nashab atau jazm atau jir dan seterusnya. Pada saat proses perubahan itu tidak ada i’rab. I’rab itu ketentuan sebelum dan setelah proses perubahan.
Jadi kelihatan jelas bahwa proses perubahan itu bukan i'rab atau i'rab itu bukan pengubahan dan juga bukan perubahan. Dengan bahasa Arab bisa dinyatakan bahwa:
الإعْرَابُ لَيْسَِ بِتغيير و لا بتغيّر
I'rab itu ada setelah selesai perubahan. Dengan demikian tidaklah tepat menyatakan bahwa i'rab itu pengubahan atau perubahan.
Selanjutnya definisi kelompok ketiga menyatakan bahwa i'rab adalah atsar (gejala) yang dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa yang berubah-ubah itu memang harakat yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya i'rab (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12). Padahal sudah disepakati oleh semua ulama nahwu bahwa harakat di akhir kata “رجلٌ” dan “ رجلا” atau “رجلٍ “ adalah tanda i'rab, yang kadang-kadang berupa huruf bahkan membuang huruf atau dikenal dengan hadzaf, seperti dalam kata-kata berikut ini:
المسلمون, لا تتخيلوا ....

Perlu dicermati dengan seksama bahwa alamat atau tanda sesuatu itu bukan sesuatu itu sendiri. Tanda i'rab kata itu tidak sama dengan i'rab kata. I'rab adalah i'rab dan tanda i'rab adala tanda i'rab dan bukan i'rab. Dengan demikian, definisi yang menyatakan bahwa i'rab itu adalah harakat atau dinyatakan dengan (atsar) sebetulnya bukan definisi i'rab, karena memang I'rab itu bukan tanda i'rab. Dengan bahasa Arab dapat dinyatakan bahwa:
الإعراب ليس بأثر و لا بعلامة الإعراب
Jadi i'rab itu bukan atsar.
Definisi keempat menerangkan bahwa i'rab adalah bayan (keterangan). Definisi ini menekankan fungsi i'rab yang dimanfaatkan sebagai petunjuk tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Misalnya diketahui bahwa i'rab suatu kata itu rafa' maka yang dipahami dari i'rab kata tersebut adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata yang beri'rab rafa', yang mungkin sedang berfungsi sebagai fa'il atau mubtada' atau na'ib al-fa'il dan sebagainya.
Dengan demikian maka penyebutan i'rab rafa' untuk kata tersebut tidak lain adalah untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat dengan sempurna sesuai dengan fungsi masing-masing kata yang telah diketahui i'rabnya.
Definisi keempat sampai sebatas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah kegunaan i'rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jabatannya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam i'rabnya. Macam i'rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata itu dalam sebuah kalimat.
Dalam pandangan selintas tampaknya dapat dipahami bahwa i'rab itu merupakan suatu keterangan tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Akan tetapi definisi demikian tidak menerangkan tentang hakekat i'rab. Definisi tersebut menunjukkan guna atau faedah i'rab dalam suatu kalimat bukan hakekat i'rab. I'rab bisa digunakan untuk menerangkan fungsi kata dalam kalimat, dan fungsi atau guna ideal i'rab itu bukan hakekat i'rabnya. Jadi definisi keempat tersebut tidak menunjukkan hakekat i'rab, tetapi fungsinya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu kiranya diinsafi bahwa sampai sejauh ini sebetulnya hakekat i'rab belum dimunculkan. Oleh karena itu tidak heran bila banyak keterangan simpang siur mengenai i'rab. Ini salah satu alasan perlu adanya kajian ulang tentang i'rab agar pembelajaran ilmu nahwu menjadi mudah tanpa harus menghindari keberadaan i'rab sepeti dalam percakapan dengan bahasa Arab Amiyah.
3. Realitas I'rab dan Fungsi Tanda I'rab
Upaya mempermudah pembelajaran ilmu nahwu dengan cara menghindari masalah i'rab, yaitu dengan cara selalu mewaqafkan dalam tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan erat dengan anggapan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Akan tetapi cara demikian ini pada gilirannya akan tetap menemui kesulitan karena kata-kata Arab meskipun diwaqafkan tetap saja memiliki tanda i'rab dan tidak bisa dihilangkan, misalnya dalam kalimat: Ja'a al-Muslimuna (جاء المسلمون), tetap saja ada tanda i'rabnya meskipun dibaca waqaf,.karena pada dasarnya mewaqafkan itu bukan menghilangkan tanda i'rab.
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata i'rab itu hanyalah sebuah istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab sehingga berada dalam klasifikasi rafa', nashab, jir dan jazm berdasarkan pada keadaan akhir kata yang menjadi tanda i'rab (Saidun Fiddaroini: 2004, 105). Dengan penjelasan demikian maka setiap kata yang memi-liki tanda i'rab berarti ia mu'rab dan apabila kata itu tidak memiliki tanda i'rab, sehingga tidak ada bedanya meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rofa', atau nashab, atau jir atau jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena adanya usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.
Selanjutnya defini i'rab demikian menjadikan istilah alamat i'rab muqaddar atau i'rab taqdiri tidak berlaku. Tanda i'rab itu tidak muqaddar. Bila tanda i'rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri. Sebuah tanda itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis dan bisa diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.
Sangat jauh dari pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda i'rab itu muqaddar atau diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak ada tanda. Cukup saja dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i'rab yang membedakan ketika dalam klasifikasi rofa' atau nashab atau jir atau jazm. Oleh karena itu kata-kata demikian ini, yang tidak memiliki tanda i'rab, apabila dii'rabi atau diklasifikasikan maka cara mengi'rabinya terbalik. Artinya, kegiatan menentukan i'rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan pada fungsinya dalam kalimat atau posisinya dalam struktur kalimat.
