Minggu, 25 Juli 2010

BAHASA ARAB_Bahasa Sasaran: Dari Amiyah ke Fusha*

Kalangan terpelajar banyak yang tahu bahwa bahasa Arab ada dua macam, yaitu bahasa Arab Fusha dan 'Amiyah. Bahasa Arab Fusha dikenal dengan bahasa Arab baku atau standar dan banyak yang menyebutnya sebagai bahasa Arab klasik (classical Arabic), bahkan ada yang menyebutnya sebagai Bahasa Arab Standar Modern.(Sabah Ghazzawi: 1992, 2). Sedangkan bahasa Arab 'Amiyah dikenal dengan bahasa Arab yaumiah (harian) bahkan suqiyah (pasaran), dan ada juga yang menyebutnya dengan bahasa Arab kolukwial atau dialek lisan setempat (Azhar Arsyad: 2003, 3).
Kedua macam bahasa Arab tersebut tidak perlu dibedakan dengan menyebutnya sebagai bahasa tulisan untuk bahasa Arab Fusha dan menyebutnya sebagai bahasa lisan untuk bahasa Arab 'Amiyah, karena sebutan bahasa tulisan dan lisan itu sudah melenceng dari pengertian bahasa. Bahasa adalah bunyi sedangkan tulisan adalah lambang bunyi. Di samping itu penyebutan bahasa Arab tulisan dan lisan itu akan menyebabkan timbulnya pengertian yang melenceng yakni bahasa Arab Fusha itu dianggap hanya ada dalam tulisan atau buku-buku, sedangkan bahasa Arab yang diucapkan dengan lisan itu dianggap bahasa Arab 'Amiyah, padahal bahasa Arab Fusha juga diucapkan dengan lisan.
Kajian tentang macam bahasa Arab disini bukan sekedar untuk menunjukkan ciri-ciri kedua macam bahasa itu, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menunjukkan apa sebenarnya di balik perbedaan serta apa dampak dari pemakaian kedua macam bahasa itu ditinjau dari strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab. Ujung-ujungnya adalah menentukan pilihan macam bahasa Arab yang menjadi sasaran pendidikan, bahasa Arab Fusha atau 'Amiyah.
1. Bermuara pada Bahasa Arab Fusha
Bahasa Arab Fusha ini digambarkan sebagai bahasa yang dipakai oleh masyarakat pada masa Rasulullah SAW. meskipun tentu saja terdapat beberapa kosa kata baru buat obyek-obyek dan konsep-konsep yang kurang familiar pada masa itu. Bahasa Arab standar ini merupakan media pokok komunkasi dalam bentuk buku-buku, majalah, surat kabar, papan-papan pengumuman, dokumen pemerintahan, surat menyurat dan surat pribadi, juga dipakai oleh media televisi dan radio, termasuk dalam pidato-pidato serta konferensi-konferensi dan seminar-seminar ilmiah bahkan di bangku-bangku kuliah. Oleh karena itu bahasa Arab standar ini merupakan bahasa yang berlaku di semua negara yang berpenduduk mayoritas Arab dan Muslim (Azhar Arsyad: 2003, 4).
Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam ko-munikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah SAW. dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya. Mengenai hal ini Ghazzawi menyatakan:
since classical Arabic has change so little since Muham-mad's time, Arab today can read Arabic written in seventh or eighth century without too much difficult. This is quite different from the situation in English, as we can not read Old English texts without special study, as though for foreign language (Sabah Ghazzawi: 1992, 2).
Keberadaan bahasa Arab Fusha yang begitu konstan bertahan sampai kini dan akan datang tidak lepas dari peran Quran yang ter-jaga keasliannya sampai nanti. Terpeliharanya Quran demikian ini menunjukkan bahwa kaedah-kaedah bahasa Arab juga stabil. Meskipun demikian bukan berarti ilmu nahwu dan sharaf yang dikenal sekarang ini sudah lengkap, sempurna, dan sudah tidak dapat berkembang lagi. Hal ini dapat dipahami dengan adanya berbagai struktur dan bentuk kata dalam Quran yang belum teruraikan sampai saat ini.