Proses mengi'rabi demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud kalimat atau fungsi kata itu dalam kalimat supaya tahu i'rabnya. Proses demikian ini proses mubaddzir yang sia-sia, karena tidak ada gunanya kata itu dii'rabi bila sudah dikatahui maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau diklasifikasi ternyata kata tersebut tetap saja tidak ada tanda yang perlu dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata yang memiliki tanda i'rab dimana cara mengi'rabinya berdasarkan pada tanda i'rab yang ada pada kata itu, baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam kalimat. Setelah diketahui fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh. Dengan demikian kelihatan jelas fungsi tanda i'rab itu, yaitu untuk menunjukkan i'rab atau klasifikasi kata.
Setelah tahu i'rab suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi kata dalam kalimat dan dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini sekaliguis memberikan informasi tentang fungsi tanda i'rab. Adapun sebutan mabni maka istilah tersebut muncul karena adanya kata yang tidak memiliki tanda i'rab tetapi tetap saja dipaksakan untuk dii’rabi atau diklasifikasikan menjadi rofa', nashab, jir, atau jazm. Padahal kata-kata demikian tidak memerlukan i'rab karena tidak punya tanda i'rab yang bisa membedakan. Dari sini dapat dipahami bahwa i'rab taqdiri dan mahalli adalah i'rab main-main, karena tidak ada manfaatnya sama sekali kecuali justru mempersulit dan menjadikan langkah mundur ketika sedang belajar bahasa Arab.
Bila sudah paham maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari i'rab kata itu. Boleh jadi ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa i'rab itu sebetulnya tidak ada. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i'rab itu ada dan perlu. Hanya saja keberadaan dan keperluannya itu tidak harus mempersulit atau menjadikan proses pemahaman bahasa Arab itu terhambat atau mundur. Inilah gunanya konsep baru tentang i'rab yang dikemukakan dalam tulisan ini.
Dengan hadirnya konsep baru tentang i'rab ini diharapkan konsep lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi kecuali dalam tataran wacana dan untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran ilmu nahwu sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai gramatika, bukan sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i'rab suatu kata yang tidak memiliki tanda i'rab. Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang telah menunjukkan i'rabnya melalui tanda i'rabnya yang tidak muqaddar, baru kemudian setelah diketahui i'rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat diketahui fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat.
Dengan orientasi demikian maka pembahasan jelimet tentang i'rab kata dalam sebuah kalimat tidak akan terjadi, karena penentuan i'rab kata dan kegunaan ilmu nahwu itu sendiri sudah berada jauh di belakang kepala bila suatu kalimat itu sudah dapat dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya diperlukan bagi orang yang berbahasa Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi orang yang berbahasa Arab secara otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya sebagai bahasa ibu. Itulah guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi pembelajaran bahasa Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 104-111
____________________
Kepustakaan
Fakihi, Abdullah bin Ahmad al-, Syarh al-Fawakih al-Janiyah 'ala Mutammimah al- Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma'arif, t.t. )
Hamid, Muhammad Muhyiddin Abd al-, Audloh al-Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik (Beirut: Shida, Al-Maktabah al-'Ashriyah, t.t., Vol. I)
Hasan, Abbas, An Nahwu al-Wafi (Kairo: Dar al-Maarif, 1966,Vol.I)
Hisyam, Ahmad bin Abdullah bin, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al- Maktabah as-Saqofiyah, t.t.).
Mahzumi Mahdi al-, Fi an-Nahwi al-'Arabiy Naqd wa Taujih (Beirut: Shida, Al- Maktabah al-'Ashriyah, 1964), 67
Muhadjir Shulthan, Thariqah Ta'lim al-'Arabiyah Li an-Nathiqina bi al-Indonesiyah (Surabaya: Makalah disajikan di Fakultyas Adab Surabaya, 1998)
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I'rab (Surabaya: Lajnah al-Ta'lif Wa al-Nasyr li Nahdlati al-'Ulama'I Jawa Timur, 2004), 105.

BAHASA ARAB_Penyalahgunaan Ilmu Nahwu*

Ada anggapan lama bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca tulisan gundul. Anggapan ini konkretnya dinyatakan oleh banyak pengamat ilmu ini dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut:”… Karena itu, agar bisa membaca dengan benar, pembaca harus menguasai tata bahasa (grammar) bahasa Arab secara matang”. ( Mundzar Fahman: 1989). Jauh sebelumnya ada yang menyatakan sebagai berikut:” Itulah sebabnya, untuk dapat membacanya (kitab-kitab gundul) seorang murid harus dapat mengenali kata demi kata dan tata bahasa Arab. (Zamakhsyari Dhofir: 1983, 29).
Anggapan bahwa ilmu nahwu sebagai alat untuk membaca kitab gundul ternyata sudah diterima dan disetujui oleh penulis buku ilmu nahwu dengan judul Al-Fath (Bimbingan Cepat Membaca Kitab Tulisan Gundul) yang isinya adalah pelajaran nahwu.(Lih: Kharisudin Aqib: 1992). Bahkan secara jelas terealisasikan bahwa ilmu nahwu itu difungsikan untuk dapat membaca kitab gundul dengan pernyataan dalam sebuah buku pelajaran nahwu dalam pengantarnya disebutkan bahwa pada saat kaedah pertama diajarkan para pelajar langsung dapat membaca tulisan gundul sederhana, yang dilanjutkan dengan pernyataan bahwa buku tersebut akan segera disusul buku lainnya untuk self study bagi mereka yang telah mengenal bahasa Arab secara acak untuk dirapikan baca gundulnya (Muhadjir Sulthon: 1998, ii).