Ilmu nahwu dan sharaf itu akan berkembang juga sesuai dengan perkembangan percakapan bangsa Arab meskipun tidak secepat perkembangan kosa katanya dengan cara serapan. Kosa kata Arab semula berasal dari berbagai dialek kabilah-kabilah Arab. Untuk kepentingan bersama seperti dalam perdagangan di kota Mekkah maka masing-masing suku itu berusaha saling memahami masing-masing dialek yang dipergunakan. Pada masa itu juga diadakan perlombaan sastra berupa syair-syair, dan yang baik ditempelkan di Ka'bah. Ini bisa dipahami sebagai awal mula "pemilihan bahasa" untuk dipakai bersama. Ternyata dialek yang diterima oleh suku-suku Arab, dengan berbagai sebab, adalah dialek dari suku Quraish. Penerimaan dialek Quraish untuk bangsa Arab itu merupakan lahirnya bahasa Fusha. Bahasa Arab yang dipergunakan dalam Quran berdialek Quraish meskipun ada juga beberapa struktur dan juga kosa kata yang tidak berasal dari dialek Quraish.
Kajian di atas menunjukkan bahwa bahasa Arab Fusha atau standar yang menggelobal itu sebetulnya juga berasal dari salah sa-tu suku Arab. Jadi bahasa Arab standar adalah bahasa Arab yang disepakati pemakaiannya bersama oleh suku-suku Arab. Karena itu bahasa Arab dengan dialek dari salah satu suku yang tidak dipakai dengan aturan yang disepakati bersama oleh suku-suku Arab tidak dapat dinyatakan sebagai bahasa Fusha. Aturan pemakaian bahasa atau tata bahasa yang disepakti itu diperoleh dengan cara induksi dari Quran dan juga syair-syair yang dihafal.
Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Quran dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraish. Jadi bahasa Arab Fusha ini kosa kata dan aturan pemakaiannya disepakati oleh suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha ini yang menjadi materi pembelajaran bahasa Arab, yang sekarang ini diupayakan strategi pengembangan pendidikannya. Suka atau tidak suka, bahasa Arab Fusha itu akan menjadi bahasa yang hidup dan terpelihara, karena merupakan kristalisasi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha itu disepakati dan difungsikan sebagai alat komunikasi untuk semua bangsa Arab. Pada akhirnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajari bahasa Arab Fusha.
2. Mewaspadai Bahasa Arab 'Amiyah
Dalam kajian ini yang dimaksud dengan Bahasa Arab 'Amiyah itu ada dua. Bahasa Arab 'Amiyah pertama yaitu bahasa Arab yang belum disepakati pemakaiannya oleh semua suku Arab, dan bahasa Arab 'Amiyah kedua yaitu bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan bahasa Arab standar.
Bahasa Arab 'Amiyah yang pertama bisa berkembang statusnya menjadi bahasa Arab Fusha karena kekuatan salah satu suku Arab yang memilikinya sehingga bisa diterima oleh semua suku. Misalnya kata haliib dalam dialek lokal Damaskus yang memiliki arti sama dengan kata laban dalam dialek Kairo, yang berarti susu (Azhar Arsyad: 2003, 4). Kedua kata yang berbeda itu akhirnya dipakai dalam bahasa Arab standar menjadi sinonim. Kedua kata itu sering dipakai dan memiliki bentuknya dalam tulisan serta mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab Fusha. Kata haliib atau laban ini merupakan contoh bahasa Arab 'Amiyah yang disebut kolukwial (Azhar Arsyad: 2003, 3). Pada gilirannya bahasa Arab kolukwial ini bisa menjadi bahasa Arab Standar karena bisa mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab standar.
Adapun bahasa Arab 'Amiyah kedua, yakni bahasa Arab yang jelas-jelas tidak mengikuti aturan atau kaedah-kaedah bahasa Arab standar, maka bahasa Arab ini sering dipakai secara lisan dan jarang bahkan tidak pernah memiliki bentuknya dalam tulisan. Baha-sa Arab 'Amiyah ini biasanya diucapkan secara terpotong-potong. Setiap kosa-kata tidak disusun beraturan meskipun dapat dipahami sebagai suatu kalimat sempurna. Keadaan demikian menyebabkan bahasa tersebut pantas untuk disebut sebagai bahasa 'Amiyah, dengan konotasi bahasa santai untuk orang-orang awam. Bahasa Arab ini dipergunakan sering kali dalam percakapan singkat-singkat dan tidak memerlukan pemikiran mendalam.
Bahasa Arab 'Amiyah demikian ini pada umumnya berakhiran dengan bunyi mati. Kalau terpaksa dilambangkan dengan tulisan maka untuk setiap akhir kata senantiasa disukun, bahkan dikurangi suku katanya, dan juga pada pertengahan bunyi suku katanya berbeda dari bahasa Arab Fusha. Jadi bahasa Arab ini pada mulanya berasal dari bahasa Arab Fusha tetapi dipakai dengan seenaknya secara bebas tanpa terikat aturan dengan asumsi bahwa yang penting sudah dapat dipahami. Misalnya ucapan "Maaliis'", bila diucapkan dengan baik maka bunyinya "Maa 'alaihi syai'", artinya "Tidak ada masalah". Begitu juga ucapan "Khombesy" yang bunyi aslinya adalah "Khomsya 'Asyar", artinya “lima belas”. Tampak bahwa bahasa Arab ‘Amiyah ini adalah bahasa Fusha yang dirusak.
Terhadap pemakaian bahasa Arab 'Amiyah ini perlu waspada. Kewaspadaan itu berkaitan dengan apa yang ada di balik kebanggaan pemakaiannya. Demikian ini mengingat apa yang pernah terjadi bahwa ada ajakan untuk mempergunakan bahasa Arab 'Amiyah untuk menggantikan bahasa standar di Mesir pada bulan Januari 1893 Masehi. Ajakan itu dimulai ketika seorang insinyur Inggris bernama William Wilcox memberi kuliah di rumah peristirahatan Azbakiah dengan judul "Kenapa sekarang di kalangan orang-orang Mesir tidak terdapat kekuatan daya cipta (creativity)?, yang isinya menunjukkan bahwa orang Inggris kreatif karena menggunakan bahasa pasaran sehingga muncul Shakespeare dan juga Bacon (Hasan Langgulung: 1987, 94).
Tujuan ajakan itu untuk menghancurkan peradaban Islam, dengan cara meragukan kemampuan bahasa standar untuk memenuhi kebutuhan tuntutan dunia modern, sehingga tidak akan lagi ada yang menggunakan bahasa Arab.(Hasan Langgulung: 1987, 94) Bahkan Anis Farihah, sarjana Arab yang ahli bahasa Arab, menyatakan bahwa bahasa Fusha bukan bahasa percakapan, jadi tidak dapat diharapkan menggambarkan kehidupan dengan pahit-manisnya serta kasar-halusnya, seperti yang dapat dibuat oleh bahasa pasar.(MM Mursi: 1977, 226).
Bila ajakan menggunakan bahasa pasaran itu murni untuk mengembangkan kreativitas, maka sebetulnya tidak harus dengan cara menggunakan bahasa pasaran. Hal ini disebabkan bahasa Arab pasaran itu berbeda dari bahasa Inggris pasaran atau yang lain. Bahasa Arab 'Amiyah adalah bahasa yang tidak disepakati oleh suku-suku Arab untuk dipakai bersama. Perlu diinsafi bahwa bahasa Arab pasaran itu adalah bahasa yang tidak sempurna atau yang rusak dari bahasa Arab Fusha. Ini berbeda dari bahasa Inggris yang memiliki bahasa pasarannya sendiri dan bukan berasal dari bahasa Inggris standar yang dirusak atau yang dilisankan dengan tidak sempurna.