Upaya memunculkan istilah musnad dan musnad ilaih dalam sebuah kalimat kemudian yang lain disebut sebagai takmilah harus dii'rabi nashab adalah dimaksudkan untuk mempermudah pembelajaran ilmu nahwu (Muhadjir Sulthon: 1998, iv-v).Upaya demikian ini juga tidak lepas dari adanya anggapan bahwa ilmu nahwu itu alat untuk membaca kitab gundul.
Problem yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan ilmu nahwu tersebut dapat diperhatikan pada uraian tentang proses membaca kalimat–kalimat yang tidak diharakati sebagai berikut.
Ada sebuah tulisan sederhana tidak bersyakal demikian:
(1) تلك المدرسة جميلة .
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian:
(1.a): Tilka al-Madrosah Jamilah. Artinya: Gedung sekolah itu baik.
(1.b): Tilka al-Mudarrisah Jamilah. Artinya: Guru (perempuan) itu cantik.
Ada dua maksud berbeda yang muncul dari satu tulisan gundul. Dua maksud itu sama benarnya berdasarkan ilmu nahwu.
Contoh konkret tulisan nomor (1) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk dua maksud sebagaimana digambarkan de-ngan bacaan-bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Dua kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka. Sedangkan tulisan gundul itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja.
Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor satu (1), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya? Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud yang bermacam-macam berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya untuk tulisan gundul nomor (1) tersebut.
Penentuan satu macam bacaan yang tepat untuk tulisan gundul nomor (1) bisa saja diperoleh dengan cara memahami dulu maksud tulisan itu, atau dengan cara memahami siyaq al-kalam, meskipun kalimat itu sudah sempurna. Kalau memang dengan cara demikian itu, yakni memahami dulu maksudnya, maka yang demikian itu berarti paham dulu maksud tulisan supaya dapat menentukan bacaannya dengan betul.
Proses membaca demikian itu, yakni paham dulu supaya dapat membaca dengan benar tulisan yang hendak dibaca adalah proses yang terbalik dan tidak logis, karena pada dasarnya tujuan membaca itu adalah untuk paham maksudnya, bukan paham dulu maksudnya agar dapat membaca tulisan itu dengan benar. Lagi pula kalau sudah paham maksud tulisan tersebut lalu untuk apa membacanya? Akan naif sekali bila mau membaca sebuah tulisan dianjurkan supaya bertanya dulu pada penulisnya, apa maksud tulisannya itu?, baru kemudian ia bisa membacanya dengan benar. Proses membaca tidak logis ini tentu saja menimbulkan suatu problem. Ini terjadi pada waktu membaca tulisan gundul dengan mempergunakan ilmu nahwu.
Ada juga tulisan lainnya demikian:
(2) قتل الناس عثمان
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian :
(2.a): Qotala al-Nasu ‘Utsmana. Artinya: Orang-orang itu membunuh Utsman.
(2.b): Qotala al-Nasa ‘Utsmanu. Artinya: Utsman membunuh orang-orang itu.
Ada dua maksud berlawanan yang muncul dari satu macam tulisan gundul tersebut, dan keduanya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (2) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digam-barkan dengan bacaan-bacaan nomor (2.a) atau (2.b). Dua kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (2) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (2), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (2.a) dan (2.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang semestinya untuk tulisan gundul nomor (2) tersebut. Demikian seterusnya sebagaimana problem yang terjadi pada tulisan nomor (1).
Misalnya lagi tulisan demikian:
(3) ما أحسن السماء
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan tiga macam bacaan yang betul, demikian:
(3.a): Ma Ahsana al-Sama'a. Artinya: Alangkah indahnya langit itu.
(3.b): Ma Ahsana al-Sama'u. Artinya: Langit itu memperindah apa?
(3.c): Ma Uhsinu al-Sama'a. Aku tidak memperindah langit itu.
Ada tiga maksud berbeda yang bisa muncul dari satu macam tu-lisan gundul tersebut, dan ketiganya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (3) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digambarkan dengan bacaan-bacaan nomor (3.a) atau (3.b) atau (3.c). Tiga kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (3) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Sementara pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada tiga kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (3), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (3.a) dan (3.b), dan (3.c). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan tiga perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Lagi-lagi ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya dikehendaki oleh penulisnya. Demikian seterusnya terjadilah problem sebagaimana pada kasus tulisan gundul nomor (1).
Contoh yang lain lagi, adalah tulisan demikian:
(4) غلقت الأبواب
Tulisan tersebut dapat dibaca dengan empat macam bacaan yang betul, demikian:
(4.a): Ghollaqtu al-Abwaba. Artinya: Aku menutup pintu-pintu itu.
(4.b): Ghollaqta al-Abwaba. Artinya: Kamu menutup pintu-pintu itu.
(4.c): Ghollaqti al-Abwaba. Artinya: Kamu (perempuan) menutup pintu-pintu itu.
(4.d): Ghulliqat al-Abwabu. Artinya: Pintu-pintu itu ditutup.
Ada empat macam bacaan berbeda (4.a), (4.b), (4.c), dan (4.d) yang bisa muncul dari satu macam tulisan gundul nomor (4) tersebut dan betul semua menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (4) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana diperkirakan dengan bacaan-bacaan nomor (4.a) atau (4.b) atau (4.c) atau (4.d). Empat kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan pembaca belaka karena belum tahu satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Penulisnya juga tidak mungkin bermaksud agar pembaca memilih pemahamannya sendiri dengan cara menebak-nebak seperti teka-teki, karena memang tulisan itu bukan untuk teka-teki, tetapi untuk mengungkapkan satu maksud agar dapat dipahami oleh pembacanya dengan benar apa maksud yang dikehendaki oleh penulisnya.