Bahasa Inggris pasaran dan juga bahasa pasaran lainnya bukan-lah bahasa yang rusak, tetapi karena istilah baru yang memang dipergunskan untuk lisan saja. Bahasa Inggris pasaran itu bukan karena melencengnya bunyi fonem seperti yang terjadi dalam bahasa Arab pasaran. Gambaran bahasa Arab pasaran yang berasal dari bahasa Arab Fusha sebagaimana dalam tabel berikut.

TABEL BAHASA ARAB 'AMIYAH
Bunyi Bhs Amiyah Asal Dialek Amiyah Asal Bahasa Arab Fusha Artinya
Istabghoh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Tabghi Apa maumu?
Ayis ih/Aisyn uh Mekkah, Kairo Ayyu Syaiin Turidu Apa maumu?
Aiwah/ Iih Mekkah, Kairo Naam , ajal Ya
Lissa maghoos Kairo Laisa Ma Jaa Belum datang
Tirja' Mekkah, Kairo Tarji' Pulang
Akhoya Mekkah Ya akhi Hai sdr-ku
Imta Mekkah, Kairo Mataa Kapan
Maa liis Mekkah, Kairo Ma alaihi syaiun Tak masalah
Bitu 'uulee Kairo Biayyati al-lughah Bicara apa?
Istannaa hina Mekkah Intadhir huna Tunggu disini
Minu Bagdad Man Siapa?
Miin Damaskus, Kairo Man Siapa?

Kalau ada yang menganggap bahwa bahasa Arab Fusha tidak mampu mengungkapkan perasaan hati nurani yang halus dan tidak dapat memenuhi tuntutan dunia modern, maka pendapat itu tidak benar, karena jauh sebelumnya bahasa Arab sudah dipakai untuk berbagai kepentingan, seperti pengungkapan perasaan hati dalam berbagai syair, dan juga adanya konsep ta'rib, yakni memasukkan bahasa asing menjadi bahasa Arab ketika belum ditemukan kata itu dalam bahasa Arab. Jadi ajakan untuk menggunakan bahasa Amiyah dengan alasan ketidakmampuan bahasa Arab Fusha untuk kepentingan pengungkapan segala macam makna tersebut tidak patut untuk diperhatikan.
Keberadaan bahasa Arab 'Amiyah itu banyak disebabkan oleh kemalasan mengucapkan dengan sempurna. Dalam berbagai kasus dapat diketahui bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu hanya dipakai dalam pergaulan sehari-hari dengan ringan dan tidak dipikirkan bagaimana mengabadikan ucapan itu dalam sebuah tulisan. Bahasa Arab 'Amiyah itu diucapkan untuk tidak perlu diperhatikan atau dipikirkan secara serius, diucapkan dan dilupakan. Oleh karena itu kosa katanya seenaknya, dengan prinsip bahwa pada saat diucapkan pendengarnya bisa mengerti.
Ditinjau dari segi pelestarian peradaban, maka tidak heran bila ajakan untuk menggunakan bahasa Arab pasaran itu tujuannya untuk meninggalkan atau melupakan peradaban Islam. Cara yang dipergunakan adalah dengan pelah-pelan dan sedikit demi sedikit tidak memakai bahasa Arab Fusha atau menjadikan agar bahasa Arab Fusha itu rusak, sehingga tidak lagi bisa mengenal ajaran Islam yang diterangkan dengan bahasa Arab Fusha.
3. Mendayagunakan Bahasa Arab 'Amiyah
Bahasa Arab 'Amiyah yang berasal dari bahasa Arab Fusha sering diucapkan dengan lancar dan cepat. Sering kali pemakai baha-sa Arab 'Amiyah ini merasa bangga. Kebanggaan itu biasanya muncul karena adanya perasaan lebih "keren" atau ada anggapan bahwa bahasanya lebih "up to date" bila dibandingkan dengan pemakaian bahasa Arab Fusha yang disebut klasik. Kebanggaan itu juga bisa muncul karena merasa bahwa pemakai bahasa 'Amiyah itu setidak-tidaknya sudah mahir berbicara dengan bangsa Arab pada umumnya di Timur Tengah. Mereka itu berbahasa 'Amiyah sebagai pengantar ringkas dalam menerangkan hal-hal sederhana.
Kebanggaan menggunakan bahasa Arab 'Amiyah bisa mengarah pada melencengnya tujuan pembelajaran bahasa Arab. Perlu dihimbau agar pemakaian bahasa Arab 'Amiyah itu sekedar sebagai bahasa pembantu ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Apabila sudah dapat berbahasa Arab Fusha maka menjadi naif untuk kem-bali pada bahasa 'Amiyah. Memang bahasa 'Amiyah umumnya dipakai oleh orang-orang Arab dewasa ini, namun pada dasanya mereka itu memahami bahasa Arab Fusha, hanya saja tidak mahir menggunakannya dengan baik. Hal ini terbukti bahwa mereka itu ternyata paham ketika mendengar Quran yang fusha itu dibaca.
Memasukkan materi pembelajaran bahasa 'Amiyah ke dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Arab hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Praktek pembelajaran bahasa 'Amiyah justru akan merusak kemampuannya dalam berbahasa Arab Fusha. Lagi pula kosa kata bahasa Arab 'Amiyah itu tidak banyak dan mudah dipelajari sendiri tanpa harus terstruktur dalam kurikulum.
Alasan yang kuat untuk tidak mengajarkan bahasa 'Amiyah adalah bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu tidak dipahami oleh seluruh orang Arab, sedangkan bahasa Arab Fusha dapat dipahami. Mereka mengagumi dan menghargai siapa saja yang bisa berbicara dengan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar bahasa Arab Fusha sudah mencu-kupi untuk keperluan berkomunikasi dengan semua suku Arab. Memang ada pengecualian, misalnya untuk bertempat tinggal agak lama di Timur Tengah pada satu suku tertentu, maka perlu mem-pelajari bahasa Arab 'Amiyah kolukwial.
Tulisan ini bukan untuk menolak keberadaan bahasa 'Amiyah, tetapi untuk memberikan pandangan positif bahwa bahasa Arab 'Amiyah itu perlu dimanfaatkan sebatas keperluan sementara ketika belum bisa berbahasa Arab Fusha. Perlu diketahui pula bahwa sebetulnya merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi orang Arab, sekalipun yang terpelajar, untuk berbahasa Arab Fusha. Jadi tidaklah patut untuk menyatakan bahwa bahasa Arab Fusha itu sangat sulit bagi orang-orang non-Arab saja.
Kajian tersebut diatas menjadi peringatan bagi guru atau dosen yang membangga-banggakan kemahirannya berbahasa Arab 'Amiyah, karena secara tidak langsung ikut andil dalam perusakan peradaban Islam. Dalam konteks strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab, maka menghindari pemakaian bahasa 'Amiyah adalah sebuah keniscayaan.
4. Hubungan Bahasa Arab Fusha dengan Ilmu Nahwu
Disebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang i'rab perkataan Arab.( Ma’luf: Beirut, 1973, 796). Ada yang menyebutkan bahwa ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang susunan kalimat dan ciri khasnya. Ilmu ini bukan saja mempelajari i'rab dan problematikanya tetapi juga menyinggung masalah-masalah lain yang penting, seperti kedudukan kata dalam kalimat, hubungan intern antar unit-unit morfem yang membentuk kalimat atau ungkapan-ungkapan dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan tata kalimat (Chotibul Umam: 1980, 18-19). Dengan ilmu nahwu dapat diketahui keadaan bentuk kata ketika sendirian dan ketika disusun.( Amin Ali As-Sayyid: 1986, Vol. I, 13-4) Dengan kaedah-kaedah yang ada dalam ilmu nahwu dapat diketahui susunan-susunan bahasa Arab dari segi i'rab dan bina' dan sebagainya (Ali bin Muhammad Al-Jurjani: tt., 240).