Kelihatan jelas bahwa ilmu nahwu tidak dapat menentukan satu bacaan yang betul sesuai dengan kemauan penulisnya. Ini artinya bahwa ilmu nahwu itu bukan alat untuk membaca tulisan gundul. Kalau ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat untuk membaca kitab gundul maka yang terjadi adalah penyalahgunaan ilmu nahwu.
Adapun penyalahgunaan ilmu nahwu yang bisa berbahaya, adalah ketika terjadi penafsiran yang dipaksakan dengan dasar ilmu nahwu. Contohnya lafadz Basmalah yang berbunyi Bismillahi al-Rohmani al-Rohimi (بسم الله الرحمنِ الرحيمِ . ). Kedua kata al-Rohman dan al-Rohim beri'rab Jir sebagai sifat lafdzu al-Jalalah. Dengan ilmu nahwu kedua kata tersebut bisa dibaca marfu' atau manshub atau majrur.sehingga ada sembilan macam bacaan Basmalah yang dimungkinkan, tetapi hanya ada tujuh yang benar berdasarkan ilmu nahwu (Ahmad Zaini Dahlan: t.t, 4). Macam bacaan tersebut sebagaimana dalam tabel berikut.
Tabel Macam Bacaan Basmalah
No. Bismillahi Al-Rahman / I'rab Al-Rahim /I'rab Keterangan
1. Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahimi/ Jir Benar dan resmi
2. Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahima/ nashab Benar sesuai kaedah
3. Bismillahi Al-Rahmani/Jir Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
4. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
5. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
6 Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah
7. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
8. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahimu/ Rafa' Benar sesuai kaedah
9. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa' Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah

Bismillahi al-Rohmanu al-Rohimu, atau Bismillahi al-Rohmana al-Rohima, dengan alasan sifatnya dapat dipisah atau yang disebut dalam ilmu nahwu sebagai na'at maqtu'. Masalahnya bukan bisa dibaca rofa' atau nashob, tetapi lafadz itu semula dimaksudkan oleh Allah SWT untuk apa dengan bunyi yang bagaimana. Bunyi itu menentukan makna. Bolehkah kita mengubah kehendak Pembicara? Apalagi dalam hal ini yang berfirman adalah Allah SWT. Allah SWT menghendaki bunyi lafdz tersebut dengan i'rab jir untuk kedua kata al-Rohman dan al-Rohim.
Ketentuan bunyi itu ada maksudnya tersendiri. Sangat tidak tepat mengubah ucapan atau pembicaraan hanya karena keahlian dalam permainan ilmu nahwu. Ini merupakan penyalahgunaan ilmu nahwu secara sadar. Pengubahan bunyi demikian bisa juga terjadi pada surat Fathir ayat 28 dengan membaca lafdzu al-jalalah marfu' dan al-'Ulama' mansub sehingga artinya menunjukkan bahwa Tuhan itu takut pada para Ulama', dengan penafsiran dibuat-buat supaya bisa dibenarkan, yakni takut di sini dalam arti khawatir; padahal tulisan mushaf yang ada adalah sebaliknya bahwa lafdzu al-Jalalah manshub dan kata al-'Ulama'u itu marfu', sebagaimana ayat tersebut (QS. Fathir/35 : 28) demikian:
………إنما يخشى اللهَ من عباده العلمـؤا ………
Yang artinya bahwa yang takut pada Tuhan hanyalah para Ulama'.
Perlu dipahami bahwa penyalahgunaan ilmu nahwu, yang menganggap bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca kitab gundul, juga bisa merendahkan martabat ilmu nahwu. Demikian ini karena ilmu nahwu itu menjadi tidak ada gunanya kalau tulisan bahasa Arab semua sudah sempurna dilengkapi dengan syakal, seperti Quran sekarang yang sudah sempurna lengkap dengan syakalnya, dan kitab-kitab lama yang dewasa ini sudah dilengkapi dengan syakal. Dengan anggapan seperti itu berarti sekarang ini ilmu nahwu sudah tidak berguna lagi dan tidak perlu dipelajari.
Anggapan yang bisa merendahkan martabat ilmu nahwu ini, hanya bisa muncul karena beredarnya kitab gundul. Ilmu nahwu itu sendiri juga tidak dapat menjamin benarnya bacaan atas tulisan gundul. Kalau orang mempergunakan ilmu nahwu itu untuk membaca kitab gundul, maka praktek demikian itu sama halnya dengan orang yang mempergunakan pisau untuk menancapkan sebuah paku pada tembok. Bisa saja paku itu menancap pada tembok karena ketukan pisau, tetapi pisau itu tetap saja bukan alat untuk itu. Ini terjadi penyalahgunaan dan akibatnya pisau itu bisa rusak.
Demikian juga bila ilmu nahwu itu digunakan untuk membaca tulisan gundul maka terjadi juga penyalahgunaan ilmu nahwu. Ilmu nahwu bisa rusak. Rusaknya ilmu nahwu terlihat pada orientasi penyiapan materi dan pembelajarannya. Ini bisa diketahui pada beberapa topik bahasan ilmu nahwu yang tidak perlu diajarkan.
Masalah yang muncul sebab beredarnya kitab gundul bukan pada tiadanya jaminan ilmu nahwu terhadap benarnya bacaan, karena memang bukan alat untuk membaca. Masalah itu ada pada keberadaan kitab gundul, yakni kitab yang tulisannya belum sempurna tetapi sudah dianggap sempurna. Adanya anggapan bahwa tulisan gundul itu sudah sempurna menyebabkan tiadanya perhatian yang kritis terhadap keberadaan tulisan gundul. Maka wajar bila ilmu nahwu dianggap sebagai alat untuk membaca. Oleh karena ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat membaca, terjadilah penyelahgunaan. Akibat dari penyalahgunaan tersebut antara lain adalah proses membaca yang tidak logis dan munculnya kesan bahasa Arab sebagai momok.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 97-104
____________________
Kepustakaan
Aqib, Kharisudin, Al-Fath (Bimbingan Cepat membaca Kitab Tulisan Gundul ) (Surabaya: H.I Press, 1992)
Dahlan, ,Ahmad Zaini, Syarh Mukhtashor Jiddan 'Ala Matn al-Ajrumiyah (Semarang: Matba'ah Toha Putra, t.t).
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1983).
Fahman, Mundzar, Upaya Meningkatkan Mutu Sarjana IAIN, dalam Jawa Pos (Surabaya: 14 Maret 1989).
Sulthon Muhadjir, Nahwu dalam Kemasan Baru (Surabaya: Penasuci, 1998)

Selasa, 13 Juli 2010

BAHASA ARAB_Mengidentifikasi Problem Pendidikan Bahasa Arab*

Pendidikan Bahasa Arab sudah dimulai sejak di sekolah tingkat dasar (ibtidaiyah). Pendidikan itu dilanjutkan di sekolah menengah tingkat pertama (tsanawiyah). Aktivitas pembelajaran berjalan biasa-bisaa saja. Kalau ada masalah pada tingkat ini tidak begitu mendapat perhatian, karena segera dimaklumi bahwa pelajaran bahasa Arab belum mendapat perhatian begitu serius untuk pelajar setingkat ini. Di samping itu juga masih ada anggapan bahwa pelajar tingkat tsanawiyah adalah pelajar yang belum lama mempelajari bahasa Arab sehingga masalah yang timbul dipandang sebagai suatu kewajaran dan tidak menimbulkan kerisauan.
Lain halnya apabila masalah itu muncul di sekolah menengah tingkat atas (aliyah). Para pengajar akan merasakan langsung masalah-masalah dalam pendidikan bahasa Arab di tingkat ini. Masalah tersebut tidak lagi bisa dianggap sebagai masalah yang dapat dimaklumi begitu saja seperti ketika di tingkat tsanawiyah. Dengan demikian permasalahan pendidikan bahasa Arab baru muncul di tingkat aliyah, karena mulai mendapat perhatian 'agak' serius.
Terasa pada tingkat aliyah dan perguruan tinggi adanya kekecewaan-kekecewaan dari para guru dan dosen bahasa Arab. Kekecewaan itu kelihatannya dibiarkan saja menjadi keluhan-keluhan sehingga tidak ada langkah tindak lanjut dengan serius untuk mencari sebab utamanya. Sampai sejauh ini kekecewaan itu masih saja muncul berulang kali. Masalahnya: Apakah kekecewaan itu memang benar-benar disebabkan oleh problem kesulitan yang tidak dapat dipecahkan ataukah kekecewaan itu berasal dari kesulitan biasa yang sudah lazimnya dialami oleh semua yang belajar bahasa asing?
Kesulitan-kesulitan yang biasa dan lazim dialami oleh setiap pelajar bahasa asing tidak layak dikategorikan sebagai problem. Kesulitan demikian sebagai konsekuensi logis dari setiap proses pembelajaran bahasa asing. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dipecahkan sendiri oleh para pelajar. Berbeda dengan kesulitan belajar bahasa Arab yang muncul karena suatu faktor tertentu dan kesulitan itu bisa hilang ketika faktor tersebut dihilangkan. Kesulitan demikian layak dikategorikan sebagai problem. Langkah awal kajian ini menempatkan berbagai hal yang dianggap problem selama ini pada tataran sebagai isu belaka yang tidak dapat dikategorikan sebagai problem sesungguhnya. Selanjutnya isu tersebut dianalisis dalam rangka menentukan kesulitan-kesulitan yang memang menjadi kendala dalam pendidikan bahasa Arab. Ini dimaksudkan agar segera dapat dipecahkan problem yang sebenarnya.
Berbagai isu problem yang ada dipilah menjadi dua, yakni dalam kategori linguistik dan nonlinguistik. Pemilahan ini tidak berdasarkan pada tingkat dan tempat atau lembaga pendidikan, melainkan berdasarkan jenis masalahnya. Ada masalah yang langsung berkaitan dengan materi bahasa Arab yang di sebut dengan faktor linguistik dan ada masalah yang berkaitan dengan lingkungan, sarana prasarana, subyek didik dan pengajarnya atau faktor-faktor di luar linguistik yang disebut dengan faktor nonlinguistik.
1. Faktor Linguistik.
Faktor linguistik yang dianggap menjadi penyebab kesulitan dalam belajar bahasa Arab muncul karena beberapa alasan, yakni:
a. Adanya perbedaan tabiat bahasa termasuk gramatikanya (Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 6-7),
b. Adanya spesifikasi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia (Imroatus Saadah: 1997, 62),
c. Adanya perbedaan bahasa mulai dari sistem bunyi sampai dengan tulisannya (Urip Masduki: 1997, 53-5), dan
d. Adanya pola konjugatif (tashrifat) sebagai ciri utama bahasa Arab yang tidak dikenal dalam bahasa Nusantara sebagai bahasa mudah yakni bahasa-bahasa Astronesia (Abdurrahman Wahid: 1990, 4).
Adapun rincian faktor-faktor linguistik itu adalah sistem bunyi atau Nidlom as-Shout yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, yakni:
ث, ش, ذ, خ, ح, ظ, ط, ص, ض, ع, غ.
(Tsa', Syin, Dzal, Kho', Ha', Dho', Tho', Shod, Dlodl, 'Ain, Ghin), kosa kata atau mufrodat berkaitan dengan mudzakkar dan muannats, mutsanna dan jamak, khususnya yang berkaitan dengan morfhologi (tasrif) yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia, tata kalimat (tarkib al-kalimah) yakni susunan kata yang tertibnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, bentuk kalimat: jumlah ismi-yah dan fi'liyah, adanya i'rab, perbedaan sistem tulisan dari kanan ke kiri dengan huruf berbeda ketika berada di tengah di depan dan di belakang, sistem waqof pada kata dengan akhiran huruf ta' marbuthoh yang dibaca beda ketika diwaqofkan, pelafalan al-Syamsiyah, sistem tasydid atau penggandaan bunyi huruf, dan sistem uslub (gaya bahasa).
Secara keseluruhan dinyatakan bahwa faktor linguistik itu memberikan kontribusi yang besar kalau bukan merupakan akar bagi timbulnya kesulitan penguasaan dan pengembangan pengajaran bahasa Arab terutama bagi selain bangsa Arab atau ghair al-Nathiqin bi al-‘Arabiyah (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Untuk sementara kelihatan seolah-olah bahasa Arab itu bahasa yang sukar dikuasai, dan sukarnya mempelajari bahasa Arab itu disebutkan karena faktor-faktor bahasa Arab itu sendiri. Ini suatu pendapat yang belum pernah diuji kebenarannya. Kajian disini berusaha untuk memberikan verifikasi pendapat tersebut dengan realitas bahasa Arab. Dengan demikian akan diketahui kebenaran atau kepalsuan pendapat tersebut.
Kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa Arab yang berasal dari perbedaan tabiat antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia seperti dalam hal fonetik dapat diselesaikan dengan pelajaran ilmu tajwid, khususnya dalam fonem-fonem yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia seperti tsa’ ha’, kha’, dzal, syin, shad, ghin dan sebagainya ketika dalam keadaan sendirian atau ketika bertemu dengan fonem-fonem lainnya ( Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 6-7).
Dalam hal etimologi yang meliputi zaman (tenses) untuk kata fi’il madli dan mudlori’, tatsniyah dan jama’, tadzkir dan ta’nits, dan masalah gramatika serta kosa kata, sampai sejauh ini penulis belum menemukan adanya upaya pemecahannya sehingga tampak menjadi problem yang menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran dan dianggap sebagai akar kesulitannya (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Padahal belum tentu hal tersebut menyebabkan kesulitan. Hanya disebabkan cara pandangnya saja bisa menjadikan hal tersebut sebagai suatu kesulitan yang menjadi problem.
Dalam hal tabiat bahasa Arab yang berbeda dari bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan pemecahannya dengan sederhana, yakni dengan belajar tajwid. Permasalahannya adalah bila memang alat bicara pada mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Arab maka memang ada masalah, tetapi perbedaan dari segi fisik para pelajar baik Indonesia maupun negara-negara lainnya ternyata tidak ada. Karena itu perbedaan tabiat bahasa tersebut sebetulnya bukan problem yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan demikian problem tersebut tidak layak disebut sebagai problem kesulitan dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan masalah etimologi (as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti terjemahannya "kunci" dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat diselesai-kan sehingga diketahui bahwa "kunci" itu alat pembuka yang bisa diketahui melalui kata fataha ((فتح yang berarti membuka menjadi miftah (مِفتاح) dengan makna alat untuk membuka.
Lain masalahnya bila suatu bahasa itu tidak mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak dibebani untuk menghafal kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat dalam bahasa Arab justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata lama yang sudah dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum diketahui sebutannya dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa tidak layak dianggap sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya atau tidak terbiasa dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan penyebab terjadinya problem dalam pendidikan bahasa Arab.
Dalam hal gramatika, tentunya masing-masing bahasa memiliki kekhususannya. Kekhususan bahasa itu bukan suatu problem dalam mempelajarinya. Bahasa itu dimiliki oleh suatu bangsa yang di da-lam nya juga ada masyarakat yang tidak cerdik, namun mereka bisa menggunakan bahasanya dengan baik, lancar, dan tidak mengalami problem. Fungsi gramatika suatu bahasa itu adalah sebagai ilmu tata bahasa. Demikian juga fungsi ilmu nahwu yang sering disebut sebagai qawa'id. Jadi pada dasarnya tidak ada problem dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab sebagaimana gramatika yang ada dalam bahasa asing yang lain.
Dalam kasus tertentu penulis memaklumi adanya problem khusus dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab. Akan tetapi itu bukan karena keberadaan gramatika itu sendiri. Problem itu muncul karena orientasi pembelajarannya.
Ilmu nahwu itu sering dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Ini suatu kekeliruan yang terlanjur dianggap sebagai kebiasaan. Kekeliruan inilah yang menyebabkan orientasi pembelajarannya melenceng sehingga dapat menyebabkan munculnya problem. Jadi problem pembelajaran ilmu nahwu itu muncul karena adanya kekeliruan dalam memfungsikannya, bukan karena ilmu nahwu itu sendiri.
Kasus pembelajaran gramatika bahasa Arab sering berkaitan dengan masalah i'rab yang menjadi inti bahasannya. Kesulitan yang ada disebabkan konsep yang ada ternyata memang belum tuntas. Konsep i'rab yang selama ini dinyatakan sebagai "perubahan" atau "pengubahan" atau atsar atau suatu bayan tentang fungsi kata dalam sebuah kalimat, masih perlu ditinjau ulang, karena terdapat kekeliruan dalam konsep tentang i'rab yang tertera dalam buku-buku ilmu nahwu selama ini. Ini baru bisa dinyatakan sebagai problem, karena dalam materinya sendiri memang ada masalah yang menimbulkan perselisihan pendapat tentang i'rab itu sendiri.
Dalam kasus perbedaan arah tulisan bahasa Arab yang ke kiri dengan tulisan Latin yang ke kanan, maka pada dasarnya bukan suatu kesulitan yang menimbulkan problem. Tulisan bahasa Arab yang lengkap dengan syakalnya dan dengan sistemnya yang fonetik dan sistem ejaannya yang fonemis, adalah sangat mudah untuk dipelajari cara membacanya ( Saidun Fiddaroini: 1997, 65). Mudahnya membaca tulisan yang ejaannya bersistem fonemis adalah karena suatu ejaan yang menggunakan sistem ejaan fonemis adalah ejaan yang sempurna (Samsuri, Analisis Bahasa: 1991, 23).
Dengan demikian perbedaan bentuk dan arah tulisan dari kanan ke kiri itu bukan penyebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab. Justru tulisan bahasa Arab itu terbukti paling mudah untuk dipelajari cara membacanya bila tulisan yang dimaksud adalah tulisan bahasa Arab yang sempurna. Lain masalahnya apabila yang dimaksud itu adalah tulisan gundul. Bukan sistem tulisannya penyebab kesulitan, tetapi ketidaksempurnaannya itulah yang menimbulkan problem.
2. Faktor Nonlinguistik
Faktor nonlinguistik yang dianggap sebagai sebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab antara lain: Perbedaan sosio kultural bangsa Arab dengan sosio kultural pelajar (Indonesia), sarana dan prasarana fisik, tempat dan waktu (Urip Masduki: 1997, 53-5), kemampuan subyek didik fakor-faktor psikologisnya (Ghufron Zainal 'Alim: 1992 , 6-7), komponen-komponen instruksional yang tidak dipersiapkan dengan baik (M. Fachrir Rahman: 1998, 9), dan citra bahas Arab itu sendiri. (Abdurrahman Wahid: 1990, 4).
Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksudkan konkretnya adalah: Perbedaan ungkapan istilah untuk nama-nama benda, misalnya nama onta yang berbeda karena usianya, kurangnya jam pelajaran sehingga tidak tercapai tujuan yang digariskan dalam program pembelajaran pada kasus di Madrasah Aliyah, buku paket yang belum disiapkan dengan baik oleh penyusun kurikulumnya, rendah-nya kualitas tenaga pengajar bahasa Arab dan rendahnya kemampuan pelajarnya, masa depan yang tidak jelas bagi pelajar bahasa Arab dan tiadanya penghargaan langsug dari masyarakat sehingga kurang adanya minat untuk mempelajarinya, tidak tepatnya tujuan dan orientasi pembelajaran dan metode pengajarannya, terpisahnya pengajaran bahasa Arab di sini (Indonesia) dari perkembangan bahasa Arab sendiri di kawasan Timur Tengah, minimnya kamus yang dikarang oleh orang-orang Nusantara tentang bahasa Arab, terkaitnya pengajaran bahasa Arab dengan pendalaman ilmu-ilmu agama, dan sikap umum bangsa Indonesia yang menganggap pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari pendidikan Islam sehingga ia dipisahkan dari kegairahan hidup dalam dunia komunikatif.
Dalam menanggulangi kesulitan pada kasus nonlinguistik telah dianjurkan adanya pendekatan linguistik kontrastif, yakni peng-ajaran dimulai dari yang ada kesamaannya dengan bahasa ibu; sedangkan untuk unsur dan struktur yang tidak memiliki kesamaan diajarkan belakangan (Urip Masduki: 1997, 53-5). Anjuran ini bisa diterima untuk ditindaklanjuti sehingga kasus ini tidak lagi menjadi problem.
Kasus nonlinguistik lainnya yang dibeberkan dimuka ternyata belum ada yang mengemukakan pemecahannya yang berkisar pada masalah-masalah terbatasnya waktu yang di atur dalam kurikulum, sarana seperti buku dan alat-alat bantu teknik seperti audio visual, input yang lemah dalam bahasa Arab, dan syarat-syarat untuk kemampuan guru. Sementara upaya pemecahan yang dikemukakan hanya sebagai pertimbangan untuk ditinjau ulang dalam opersionalnya.
Perlu diketahui bahwa terbatasnya waktu bukanlah suatu problem karena dengan ditambahkannya waktu berarti sudah terselesaikan. Begitu juga mengenai sarana dan prasarana, maka pemenuhannya sudah merupakan penyelesaian. Jadi tidak layak hal-hal demikian dinyatakan sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Di samping itu perlu diperhatikan bahwa ada kalanya sarana-sarana itu juga tidak mutlak perlu, misalnya perangkat laboratorium bahasa yang tidak imbang antara harga dan manfaatnya, yang biasanya sering tidak dipakai dan jarang dimanfaatkan.
Lemahnya input dalam berbahasa Arab tidak bisa dinyatakan sebagai problem. Kalau input sudah mahir maka proses pembelajaran bahasa Arab sudah tidak ada gunyanya. Pada langkah berikutnya perlu diterapkan kedisiplinan dalam evaluasi. Para pelajar atau mahasiswa yang sudah mampu menguasai materi pembelajaran bahasa Arab layak lulus dan yang tidak mampu tidak layak diluluskan. Meluluskan pelajar atau mahasiswa yang belum mampu sama dengan menciptakan rendahnya mutu pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab. Inilah yang memunculkan problem, bukan lemahnya input tetapi membiarkan dan meluluskan calon luilusan yang lemah itulah problem.
Dalam kaitannya dengan metode yang dianjurkan untuk dipakai maka metode itu sangat berkaitan dengan materi dan tujuan dalam pembelajaran. Perlu diingat bahwa tiap metode yang dipakai itu memiliki keunggulan dan kekurangannya. Sebetulnya sangat dianjurkan untuk menyelesaikan problem metode ini dengan mema-hami dan menguasai berbagai metode untuk proses pembelajaran, sehingga setiap kali muncul permasalahan metode dapat diselesaikan dengan bantuan metode alternatif yang pada gilirannya disebut dengan metode eklektik.
Adapun tidak dipergunakannya satu sistem yang konsisten dalam metode pengajaran, tidak adanya dorongan moril, tidak jelasnya masa depan mahasiswa yang belajar bahasa Arab di Perguruan Tinggi, dan tidak adanya penghargaan langsung dari masyarakat yang bisa mengurangi minat belajar bahasa Arab, maka semua itu diselesaikan dengan memberikan kontra operasional, yakni dengan mengadakan semua yang tiadanya itu menjadikan masalah ( Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 25). Untuk keperluan tersebut maka daya tarik, motivasi belajar, dan prospek bahasa Arab perlu dikemukakan dengan positif, khususnya mengenai kesan pertama yang baik dalam mengenal dan menilai keman-faatan bahasa Arab.
Dalam hal tenaga pengajar, tujuan dan orientasi pengajarannya, sarana prasarana serta lingkungan yang dinilai sebagai problem, maka M. Fahrir Rahman memberikan jalan keluarnya yaitu agar ditinjau kembali orientasi pengajaran bahasa sebagai ilmu alat, yakni perlu ketentuan belajar bahasa Arab itu sebagai alat pemahaman text book, atau untuk muhadatsah (berbicara), dan perlu simplifikasi terutama dari segi nahwiyah, perlu metode yang efektif, pengajar yang profesional, materi yang proporsional serta fasilitas yang memadahi termasuk sarana penunjangnya, kondisinya juga yang kondusif untuk merangsang pengajaran bahasa Arab, dan konkretnya lembaga bahasa perlu diefektifkan dengan pola pengajaran bahasa tiap hari dengan metode, materi, pengajar, dan fasilitas yang memadai (M. Fachrir Rahman: 1998, 10). Ini suatu jalan keluar yang mudah dipenuhi dalam menghilangkan problem nonlinguistik.
Dengan analisis tersebut di atas kiranya patut dinyatakan bahwa sebetulnya tidak ada masalah nonlinguistik yang layak disebut sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Masalahnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan nonlinguistik. Ini artinya apabila kebutuhan nonlinguistik sudah dipenuhi, maka proses pembelajaran bahasa Arab bisa berlangsung dengan lancar begitu saja.
Dalam prakteknya, sarana dan prsarana itu hanya sekedar bantuan tambahan untuk memperlancar proses pembelajaran bahasa Arab. Meskipun tanpa pemenuhannya dapat juga diatasi dengan segala kesederhanaan sebagaimana belajar bahasa di masa-masa lalu yang tidak terlalu manja dengan sarana prasarana yang canggih seperti perangkat laboratorium bahasa dan sebagainya.
Dengan demikian masalah nonlinguistik ini dapat dinilai sebagai masalah yang sangat sederhana, tidak bisa dijadikan alasan atau sebab-sebab tidak bisa belajar bahasa Arab, atau sebab terjadinya kesulitan ketika belajar bahasa Arab. Demikian sederhananya masalah nonlinguistik ini maka tidak layak disebut sebagai problem pembelajaran bahasa Arab. Perlu dicermati lagi bahwa yang utama dalam pembelajaran bahasa adalah praktek dan keaktifan para pelajar itu sendiri dalam berbahasa Arab.
Jadi langkah penyelesaian masalah nonlinguistik adalah pemakaian bahasa Arab itu sendiri secara disiplin dalam proses pembelajarannya. Kondisi pembelajaran perlu diciptakan agar tidak lagi membicarakan bahasa Arab tetapi sebaliknya hendaknya senantiasa memakai bahasa Arab untuk membicarakan apa saja termasuk hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Masalah konkretnya adalah bagaimana dapat diciptakan lingkungan yang selalu memaksa untuk berbahasa Arab.
Dalam hal kultur, maka hal ini menjadi masalah bila dipaksakan untuk mempelajari kultur Arab di awal pembelajaran. Perihal yang penting adalah penguasaan kosa kata serta kaedahnya. Baru kemudian setelah mahir dapatlah diberikan makna-makna khusus yang berkaitan dengan kultur. Untuk materi ini biasanya diambilkan dari contoh-contoh idiomatik. Dengan demikian masalah kultur Arab dapat disederhanakan dan tidak lagi menjadi masalah.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 87-96.
______________________
Kepustakaan
Abdurrahman Wahid, Prospek Pengembangan Bahasa Arab di Indonesia: Pendorong dan Kendalanya, dalam Qimah (Surabaya: Fakultas Adab, Edii III, 1990).
Ghufron Zainal 'Alim, As-Syu'ubat al-Lati Tuwajihu Darisi al-Lughah al- 'Arabiyah Fi al-Jami'ah al-Indunisiyah Wa Subulu at-Taghallub 'Alaiha (Surabaya: t.p, Makalah Seminar Pengembangan Pengajaran Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Indonesia, 1992)
Imroatus Saadah, Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Solusinya, dalam Mimbar Pembangunan Agama (Surabaya: Kantor Wilayah departemen Agama Propinsi Jawa Timur, April 1997, No. 127).
M. Fachir Rahman, Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Agama, dalam Ulumuna (Mataram: STAIN Mataram, 1998, Edisi 03)
Saidun Fiddaroini, Efektifitas dan Efisiensi SosialisasiBahasa Arab (Surabaya: CV. Cempaka, 1997)
Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1991)
Urip Masduki, Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah, dalam Ikhlas Beramal (Jakarta: Departemen Agama RI, Juni 1997, No. 7 Th. II).