Pembahasan dalam ilmu nahwu didominasi oleh permasalahan i'rab sehingga ada yang menyebut ilmu nahwu adalah ilmu yang membicarakan kaedah-kaedah keadaan kata-kata Arab dari segi i'rab dan bina’ sehingga dapat diketahui keadaan akhir kata (Musthafa al-Gholayaini: 1973, Vol, I, 6) Dari definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ilmu nahwu itu dapat dinyatakan sebagai ilmu untuk menentukan harakat dan keadaan akhir sebuah kata untuk disusun dalam sebuah kalimat. Jadi ilmu nahwu itu fungsinya adalah untuk mengatur kata-kata yang dipakai dalam komunikasi sesuai dengan aturan bahasa Arab.
Dengan ilmu nahwu seseorang dapat menyusun kalimat bahasa Arab dan menentukan bunyi akhir kata dengan benar. Dengan ilmu nahwu pula seseorang dapat memahami dengan benar kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun dengan tulisan. Dengan ilmu nahwu, maka komunikasi berbahasa Arab dapat dipahami dengan benar. Jadi kegunaan ilmu nahwu bagi penulis adalah untuk memberikan pemahaman yang benar melalui tulisannya dengan jelas, dan bagi pembaca adalah untuk memahami tulisan yang sudah jelas. Ketegasan tulisan dalam melambangkan bunyi mutlak diperlukan dan diharuskan agar didapatkan pengertian yang tepat berdasarkan ilmu nahwu.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahamai bahwa ilmu nahwu itu gramatika bahasa Arab. Ilmu ini mempunyai fungsi sebagaimana fungsi gramatika bahasa-bahasa selain bahasa Arab. Ilmu nahwu ini bukan alat untuk membaca kitab gundul, bukan untuk menentukan harakat akhir kata yang tidak diharakati. Memberi harakat adalah tugas dan tanggung jawab penulisnya. Pembaca bertugas memahami apa yang tertulis. Bila ternyata terjadi kekeliruan dalam pemberian harakat oleh penulisnya maka itu adalah kasus kesalahan penulisan yang harus dibetulkan. Kekeliruan penulisan harakat bukan berarti lebih baik tidak diharakati, namun seharusnya penulis lebih teliti atau harus belajar lagi ilmu nahwu agar bisa menyempurnakan tulisannya dengan betul.
Dalam kaitannya dengan bahasa Arab Fusha, maka peran ilmu nahwu begitu berarti. Bahasa Arab Fusha senantiasa teratur dan se-suai dengan kaedah-kaedah bahasa. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, il-mu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa 'Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan. Ditinjau dari strategi pendidikan bahasa Arab, maka makin sempurna bahasa Arab yang diajarkan makin maksimal peran ilmu nahwu, dan makin tidak teratur bahasa yang diajarkan, semisal bahasa 'Arab 'Amiyah, makin tidak berperan pula ilmu nahwu.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006),111-121
__________________
Kepustakaan
Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Ghazzawi, Sabah, The Arabic Language (Washington D.C: Centre for Contemporary Arab Studies, 1992).
al-Gholayaini Musthafa, Jami' ad-Durus al-'Arabiyah (Beirut: Al-Maktabah al-'Ashriyah, 1973, Vol. I).
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, At-Ta'rifat (Jeddah: Al-Haramain, tt.),
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987).
Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A'lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973)
MM Mursi, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Khairah: 'Alam al-Kutub, 1977).
As-Sayyid, Amin Ali, Fi Ilm al-Nahwi (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1986, Vol. I).
Umam, Chotibul. Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan