Jumat, 15 Januari 2010

DI BALIK BERAKHIRNYA POLIGAMI JAHILIYAH*

Pada zaman dahulu, ketika kaum perempuan tidak berdaya dan tidak memahami hak-haknya, poligami berlangsung terus dan berangsur-angsur menjadi tradisi, yakni tradisi hegemoni kaum lelaki. Sekarang, orang Islam yang berpoligami, hampir semuanya hanya karena menganggap bahwa Islam mengajarkannya dengan syarat ”adil”. Orang ’awam’ berani berpoligami dengan sembrono ‘mengotak-atik’ makna adil dengan maksud supaya bisa dianggap mampu berlaku adil. Kemampuan berlaku adil itu diartikan menjadi mampu memenuhi nafkah materi dengan kelanjutan eksploitasi kekayaan. Nabi Muhammad SAW tidak mengeksploitasi kekayaan untuk berpoligami.
Tradisi poligami kuno itu diluruskan oleh Rasulullah SAW. Poligami Nabi Muhammad SAW tidak berlawanan dengan al-Quran yang menyatakan tidak akan ada yang mampu berlaku adil dalam berpoligami. Nabi Muhammad SAW. mengaku tidak mampu berlaku adil di antara para isterinya dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Salah satu hikmah poligami Nabi adalah untuk memberikan informasi lugas dan ’praktis’ yang tidak bisa dibantah oleh umat manusia bahwa dalam berpoligami itu tidak akan bisa menghindar dari ketidakadilan. Adalah bohong besar kalau generasi sekarang yang berpoligami itu mengatakan mampu berlaku adil.
Nabi menjaga agar umatnya tidak melakukan ketidakadilan, maka Nabi tidak memerintah umatnya berpoligami. Apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai sunnahnya, tidak semuanya boleh dilakukan oleh umatnya kecuali yang diperintahkan. Nabi Muhammad SAW. wajib bertahajjud tiap malam, tetapi itu tidak diwajibkan bagi umatnya. Nabi beristeri lebih dari empat, tetapi ini tidak boleh dilakukan oleh umatnya karena tidak diperintah. Sangat jauh dari kebenaran generasi sekarang yang berpoligami dengan alasan melaksanakan sunnah Nabi.
Al-Quran tidak menjadikan ”adil” sebagai syarat poligami. Ini bukan berarti poligami diperbolehkan secara mutlak. Para budak itu dijadikan sasaran alternatif untuk berpoligami kalau tidak mau hanya menikah dengan satu saja perempuan yang merdeka. Pada tataran inilah poligami itu bisa terjadi tanpa resiko berlaku tidak adil. Meskipun demikian Islam tetap saja menganjurkan untuk memerdekakan para budak secara bertahap. Terhadap para budak saja sudah diperintahkan untuk memerdekakan, maka sangat tidak patut adanya upaya mengubah nasib status seorang perempuan yang merdeka menjadi sejajar dengan para budak, misalnya kalau perempuan merdeka itu dimadu atau dijadkan isteri kedua, ketiga atau keempat.
Pemberdayaan kaum perempuan yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah supaya kaum perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dengan menambah ilmu, utamanya pengetahuan yang khusus berkaitan dengan kaum perempuan. Pemberdayaan ini akan melahirkan banyak ahli, dokter dan tenaga medis lainnya dari kaum perempuan, sehingga tidak akan ada lagi masalah kesehatan pada aurat perempuan diurusi oleh kaum laki-laki dengan alasan darurat. Ini akan mewujudkan optimalisasi pengamalan syari’at Islam, yakni dapat menjaga keselamatan kaum muslimin dari maksiat meskipun darurat. Sebaliknya perlu dipahami dengan penuh keinsafan bahwa tidak akan ada tenaga ahli atau dokter perempuan kalau kondisi kaum perempuan masih sederajat dengan budak atau dipaksa menjadi budak dengan status dipoligami.
Kaum lelaki dan perempuan sama-sama hamba Allah SWT, mempunyai hubungan simbosis mutualisme. Hegemoni kaum lelaki adalah anugerah dari Allah SWT. untuk difungsikan dengan semestinya, yakni untuk menjaga hak-hak dan memberdayakan kaum perempuan. Selanjutnya kaum perempuan juga dapat meningkatkan derajat ketaqwaan kaum lelaki, yakni dengan mengingatkan agar menjaga diri dan menjauhi poligami dengan kaum perempuan yang merdeka. Ini hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah berani menegakkan haknya. Sebaliknya kaum perempuan tidak akan dapat mengingatkan kaum laki-laki kalau masih lemah dalam derajat budak dan belum diberdayakan oleh kaum lelaki. Ketika kaum perempuan sudah diberdayakan maka poligami tidak lagi ada dalam kamus Islam, sebagaimana hilangnya kasus perbudakan dalam Islam secara berangsur-angsur.
Seorang laki-laki yang telah menikah dan masih belum bisa merundukkan pandangannya dan membiarkan saja pandangannya terhadap yang maksiat, maka sesungguhnya perilaku ini tidak pernah masuk dalam sunnah Nabi. Kecenderungan untuk berpoligami pada akhir zaman ini sering kali bersumber dari pandangan mata yang liar ini. Dalam hal pandangan mata ini, Rasulullah SAW mengajarkan agar memohon pertolongan dari Allah SWT untuk tidak memiliki mata yang berkhianat, sebagaimana doa yang diajarkan berikut ini:
اللهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنَ النِّفَاقِ وَ عَمَلِيْ مِنَ الرِّيَاءِ وَ لِسَانِيْ مِنَ الكَذِبِ وَ عَيْنِيْ مِنَ الخِيَانَةِ فَإنَّكَ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَ مَا تُخْفِيْ الصُّدُوْرُ (رواه الحَكِيْمُ و الخَطِيْبْ عَنْ أم معبد الخزاعية)
(Ya Allah, sucikan hatiku dari kemunafikan, dan amalku dari riya’, dan lisanku dari dusta, dan mataku dari khianat. Sesungguhnya Engkau mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan dada) (HR Al-Hakim)
Kiranya demikian maksud hadis tersebut, yakni agar selalu terjaga dan tidak terlintas sedikitpun dalam benak umat Islam untuk berpoligami seperti poligami jahiliyah. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami ? (Surabaya: Jauhar, 2009), 116-120.

KEHEBATAN TOBAT DARI POLIGAMI*

Dikatakan sudah bertobat kalau sudah memenuhi syaratnya, yaitu sudah berhenti dari perbuatan yang ditobati, menyesali, dan berniat untuk tidak mengulangi lagi pebuatan itu. Kalau kesalahan yang ditobati itu bersangkutan dengan kedhaliman terhadap hak seseorang maka hendaknya mengembalikannya atau memberikan ganti rugi agar mendapatkan kehalalannya, atau biasanya memohon untuk dimaafkan tanpa memberikan ganti rugi sama sekali.
Permohonan maaf saja tanpa memberikan ganti rugi merupakan tindakan yang kurang dianjurkan. Rasulullah SAW mengajari untuk meminta kehalalan atas perbuatan dhalim yang merugikan sesamanya, bukannya langsung meminta maaf. Beliau bersabda:
من كانت عنده مظلمة لأخيه فليتحلله منها فإنه ليس ثمّ دينار و لا درهم من قبل أن يؤخذ لأخيه من حسناته فإن لم يكن له حسنات أخذ من سيّئات أخيه فطرحت عليه (عن أبى هريرة رضى الله عنه, رواه البخارى)
(Barang siapa yang pernah berbuat dhalim terhadap sesamanya hendaklah meminta dihalalkan sebelum datang hari di mana harta benda tak berharga lagi, sebab pada hari itu orang yang didhalimi akan diambilkan kebaikan dari orang yang mendhalimi sepadan dengan kedhalimannya dan bila kebaikan orang yang mendhalimi telah habis maka kejelekan orang yang didhalimi dibebankan kepada orang yang mendhalimi) (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Al-Quran tidak pernah memerintahkan untuk seenaknya saja meminta maaf pada sesama makhluk yang telah didhalimi, karena yang patut dimintai maaf dan tidak meminta ganti rugi hanyalah Allah, yang menciptakan makhluk yang didhalimi itu. Perlu dipahami juga bahwa memaksa orang yang bersalah supaya meminta maaf merupakan suatu kesombongan dan sekaligus kelemahan nalar. Al-Quran memerintahkan agar memberi kemaafan kepada sesama makhluk supaya menjadi orang bertaqwa (QS. Ali Imron/3: 134). Terhadap sesama umat manusia yang didhalimi maka hendaknya diperhitungkan kerugian yang diakibatkan dari kesalahannya itu, untuk diberikan ganti ruginya, agar kedhalimannya itu dapat dihapus atau sudah tidak lagi menjadi masalah dan terlupakan dengan adanya ganti rugi itu.
Kajian mengenai tobat dari poligami ini bukan hanya untuk tobat dari perlakuan setelah melakukan poligami, tetapi juga tobat dari anggapan keliru mengenai poligami. Kekeliruan pemahaman mengenai poligami selama ini sering dijadikan dasar untuk berpoligami dan seringkali menimbulkan pandangan negatif terhadap syariat Islam dari kelompok muslim yang masih awam dengan Islam dan juga dari kelompok militan nonmuslim yang sengaja menyerang Islam.
Tobat dari kesalahpahaman tentang poligami itu berkaitan dengan anggapan-anggapan yang selama ini diyakini sudah benar. Anggapan-anggapan tersebut adalah bahwa poligami itu amalan sunnah Nabi untuk ditiru umatnya dan anggapan yang memperbolehkan berpoligami dengan perempuan merdeka secara mutlak. Kalau pernah ikut-ikutan menyebarkan paham keliru tersebut maka tobatnya adalah menarik kembali paham itu dengan penjelasan yang semestinya.
Adalah kekeliruan yang fatal kalau beranggapan bahwa bolehnya berpoligami itu sesuai dengan ajaran berdoa, yaitu dengan mengucapkan kata “azwaaj”, sebagai bentuk jamak kata “zauj”. Doa itu berbunyi demikian:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أزْوَاجِنَا......
Kata “azwaajina” artinya pasangan-pasangan kita, diterjemahkan dengan suami-suami atau isteri-isteri kita. Maksudnya, masing-masing kita punya satu suami atau satu isteri, bukan masing-masing kita punya banyak isteri. Tidak mungkin ucapan doa itu dinyatakan dengan kata tunggal “zauj” (“hablana min zaujina”) yang disandarkan pada ”dlomir na”, karena artinya menjadi satu orang isteri atau suami sebagai pasangan kita bersama. Ini jelas salahnya.
Termasuk dalam tobat atas kekeliruan paham ini adalah tobat dari anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu kuat nafsunya sehingga boleh menikah lebih dari satu bahkan lebih dari empat. Anggapan itu tentunya berdasarkan pada perkiraan dirinya sendiri yang membayang-bayangkan betapa kuatnya bisa ’melayani’ isteri lebih dari empat. Senada dengan anggapan ini adalah anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu juga manusia biasa sebagaimana pada umumnya kaum lelaki itu mempunyai keinginan untuk berpoligami. Anggapan keliru demikian ini hanya muncul dari orang-orang yang tidak pernah mempunyai rasa hormat kepada Rasulullah SAW. Ini yang mesti ditobati.
Adapun tobat dari perbuatan keliru, yakni tobat dari berpoligami dengan para perempuan merdeka, maka tobatnya adalah tidak lagi berpoligami dengan perempuan merdeka. Bertobat dari berpoligami bisa saja dengan cara menceraikan isteri-isterinya sehingga tinggal satu. Diutamakan yang satu itu adalah isteri yang pertama yang pernah dimadu sehingga benar-benar tobat dari perilaku menyakiti atau memadu isterinya itu. Alasan menceraikannya hanyalah tobat agar tidak lagi berbuat ketidakadilan atau kedhaliman untuk menuju pada ketaqwaan. Sakitnya seorang perempuan yang dicerai setelah dijadikan isteri muda tentu tidak lebih sakit dari pada isteri pertama ketika mulai dimadu.
Termasuk dalam tobat dari berpoligami ini adalah tobat dari perbuatan menipu isterinya yang pertama selama itu dan membuat tidak aman dari dimadu. Berita tentang diri seorang suami yang sudah berpoligami sering kali isteri pertama itu ikut menutup-nutupi dalam rangka agar kehidupan keluarganya tidak berantakan. Ini sering kali tidak dipahami oleh suami yang berpoligami. Usaha yang berat dari ‘isteri tua’ itu perlu dihilangkan, yaitu dengan kembali lagi bermonogami. Alasannya agar tidak memberatkan beban mental si ‘isteri tua’ yang terus menerus menanggung malu seolah-olah tidak mengetahui. Demikian ini bisa menjadi cibiran dari perempuan-perempuan yang lain, bahwa ‘isteri tua’ itu menjadi pemandangan yang menyedihkan yang perlu dikasihani.
Dalam tobat dari poligami ini ada tobat terhadap perempuan yang baru dinikahi yang menurut anggapannya ditolong, padahal niat sebetulnya hanyalah ingin memenuhi nafsu egoisnya saja. Jadi ketika berpoligami itu bukan hanya menipu ‘isteri tua’ saja tetapi juga menipu isterinya yang baru. Nikah poligaminya itu sering kali hanya didorong oleh nafsu. Ini berbeda dari nikah dengan isteri yang pertama yang tidak hanya didahului dengan nafsu, tetapi setidak-tidaknya dengan isteri pertama pernah ada upaya untuk saling membahagiakan.
Selanjunya untuk mendapatkan kehalalan dari isteri yang bersedia diceraikan itu maka perlu kiranya diperhitungkan kebutuhannya nanti setelah diceraikan, yakni dengan cara menjadikan isteri yang akan dicerai itu bisa mandiri setelah dicerai. Dengan demikian perceraiannya itu tidak menjadi suatu aniaya dan justru timbul keinsafan bahwa itu adalah jalan bertobat untuk menuju kebaikan dunia-akhirat. Begitu juga si ‘isteri mudanya’ itu akan insaf bahwa selama ini dia telah menyakiti isteri yang dimadu.
Keikhlasan suami dalam bertobat itu bisa saja akan memunculkan keikhlasan juga dari semua isteri-isterinya dan khususnya isteri pertama yang dimadu. Bisa saja isteri yang pertama justru akan memberikan kerelaan kepada suaminya untuk tidak menceraikan isteri-isterinya yang lain, yakni tetap saja berpoligami. Bisa jadi karena tobat itu, maka yang muncul adalah kerelaan dari para isterinya untuk berbagi hak.
Dengan tobat yang ikhlas itu boleh jadi akan tetap berpoligami tetapi dengan poligami yang penuh kerelaan. Hanya kerelaan itulah yang bisa menghapuskan ketidakadilan. Pernikahan poligami yang penuh dengan kerelaan ini selanjutnya akan menjadi pernikahan yang bukan untuk memenuhi kebutuhan biologis fisik dan juga tanpa ada tuntutan keadilan yang tidak akan mungkin dapat terpenuhi, tetapi semua isteri akan menjadi satu keluarga yang saling merelakan di antara sesama, saling memaafkan dengan berjiwa besar. Semua ini bisa muncul karena kehebatan dan keindahan tobat suami yang tulus ikhlas.
Poligami yang terlanjur karena kekeliruan pemahaman tentang poligami ini diingatkan agar tidak terlalu cenderung kepada salah satu isterinya supaya isteri yang lainnya tidak terkatung-katung. Dengan demikian dapatlah dimengerti maksud surat al-Nisa’ ayat 129 yang artinya demikian:
(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) (QS. An-Nisa’/4: 129).
Ayat tersebut kelihatan membolehkan poligami dengan bukti adanya larangan untuk tidak terlalu cenderung kepada salah satu isterinya. Namun tentu saja ayat tersebut mesti dipahami bahwa poligaminya itu karena kekeliruan sebelumnya yang menganggap bahwa dirinya itu mampu untuk berbuat adil. Hal ini dapat dipahami dari akhir ayat tersebut yang mengajak untuk memelihara diri dari kecurangan atau berlaku tidak adil dalam berpoligami.
Tobat ini mesti dilaksanakan karena sudah dipahami bahwa para isteri sudah meresa dikurangi haknya dan merasa didhalimi. Tampak jelas disini bahwa Islam mengangkat derajat kaum perempuan yang semula tidak dihargai selanjutnya diberikan hakhaknya. Tidaklah seorang suami itu dapat dikatakan mulia kecuali kalau memuliakan isterinya, dan tidaklah seorang suami itu adalah seorang yang hina atau pengecut kecuali yang menghinakan isterinya. Demikian sabda Rsulullah SAW. yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA (HR. Al-Hakim)
Lain masalahnya kalau keadaan kaum perempuan dalam masyarakat itu tidak memahami dan tidak mempermasalahkan haknya, sehingga mereka rela dimadu. Kerelaan isteri itu merupakan kunci utama dalam menghilangkan kedhaliman atau ketidakadilan poligami. Dari sini dapat dipahami apa yang direkomendasikan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia BAB IX pasal 58 ayat 1-2, bahwa kaum lelaki yang ingin berpoligami harus mendapat ijin dari isterinya secara lisan atau tertulis. Tentu saja ijin dari isteri itu dengan suka rela, tanpa reka yasa agar para suami terpelihara menjadi orang yang makin bertaqwa.
Demikian kiranya maksud surat al-Nisa’ ayat 3, dan ayat 129, yakni untuk membimbing umat manusia, khususnya kaum lelaki, agar sampai pada derajat ketaqwaaan yang tinggi, dengan cara memuliakan kaum perempuan, secara bertahap, halus dan indah sehingga pada saatnya nanti, ketika kaum perempuan sudah berdaya, syariat Islam dapat dipahami dengan benar dan diamalkan dengan sempurna.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009),107-115.

Jumat, 08 Januari 2010

POLIGAMI RAHMATAN LIL’ALAMIN*

Rasulullah SAW diutus dalam rangka menyebarkan kasih sayang Allah SWT. kepada alam ini. Segala perilaku Rasulullah SAW. juga berada dalam rangka menyebarkan kasih sayang itu. Tugas yang demikian suci, mulia, dan agung itu tidak layak terkotori oleh perilaku beliau secara pribadi. Beliau sangat berkonsentrasi pada tugas demikian. Beliau menikah lebih dari satu kali, tentu saja tidak mungkin untuk memenuhi kepuasan biologis ataupun psikologis, tetapi tentu saja untuk melaksanakan tugas rahmatan lil alamin itu,
Sebelum pernikahannya yang pertama, Muhammad yang berumur 25 tahun itu tidak menghabiskan waktu untuk mencari-cari perempuan yang cocok untuk menjadi isterinya. Muhammad dilamar melalui pamannya oleh Khadijah binti Khuwailid untuk sudi menjadi suaminya. Muhammad sebagai pedagang kepercayaan Khadijah tidak akan mungkin berperilaku kurang sopan terhadap Khadijah. Akhlaq Muhammad sangat terpuji. Pandangan mata beliau tidak liar dan tidak mungkin bernuansa syahwat.
Kalau saja ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin Muhammad tidak mencuri-curi pandangan terhadap Khadijah, sebagai juragannya waktu itu, maka ini adalah anggapan yang muncul dari orang yang kebiasaannya seperti itu dan tidak tahu bahwa sampai sekarang ini saja, pada zaman akhir ini, masih banyak laki-laki yang tidak mengumbar pandangan syahwat terhadap perempuan bukan mahramnya, apa lagi Muhammad yang dipersiapkan untuk menjadi seorang Rasul. Jadi beliau tidak akan mungkin bertindak seperti anggapan yang keliru itu.
Sebelum diangkat sebagai Rasulullah, Muhammad tidak terkotori jiwanya dengan nafsu birahi. Pada pernikahan pertama itu saja Muhammad tidak melihat-lihat wajah calon isterinya, seorang perempuan yang belum sah menjadi isterinya. Sungguh suci pandangan beliau. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan beliau berikutnya tidak akan mungkin disebabkan oleh nafsu birahi melalui pandangan mata, apa lagi beliau ketika berpoligami itu sudah bergelar Rasulullah. Dengan demikian maka perlu bagi umatnya yang ingin mengikuti sunnah Nabi untuk mengetahui alasan-alasan pernikahan beliau yang semestinya.
Menggali alasan pernikahan Nabi yang sebenarnya tidak mudah karena beliau tidak menjelaskan dengan langsung. Tetapi untuk sampai dapat menemukan alasan yang mendekati kebenaran sangat diperlukan, setidak-tidaknya alasan itu tidak bersumber dari prasangka buruk (su’u al-dhon) yang dituduhkan oleh musuh-musuh Islam. Lebih naïf lagi kalau umat Islam sendiri yang memiliki prasangka buruk kepada Rasulullah SAW, misalnya dengan membenarkan tuduhan orang kafir itu yang menganggap pernikahan-pernikahan beliau itu untuk kepuasan biologis, atau ikut membenarkan bahwa nafsu beliau itu sangat kuat sehingga isterinya banyak.
Memahami poligami Nabi diperlukan daya nalar yang luas dan daya kritis yang kuat sehingga menghasilkan daya pikir yang jernih. Di samping untuk menggali alasan yang benar dan untuk itba’ (mengikuti dengan total) pada Nabi, kajian mengenai pernikahan Rasulullah SAW berikut ini sangat perlu untuk dikemukakan secara rinci dengan analisis yang memadai, sampai terbuka hikmah poligami Rasulullah SAW. Selanjutnya poligami Nabi itu menjadi pedoman bagi umatnya.
1. Pernikahan Baginda Muhammad dengan Khadijah.
Sejarah menerangkan bahwa pernikahan Baginda Muhammad dengan Khadijah itu adalah bermula dari keinginan Khadijah binti Khuwailid yang disampaikan kepada paman Baginda Muhammad. Beliau menikahi Khadijah itu karena menjawab lamaran/pinangan Khadijah kepada beliau. Sebelumnya Khadijah melihat cara berdagang Baginda Muhammad ke Syam dan mendengar cerita tentang keajaiban-keajaiban beliau dari ghulam (pembantunya). Dengan dasar ini maka setelah Muhammad menjadi rasul pernikahan berikutnya jauh dari tujuan pemuasan nafsu biologis.

2. Pernikahan Nabi dengan Saudah RA.
Pada bulan saat Khadijah RA wafat, Nabi Muhammad SAW. menikahi Saudah binti Zam’ah al-‘Amiriyah al-Qurasyiah. Beliau memilihnya waktu itu umur Saudah sudah terlalu tua untuk sendirian menghadapi kesulitan hidup ini. Alasan utama pernikahan Nabi itu adalah untuk kemaslahatan dakwah. Demikian ini karena Saudah sudah beriman dalam kelompok al-Sabiqat. Dia beriman berlawanan dengan kerabatnya dan anak pamannya dan dia hijrah beserta suaminya ke Habasyah bersama muhajirin (para pengungsi) gelombang dua. Ketika suaminya meninggal fi sabilillah setelah kembali dari hijrah, tinggallah Saudah sendirian tanpa saudara/keluarga untuk tempat kembali kecuali kembali kepada keluarganya dengan terpaksa. Keterpaksaan itu bahaya yang tidak disukai karena kembali kepada keluarga yang tidak beriman dan atau akan dikawinkan dengan orang yang tidak sekufu (setara). Maka Saudah dipilih sebagai istri Rasulullah SAW. untuk dijaga dari bahaya tersebut, yakni bahaya berupa ancaman terhadap keimanan.

3. Pernikahan Nabi dengan Aisyah RA
Rasulullah SAW beraqad nikah pada Aisyah RA. di Mekkah sebelum hijrah. setelah wafatnya Khadijah dan setelah pernikahan dengan Saudah selama tiga tahun. Baru setelah hijrah Rasulullah SAW. serumah dengan Aisyah RA di Madinah. Ketika itu umur Rasulullah SAW 53 tahun. Rasulullah SAW. menikah dengan ‘Aisyah di Mekkah, dan mereka tidak langsung serumah. Menurut beberapa riwayat, Nabi memanggil Aisyah ke rumah Nabi di Madinah pada bulan syawwal tahun 1 H, ketika itu Aisyah berumur 9 tahun. Selisih usia yang jauh ini bukan hal baru atau aneh di kalangan masyarakat Arab. Mereka mempunyai kebiasaan seperti itu, sebagaimana banyak diceritakan dalam berbagai literatur.
Aisyah RA. ketika dinikahi masih kecil. Kalau saja wajahnya dilihat oleh Nabi ketika itu maka tidak mungkin menampakkan daya tarik syahwat, apalagi terjadi percintaan, sangatlah tidak mungkin. Setelah Aisyah dinikahi baru ada mawaddah dan rahmah. Cinta dan kasih itu dibangun ketika sudah menikah. Cinta kasih demikian sangat suci dan jauh dari maksiat. Sungguh suci amal dan akhlaq Nabi Muhammad SAW. Apa yang diamalkan oleh Nabi ini jarang menjadi dasar bagi generasi berikutnya, sehingga ada yang punya ijtihad membolehkan melihat-lihat dulu ’sepuasnya’ perempuan yang akan dinikahi. Ini perlu ditinjau kembali karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Semoga segera diinsafkan orang yang menyetujui ijtihad itu dengan alasan apapun.

4. Pernikahan Nabi SAW dengan Hafshoh RA
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Hafshoh binti Umar RA. setelah wafat suaminya yang bernama Hunais bin Hudzafah setelah perang badar. Umar bin Khattab menawarkan anaknya yang janda itu kepada Abu Bakar al-Siddiq dan dia diam saja, kemudian Umar menawarkan kepada Utsman bin Affan RA dan demikian juga dia diam saja. Kemudian Umar RA menyampaikan kesedihannya kepada Rasulullah SAW. atas anaknya yang janda itu. Mendengar kesedihan itu maka Baginda Nabi bersabda: „Segera ada orang yang mengawini Hafshoh lebih baik baginya dari pada Abu Bakar dan Utsman“. Kemudian Baginda Nabi melamarnya untuk dinikahi. Umar bin Khattab RA berkata kepada anaknya, Hafshoh: „Aku tahu bahwa Rasulullah SAW. tidak menikahi kamu kecuali karena aku, karena kamu tidak punya kecantikan yang menjadi alasan Baginda Rasul untuk menikah denganmu”. Rasulullah SAW menikahi Hafshoh bukan setelah melihat-lihat wajahnya tetapi karena Hafshoh menjadi janda dan menyebabkan kesedihan Umar RA yang sudah setia menjadi sahabat Rasulullah SAW.

5. Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah
Ummu Salamah adalah Hindun binti Abi Umaiyah RA. Suami Ummu Salamah bernama Abdullah al-Makhzumi) telah wafat. Anak paman Ummu Salamah sendiri itu terluka pada perang Uhud dengan luka yang mematikan, sehingga Ummu Salamah sendirian tanpa keluarga yang melindunginya. Maka Rasulullah SAW. melamar karena untuk melindunginya. Sesungguhnya Ummu Salamah itu kahlatan masannatan (sudah tua) usianya kurang lebih 50 tahun, maka dia keberatan pada Nabi Muhammad SAW. karena merasa sudah terlalu tua. Dia berusaha untuk melepas diri dari lamaran itu, maka Rasulullah SAW. bersabda kepadanya: „Mintalah pada Allah agar Allah memberi pahala kamu sebagai musibahmu itu dan mengganti untukmu yang lebih baik”. Dia menjawab: „Siapa yang lebih baik bagiku dari Abu Salamah (Abdullah al-Makhzumi)?”. Maka Rasulullah SAW. melurusakan jalan pikiran Ummu Salamah dan menyiapkan untuknya lamaran sehingga Ummu Salamah menerima.

6. Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah Binti Sufyan
Ummu Habibah telah masuk Islam dan meninggalkan ayahnya dengan hijrah beserta suaminya ke Habasyah. Ketika suaminya wafat tinggallah ia di rumah yang asing tanpa keluarga yang bisa melindunginya. Setelah Rasulullah SAW mendengar itu maka beliau menyelamatkannya dari fitnah atau aniaya dalam hal agama bila dia dipaksa kembali kepada ayahnya. Maka Rasulullah SAW mengirim utusan ke Najasyi (Ambrotur al-Habasyah) mencarinya untuk dinikahi. Rasulullah SAW. dengan pernikahan itu bertujuan agar dapat mengadakan hubungan baik dengan Abu Sufyan, salah satu pembesar Quraisy, dari hubungan permusuhan menjadi kecintaan dan kesayangan (mawaddah). Dan berhasillah apa yang diharapkan itu yaitu dengan masuknya Abu Sufyan ke agama Islam menjelang Fathu Makkah.

7. Pernikahan Nabi dengan Juwairiyah binti Haris bin Dliror
Nama asli Juwairiyah adalah Barroh. Setelah dinikah oleh Rasulullah SAW diberi nama Juwairiyah. Ayahnya adalah kepala suku (Sayyid) bani Mustholiq. Dia itu yang mengumpulkan banyak orang untuk me-merangi Rasulullah SAW. tetapi mereka kalah dan terusir. Di antara mereka ada yang bersembunyi dan ada yang tertawan. Dalam tawanan itu ada Juwairiyah yang terkena undian menjadi bagian atau milik Tsabit bin Qais untuk menjadi budak. Tsabit mewajibkannya sembilan keping emas maka Juwairiyah tidak mampu dalam posisinya itu untuk digadaikan, maka ia datang kepada Rasulullah SAW. dan menceritakan hal itu dan ia meminta kebebasannya setelah menerangkan nasab dan kedudukan ayahnya.
Rasulullah SAW. ingat kedudukan keluarga Juwairiyah yang semula kuat dan mulia tetapi sekarang menjadi hina karena perlawanannya. Rasulullah SAW melihat ada hikmah di situ, yaitu mengatur siasat dengan memperbaiki hubungan dengan mereka. Kemudian beliau menikahi Juwairiyah, maka suku bani Mustholiq banyak yang masuk Islam dan sungguh-sungguh tekun dalam Islamnya.

8. Pernikahan Nabi dengan Shofiyah
Shofiyah binti Hayyi (Jubay) bin Akhthob, dia itu ketua suku bani Quroidhoh dari (keturunan Nabi Harun saudara Nabi Musa AS). Shofiyah jatuh jadi budak (tawanan) setelah suaminya yang beragama Yahudi terbunuh dalam perang Khoibar. Diriwayatkan bahwa seseorang dari sahabat Nabi berkata: „Wahai Rasulullah, sebetulnya dia itu nyonya (ketua suku) Quroidhoh, tidak pantas kecuali untuk Engkau, maka Baginda Nabi menganggap baik pandapat itu dan tidak melihat kemaslahatan kalau tahu bahwa wanita itu ada dalam kehinaan perbudakan menurut orang yang melihatnya. Nabi memberikan pilihan dengan membebaskannya, mengikuti keluarganya atau memilih menjadi isteri Nabi. Menurut riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, maka dia itu memilih menjadi isteri Nabi. Pengaruh nikah demikian itu menyebabkan hilangnya permusuhan/perlawanan Bani Quroidhoh dan menjadi baik dengan Rasulullah SAW sebab menjadi keluarga.

9. Pernikahan Nabi dengan Zainab
Zainab binti Jahsy bekas isteri Zaid bin Haritsah (budak Nabi). Ada kebiasaan buruk di masa jahiliyah dalam mengangkat anak. Allah SWT. menerangkan bahwa hukum anak angkat itu boleh dinikahi, bukan termasuk mahram karena bukan anak sendiri. Allah SWT berfirman:
......وَ مَا جَعَلَ أدْعِيَاءَكُمْ أبْنَاءَكُمْ ......
(Dan Dia tidak menjadikan anak–anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri.) (QS. Al-Ahzab: 4).
Nabi membeli Zaid bin Haritsah pada masa jahiliyah di pasar Ukkadh, kemudian dibebaskan dan dijadikan anak angkatnya, kemudian Nabi mau mengawinkannya dengan Zainab anak bibinya Aminah binti Abd al-Muttholib, tetapi Zainab menolak dan mengatakan: “Aku ini anak bibimu wahai Rasulallah, maka aku tidak rela kalau dia (Zaid) untukku”. Demikian juga saudaranya, Abdullah bin Jahsy, tidak rela bila dengan Zaid, maka turun surat Al-Ahzab (33) ayat 36, agar menuruti perintah Nabi.
Setelah beberapa waktu Zaid menikah dengan Zainab, datanglah Zaid kepada Nabi dan mengatakan akan menceraikannya. Ditanya oleh Nabi Muhammad SAW: “Ada apa kamu, apakah kamu melihat sesuatu dari Zainab? Zaid menjawab: Aku tidak melihat darinya kecuali kebaikan, tetapi dia itu agung bagiku karena kemuliaannya (lisyarafatiha), dan itu menyakitkanku dan melukai hatiku”. Nabi bersabda: “Pertahankan isterimu dan takutlah kepada Allah SWT. jangan kamu ceraikan, atau jangan kamu cela dia dan jangan kamu lukai nikahmu”. Namun Zaid tetap menceraikannya. Setelah selesai iddahnya maka Nabi diperintah untuk menikahi Zainab sebagai pelajaran praktis bahwa bekas isteri anak angkat itu boleh dinikahi, sebagaimana firman Allah (QS. Al-Ahzab/33: 37).
Dengan demikian pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy pada bulan Dzul Qa’dah 5 H. itu adalah atas perintah Allah SWT. Pernikahan itu untuk menunjukkan bahwa tradisi Arab yang tidak mengijinkan menikah dengan bekas isteri anak angkatnya itu adalah keliru. Jadi pernikahan ini sangat jauh dari keperluan untuk memenuhi kebutuhan biologis.

10. Pernikahan Nabi dengan Maria dari Mesir
Tahun ke 10 H Gubernur Mesir mengirimkan seorang hamba sahaya perempuan bernama Maria ke Madinah untuk melayani Rasulullah SAW. Maria segera mendapat tempat dalam rumah tangga Rasulullah SAW. Dari Maria Nabi mendapatkan anak bernama Ibrahim. Ibrahim lahir ketika Rasulullah SAW berusia sudah lanjut, yakni lebih dari 60 th. Nabi sangat mencintai anaknya itu.
Allah berfirman yang artinya: “Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa” (QS 42: 49-50). Ayat ini menunjukkan bahwa isteri-isteri Nabi itu mandul dan yang ini (Maria) tidak mandul.
Muhammad Husain Haykal menulis: “Ketika Maria melahirkan Ibrahim, Muhammad SAW mendapatkan kegembiraan besar. Karena kelahiran sang bayi kedudukan ibunyapun makin bertambah baik. Muhammad SAW kini menjadikan Maria sebagai isteri yang sah. Sesungguhnya ia seperti seseorang yang sedang menikmati kedudukan yang diidam-idamkan. Ibrahim wafat dalam usia 10 bulan.

11. Pernikahan Nabi dengan Maimunah
Pernikahan Nabi dengan Maimunah dilaksanakan di Mekkah ketika Rasulullah SAW sedang melakukan Umratul Qadha’. Maimunah binti al-Harits al-Hilali al-‘Amiri. Dia itu dikuasai Mas’ud bin ‘Amr al-Tsaqafi pada masa jahiliyah kemudian diceraikannya, dan dinikahi oleh Abu Rahm dan kemudian Abu Rahm meninggal. Maimunah adalah seorang janda bersaudara dengan Ummul Fadhal, isteri Abbas. Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW melalui Abbas. Untuk membuat hubungan baik dengan pihak Quraisy maka Nabi menerima dan menikahinya. Dia itu isteri Rasulullah SAW yang terakhir. Dalam pernikahan ini ada hikmah yaitu penyebaran hukum-hukum agama dan dakwah.
Semua pernikahan Nabi, termasuk dengan Khadijah RA, tidak berawal dari pandangan mata duniawi yang diselimuti dengan syahwat. Pernikahan-pernikahan Rasulullah SAW merupakan pemberdayaan dan peningkatan kaum perempuan sehingga bisa mencapai derajat paling terhormat. Sebagai ummu al-Mukminin, para isteri Nabi ikut mengemban misi pada tingkat paling tinggi, yakni tabligh agama Islam. Jadi secara khusus berkaitan dengan pemberdayaan kaum perempuan, maka poligami Nabi adalah poligami rahmatan li al-‘alamin. bukan poligami yang dicari-carikan alasannya agar dianggap tidak melanggar ajaran Islam.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 93-106.

PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN Vs POLIGAMI*

PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN Vs POLIGAMI*

Kekuasaan kaum lelaki terhadap kaum perempuan hanya karena ditopang dengan kekuatan fisik dan materi atau kekayaan dan kadang-kadang dengan kekuatan spiritual. Hegemoni kaum lelaki yang tidak dibendung ini berangsur-angsur bisa menciptakan tradisi ketidakberdayaan kaum perempuan, sebagaimana pernah terjadi di jazirah Arab sebelum Islam diturunkan, dan juga di daerah atau wilayah lainnya yang masih berhukum rimba. Pada keadaan seperti itu poligami dengan perempuan yang merdeka menjadi suatu hal yang biasa, tidak ada halangan, dianggap sebagai suatu keniscayaan dan bahkan dipertahankan.
Sudah sekian tahun dan sekian abad lamanya kebiasaan poligami itu menjadi sebuah tradisi bagi sebuah komunitas tertentu. Poligami hanyalah salah satu tradisi yang lahir dari hegemoni kaum lelaki. Tradisi ini dikemas menjadi sebuah budaya. Hegemoni masyarakat dengan ’budaya’ poligami ini terus dipertahankan bahkan disebarkan kepada masyarakat lainnya. Masyarakat beragama yang bersentuhan dengan ’budaya’ poligami tersebut ada yang menerima. Penerimaan ’budaya’ poligami ini karena cocok dengan sifat kaum lelaki yang berkeinginan untuk ikut menikmati hegemoni itu, ikut-ikutan mempertahankan dan bahkan mecarikan legalitasnya dari agama.
Al-Quran (QS. al-Nisa/4: 3) dengan pemaksaan makna secara apriori dijadikan dasar bolehnya berpoligami. Jadilah poligami dianggap sebagai ’sunnah’ Nabi. Ini jauh dari maksud ayat itu secara utuh. bahkan bertentangan. Surat al-Nisa (QS/4: 3) itu memperingatkan agar umat Islam meninggalkan ketidakadilan, yakni menikahi anak (perempuan) yatim yang berada dalam kungkungannya atau menikahi banyak perempuan yang merdeka. Agar adil dan dekat dengan ketaqwaan maka umat Islam diperintahkan menikah dengan satu saja perempuan yang merdeka atau boleh lebih dari satu perempuan yang menjadi budaknya. Jalan keluar berpoligami dengan para budak ini merupakan peringatan tegas dan praktis agar kaum lelaki memberdayakan kaum perempuan.
Seorang budak pada masa jahiliyah tidak diperhatikan hak-haknya seperti benda mati, tidak diperhatikan adanya hak untuk mencintai dan dicintai, sehingga dianggap pula tidak mempunyai hak untuk diperlakukan dengan adil. Para perempuan merdeka yang mau dimadu ketika itu juga tidak sempat memikirkan hak-haknya sebagai isteri, karena sudah terbiasa dan bahkan dibiasakan untuk tidak perlu berhak sepenuhnya mencintai suaminya, tetapi cukup menerima kedatangan suami dengan segala tingkah polanya, itu saja.
Hak-hak kaum perempuan merdeka dikurangi dan bahkan dibagi dengan isteri-isteri lainnya. Demikian ini karena mereka sudah terbiasa ’diidentikkan’ dengan budak yang tidak berdaya. Bisa jadi para perempuan merdeka yang mau dimadu itu karena terpaksa. Mereka merasa dan tahu bahwa haknya dikurangi tetapi tidak berani menuntut. Ini sering terjadi karena besarnya kekuasaan kaum lelaki yang tidak terbendung.
Mengubah kondisi kaum perempuan dari ketidakberdayaan menjadi komunitas yang berdaya, mandiri dan benar-benar merdeka tidaklah semudah membalikkan tangan. Islam diturunkan, salah satunya adalah untuk ini, yakni untuk memuliakan kaum perempuan dengan mengembalikan hak-hak sepenuhnya, yang semestinya untuk apa kaum perempuan itu diciptakan sebagai hamba Allah sehingga bisa mengembangkan fungsinya sebagai kholifah di bumi, meneruskan tugas Rasulullah SAW, khususnya untuk kemaslahatan dan terjaganya kemuliaan aurat kaum perempuan.
Perubahan yang dilaksanakan secara Islami tidak akan menimbulkan kerusakan. Perubahannya tidak drastis. Ini tidak mudah karena tidak semua umat Islam memahami, lagi pula adanya keinginan untuk mempertahankan hegemoni kaum lelaki. Pada tataran ini maka yang terjadi adalah pergulatan pemikiran yang apabila tidak mendapat hidayah bisa timbul fanatik buta, tanpa memahami kekeliruannya bahwa tradisi poligami ini bukan produk ajaran Islam. Ini tidak mudah dipahami oleh kaum awam. Praktek berpoligami yang berasal dari hegemoni kaum lelaki itulah yang dapat disamakan dengan perbudakan. Kaum perempuan merdeka dipaksa untuk mau dimadu sehingga sama saja dengan dipaksa untuk menurunkan status derajatnya menjadi sama dengan budak.
Begitu kuatnya hegemoni kaum lelaki sampai-sampai ada yang berani menyatakan bahwa menentang poligami adalah menentang syariat Islam, dan menentang syariat Islam berarti menentang Allah. Pernyataan ini tidak punya dasar. Belum dipahami bahwa poligami itu bukan produk ajaran Islam. Begitu takutnya seorang perempuan yang dimadu sehingga tidak berani menuntut, ia hanya mengeluh. Namun tampak jelas di balik keluhan itu ada kesakitan yang sangat pedih. Keluhan itu dimunculkan oleh seorang perempuan yang dimadu oleh seseorang yang ditokohkan. Demikian keluhannya:
”Mulanya saya sempat bertanya, apa yang kurang dari diri saya, sehingga Aa (suaminya, pen.) melirik perempuan lain?” ... ”Reaksi saya waktu tahu Aa mau kawin lagi sama seperti reaksi wanita pada umumnya, kaget, sedih. Tapi, lama-kelamaan saya mengerti, Aa tidak bermaksud menyakiti saya. Saya ingin seperti Khadijah, isteri Rasulullah.”
Boleh jadi perempuan itu tidak mau menentang suaminya karena mempertimbangan bahwa anaknya sudah banyak dan kasihan pada karir suaminya yang sudah terlanjur menjadi orang yang ditokohkan. Demikian berat beban penderitaan perempuan yang dimadu itu. Kepedihan itu lebih tampak lagi ketika dia berharap menjadi seperti Khadijah RA, yang meninggal lebih dulu sehingga tidak tahu suaminya berpoligami. Adalah suatu perjuangan berat untuk mengatakan bahwa suaminya itu tidak bermaksud menyakiti dirinya, karena semua sadar dan tahu bahwa tidak ada orang berpoligam itu untuk menyenangkan isteri yang dimadu.
Tradisi poligami tidak akan mendapat tempat di dalam masyarakat yang mana kaum perempuannya sudah mandiri, setara dengan laki-laki, sama-sama berhak dan berani untuk menuntut haknya sebagai isteri untuk dicintai sepenuhnya, sebagaimana suami yang juga punya hak yang harus dipenuhi oleh para isteri. Ketakutan untuk menuntut hak demikian itu tidak layak dikembangkan dalam masyarakat Islam, yang mengusung egalitarian dan karena memang segala macam tindakan yang menyakitkan hati bukan dari Islam, bahkan lawan Islam.
Seorang perempuan bukan untuk dijadikan sebagai sasaran mengumbar nafsu egois, termasuk nafsu untuk menguasai sesama manusia makhluq Allah. Sebaliknya, perlu dikembangkan keberanian yang berarti pemberdayaan para perempuan untuk ikut serta menegakkan syariat Islam. Sayang sekali, perempuan yang tidak mau dimadu dianggap menentang syariat Islam. Anggapan demikian justru yang menentang Islam, karena sebenarnya perempuan itu diberi hak untuk menolak pengurangan haknya, bahkan terhadap pernikahan itu sendiri perempuan diberi hak untuk menolak.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa seorang gadis (perawan) mempunyai hak untuk menolak dinikahkan. Tandanya bahwa gadis itu menolak adalah kalau menyatakan dengan tegas sebagaimana kebalikannya ketika menerima atau mau dinikahkan tandanya adalah diam. Rasulullah SAW bersabda:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم لا تُنكَحُ الأيِّمُ حتّى تُسْتأمَرَ و لا تُنْكَحُ البِكرُ حتّى تُسْتأ ذَ ن قالُوْا يا رسول الله و كيف إذْنُها ؟ قالَ أنْ تَسْكتَ- متفق عليه
(Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata: ”Rasulullah SAW bersabda, perempuan janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum dimintai ijinnya. Sahabat-sahabat lalu bertanya: ”Bagaimana cara ijin perempuan itu ya Rasulallah? Beliau menjawab: ”Diamnya itu tanda ijinnya” (HR. Bukhori- Muslim)
Sabda Rasulullah SAW tersebut di atas menunjukkan bahwa pemaksaan terhadap seorang gadis untuk dinikahkan bukanlah akhlaq Islami dan perlu ditolak. Ini artinya, segala bentuk kedhaliman itu mesti dijauhi sekecil apapun, utamanya terhadap kaum perempuan.
Ada juga pemahaman awam bahwa pemaksaan terhadap kaum perempuan dalam hal pernikahan itu dibolehkan dengan alasan ada istilah wali mujbir. Kalau pemahaman awam yang demikian itu dijadikan pedoman, maka apalah gunanya Rasulullah SAW bersabda sedemikian itu? Apakah pemahaman awam itu mengalahkan hadis dan hadis Nabi itu diabaikan begitu saja? Mengabaikan sebuah hadis sama halnya dengan ingkar al-sunnah. Mulai kapan adanya istilah wali mujbir itu? Apa sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW? Menyadari hal ini, kiranya perlu ada peninjuan kembali terhadap istilah wali mujbir yang selama ini di legalkan atas nama agama bahkan dalam masyarakat yang kaum perempuannya sudah mendapatkan kemandirian. Pemberian ijin untuk pernikahan dari kaum perempuan itu menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW sangat memperhatikan hak-hak segenap hamba Allah.
Memang pada umumnya hak itu harus diambil bukan sebagai sebuah hadiah yang ditunggu untuk diberikan. Akan tetapi mesti dipahami oleh kaum lelaki yang cerdas dan insaf bahwa sifat dasar pasif kaum perempuan itulah yang menyebabkan mereka tidak akan mengambil ataupun menuntut haknya. Disinilah tugas kaum lelaki untuk memberikan hak tersebut dengan penuh hormat.
Penyerahan hak kaum perempuan itu tidak harus menunggu diminta. Kaum lelaki yang cerdas itulah yang mesti memahami hal demikian, sebagaimana Allah SWT mengajarkan melalui firmanNya:
وَفِى أمْوَالِهِمْ حَقُّ لِلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ - الذاريات
(Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan untuk orang miskin yang menjaga diri tidak meminta-minta) (QS. 51:19).
Demikian juga, kaum perempuan, dengan sifat dasarnya yang pasif itu, tidak akan meminta haknya karena menjaga kehormatan dirinya.
Kepasifan kaum perempuan itu bukan berarti boleh ’diinjak-injak’ seenaknya dengan alasan karena yang pasif sebenarnya juga senang dijadikan obyek. Suatu pemahaman yang naif, karena pemahaman demikian ini ujung-ujungnya adalah bahwa pernikahan itu menjadi perbudakan. Banyak alasan awam lagi bahwa perempuan itu sendiri yang ingin dipasifkan sesuai dengan sifat dasarnya, bisa dan boleh dinikahi seenaknya meskipun haknya dikurangi. Inilah perbudakan. Perbudakan adalah musuh Islam.
Pemahaman mengenai sifat dasar perempuan yang pasif itu perlu diluruskan. Kepasifan kaum perempuan adalah untuk ditolong, ditegakkan, dan dilindungi karena begitu besarnya jasa dan beratnya tugas, mulai dari meredam dan memuliakan nafsu syahwat suami, mengandung anak, melahirkan, menyusui dan memeliharanya mulai dari bayi yang tidak berdaya sampai menjadi berakal dan berguna. Allah SWT berfirman:
الرِجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلى النِسَاءِ........
(Kaum lelaki itu sebagai pelindung/penjaga kaum perempuan......QS. al-Nisa’/4:34).
Kata ” قَوَّامُوْنَ عَلى” sering diartikan sebagai pemimpin. Ini tidak salah selama dalam arti pemimpin yang sebenarnya yang melindungi, bukan untuk menguasai dengan sewenang-wenang. Di samping itu tugas penjagaan juga mesti dilakukan dengan baik. Allah SWT berfirman:
...وعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ...
(...Dan bergaullah dengan mereka secara baik...) (Al-Nisa’/4:19)
Penghargaan Rasulullah SAW terhadap kaum perempuan itu demikian tingginya, sampai-sampai beliau mensejajarkan dengan tingginya derajat hamba Allah SWT, yakni ketika sedang bersujud kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم لَوْ كنتُ آمِرًا أحدًا أنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لأمَرْتُ االمرأة أن تَسْجَدَ لِزَوْجِهَا - رواه الترمذى.
(Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud pada orang yang lain maka aku perintahkan seorang isteri untuk bersujud kepada suaminya) (HR Al-Turmudzi)
Tidaklah pantas seseorang, dengan dasar hadis tersebut di atas, menganggap bahwa perempuan itu memangnya adalah sebagai budak yang harus tunduk secara buta kepada suaminya. Demikian ini karena tidak pernah ada indikasi Rasulullah SAW itu merendahkan derajat kaum perempuan. Justru hadis itu menunjukkan betapa tingginya derajat seorang perempuan itu ketika diwujudkan dengan ketundukan total kepada suaminya, sebagaimana tingginya derajat seorang hamba ketika melakukan ketundukan total kepada Tuhannya. Rasulullah SAW besabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ, فَأكْثِرُوْا الدُعَاءَ-رواه مسلم
(Sedekat-dekatnya hamba Allah kepada Tuhannya adalah ketika dia bersujud, maka perbanyaklah berdoa)(HR. Muslim)
Seorang perempuan sebelum menikah saja sudah diperbolehkan untuk menolak apalagi setalah menikah. Kaum perempuan para isteri berhak menolak untuk tidak mau dimadu karena niat pada awal mula pernikahannya tidak untuk dimadu. Keadaan ini sama halnya dengan seoang perempuan yang dinikahkan sementara dia tidak senang maka dia lalu memohon kepada Nabi, dan Nabi membolehkan untuk meneruskan atau menolaknya. Artinya, seorang isteri boleh meminta untuk dicerai. Dewasa ini tidak heran ada keinsafan umat Islam yang membolehkan seorang isteri menggugat cerai dengan sebab yang jelas. Rasulullah SAW bersabda:
عن ابن عباس أنّ جَاريةً بِكْرًا أتَتْ رسول الله صلى الله عليه و سلّم فَذَكَرَتْ أنّ أباها زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَبِىُّ صلى الله عليه و سلّم – رواه أحمد و أبوْ داود و ابن ماجه و الدارقطنى
(Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Sesungguhnya seorang perawan telah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW, bahwa dia telah dinikahkan oleh bapaknya dan dia tidak menyukainya, maka Nabi SAW memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan itu.” (HR. Ahmad, Abu Dwud, Ibn Majah, dan Daruquthni).
Kelihatan jelas bahwa mempraktekkan tradisi poligami itu sama dengan melestarikan perbudakan. Seorang isteri yang tidak bisa berbuat apa-apa dan diam saja ketika dimadu dan terkurangi haknya maka dia itu sebetulnya terpaksa membiarkan dirinya untuk masuk dalam kubangan perbudakan. Akan tetapi siapakah yang proaktif sehingga terjadi kubangan perbudakan itu? Kembali lagi bahwa peringatan ini justru kepada kaum laki-laki agar tidak mempergunakan keaktifannya untuk melestarikan kedhaliman melalui poligami.
Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai kewajiban menjauhi perbudakan:
....هُمْ إخْوَانُكُمْ وَ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أيْدِيْكُمْ , فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَاْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلا تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأعِيْنُوْهُمْ عَلَيْهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
(Mereka hamba sahaya itu adalah saudaramu dan pembantumu, Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu, maka siapa yang merasa saudaranya di bawah kekuasaannya harus memberi makan dari apa yang dimakannya dan diberi pakaian dari apa yang dipakainya dan jangan memaksa kepada mereka apa-apa yang tidak dapat mereka kerjakan, kalau kamu menyuruh mereka yang berat maka tolong bantulah mereka) (HR Bukhari Muslim).
Perlakuan Nabi sangat baik terhadap para tawanan perang Badar yang mestinya dapat dijadikan budak, tetapi Nabi memberikan makanan yang terbaik sedangkan umat Islam sendiri hanya mengambil kurma-kurma yang sederhana. Nabi memberi contoh bahwa tidak boleh ada kedhaliman dalam perbudakan sebagaimana perbudakan lazimnya pada masa itu, khususnya masa jahiliyah. Allah SWT memerintahkan agar berbuat baik pada hamba sahaya. Allah berfirman yang artinya:
“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan denganNya sesuatu apapun, dan terhadap kedua ayah bunda berbuatlah baik dan kepada famili kerabat dan anak yatim, orang miskin tetangga yang masih famili dan tetangga orang lain dan teman dalam bepergian dan orang rantau serta budak sahaya yang menjadi milikmu (QS Al-Nisa’ :36)
Pada akhirnya akan tampak jelas bahwa Islam memberdayakan kaum perempuan dengan cara tidak berpoligami dengan kaum perempuan yang merdeka. Islam memberikan jalan untuk berpoligami dengan para budak, yang juga berarti memberdayakan mereka dengan mengangkat status anak-anak mereka menjadi merdeka.
*Saidun Fiddaroini, Pemberdayaan Kaum Perempuan, dalam Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 80-92

DASAR DAN ALASAN TIDAK BERPOLIGAMI*

Bermonogami merupakan perbuatan yang berpahala kalau mempunyai alasan yang berdasarkan pada ajaran Islam. Hanya karena sudah terbiasa saja maka tidak banyak orang yang bermonogami memberikan alasan dengan dasar agama, mengapa harus bermonogami dan mempertahankan monogaminya itu. Dengan alasan dan dasar yang benar dari al-Quran dan hadis maka siapa saja yang bermonogami mendapatkan pahala lipat ganda; satu pahala dari pelaksanaan nikahnya dan satu lagi dari keberhasilannya mempertahankan monogaminya.
Berikut ini beragam alasan bermonogami diuraikan agar dapat diketahui mana alasan yang menyebabkan monogaminya tambah pahala dan mana alasan bermonogami yang tidak menambah pahala. Ini dimaksudkan agar umat Islam yang bermonogami dapat meniti karir pernikahannya sebagai umat Islam yang benar-benar mengikuti sunnah Nabi.

1. Alasan Monogami I
Alasan bermonogami yang pertama adalah karena tidak memiliki cukup uang atau kekayaan untuk menikah lebih dari satu isteri. Orang yang bermonogami dengan alasan demikian ini menunjukkan bahwa dia itu membenarkan praktek poligami, hanya saja dia tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dengan alasan ini maka dia tidak mendapat tambahan pahala dari pernikahannya yang monogami karena alasannya berdasarkan atas ketidakmampuannya. Justru dia itu sebetulnya adalah orang yang perlu dikasihani karena tidak mampu melaksanakan suatu ’amal’ yang diinginkan.
Dasar alasan itu ada dua yaitu naqli atau aqli, berdasarkan pada dalil dalam al-Quran dan atau hadis Nabi atau berdasarkan ijtihad sendiri. Bermonogami dengan alasan tidak punya uang itu bisa saja ada pahalanya, karena memang agama Islam melarang menerlantarkan keluarga. Jadi, tidak berpoligaminya itu dalam rangka supaya keluarga tetap bahagia dengan kecukupan biaya untuk hidup sebagai keluarga kecil, tidak menambah beban lagi yang menyebabkan kesusahan yang mana demikian ini dilarang oleh agama. Alasan demikian dapat dibenarkan sehingga bermonogaminya itu berpahala.
Perlu dicermati bahwa bermonogami dengan dalih biaya hanya cukup untuk keluarga kecil tersebut masih menyimpan malasah, yakni pahamnya yang memperbolehkan berpoligami itu akan terus ’menghantui’ ketenangan perasaan seorang isteri. Sewaktu-waktu bisa terjadi poligami dengan sembunyi-sembunyi. Ketenteraman dan kedamaian keluarga hanyalah semu, selalu ada kecurigaan, cinta dan kasih sayang tidak sepenuhnya dicurahkan, seperti ada musuh di dalam selimut. Hidup berkeluarga demikian ini tidak dapat dikatakan harmonis karena merasa ada ancaman sewaktu-waktu terhadap kelestarian kedamaian pernikahannya.
Keadaan yang tidak harmonis tersebut jelas bukan berasal dari ajaran Islam. Pada gilirannya nanti penyebab ketidakharmonisannya, yakni adanya pemahaman bolehnya berpoligami itu perlu segera ditinjau kembali. Patut dicurigai bahwa itu bukan berasal dari Islam. Islam tidak diturunkan untuk menimbulkan kecurigaan atau mengancam kedamaian.

2. Alasan Monogami II
Alasan bermonogami yang kedua adalah karena merasa tidak mampu berlaku adil. Alasan ini berdasarkan anggapan selama ini bahwa syarat berpoligami itu adalah adil. Alasan ini jelas berdasarkan pada ajaran Islam selama ini, meskipun adil itu tidak tepat sebagai syarat berpoligami. Alasan ini punya dasar agama dan dengan alasan ini diperoleh pahala sebagai hasil ijtihad yang menganggap bahwa adil itu syarat berpoligami.
Biasanya perlakuan adil itu dikaitkan dengan hal pembagian dalam pemberian nafkah materi, bukan nafkah batin. Alasannya adalah materi dapat diukur jumlahnya sehingga pembagiannya bisa tampak jelas sama, sementara kecenderungan hati tidak dapat diukur karena yang tahu hanya Allah SWT dan mungkin juga dirinya sendiri. Alasan ini menunjukkan bahwa berpoligami itu boleh kalau berlaku adil, dan keadilan yang dimaksudkan itu adalah anggapan mengenai ukuran sama dalam hal materi, bukan dalam hal perasaan cinta dan sebagainya yang bersifat kejiwaan.
Orang bermonogami dengan alasan tidak mampu berlaku adil ini kalau merasa bahwa selamanya tidak akan mampu berlaku adil maka sudah tidak akan lagi mempunyai keinginan untuk berpoligami. Dengan tidak adanya keinginan untuk berpoligami maka timbul pula keharmonisan dan kedamaian rumah tangganya, khususnya bagi sang isteri. Keharmonisan ini disebabkan adanya kepastian bahwa si isteri tidak akan dimadu. Kepastian demikian ini sangat diperlukan oleh seorang isteri, Kepastian yang menghadirkan ketenteraman hati ini akan dibalas lebih baik oleh si isteri dengan usahanya untuk selalu tampil menarik. Usahanya itu sangat ikhlas, bukan terpaksa karena takut suaminya digondol oleh perempuan lain.
Perlu dicermati bahwa bisa saja terjadi sekali-sekali ada lintasan dalam pikiran sang suami, benarkah dirinya itu tidak memiliki kemampuan untuk berlaku adil kalau berpoligami? Kadang-kadang terlintas juga keinginan untuk berpoligami. Ini menjadi semacam gangguan kejiwaan bagi dirinya, dan juga gangguan bagi isterinya, karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi poligami dengan alasan melatih kemampuan untuk berlaku adil. Kembali lagi bahwa keadaan demikian ini tidak akan mudah mendapatkan kedamaian dan keharmonisan dalam keluarga.
Sumber keadaan demikian ini berasal dari adanya anggapan bahwa adil itu syarat poligami. Dari sini dapat dipahami bahwa syarat adil untuk berpoligami itu tidak patut dinyatakan berasal dari ajaran Islam karena Islam tidak akan mungkin memunculkan suatu ajaran yang akibatnya adalah ketidakharmonisan dan mengancam kedamaian dalam pernikahan.

3. Alasan Monogami III
Alasan bermonogami yang ketiga adalah karena dalam agama Islam tidak ada perintah berpoligami. Itulah sebabnya tidak perlu membuat hal-hal baru atau memaksakan diri dengan berpoligami agar tidak masuk dalam kubangan bid’ah. Dengan alasan demikian dapat diperoleh tambahan pahala dari pernikahan dan dari hikmah bermonogami yang memberikan kedamaian bagi isteri dan keluarga.
Di samping pahala atas pernikahan yang monogami itu, akan didapatkan tambahan pahala lagi dari hasil ijtihad. Kalau ternyata hasil ijtihad itu benar maka akan didapatkan dua pahala, yaitu pahala ijtihad dan kebenaran ijtihad itu. Alasan bermonogami demikian ini berdasarkan kehati-hatian (Ikhtiyath) dengan akibat yang baik, yakni dapat menumbuhkan ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan berumah tangga.
Bermonogami dengan alasan demikian ini tidak akan menyimpan masalah. Artinya, dalam pernikahan bermonogami dan mempertahankan pernikahan yang monogami itu, maka dalam otak sang suami tidak akan terlintas sama sekali adanya pernikahan poligami, karena dianggap bahwa berpoligami itu tidak diperintahkan kepada umat Nabi. Justru dikhawatirkan bermaksiat kalau menganggap beribadah pada hal-hal yang tidak diperintahkan.
Bermonogami dengan alasan tidak ada perintah untuk berpoligami ini akan menjadi suatu titik balik, bahwa justru orang yang bermonogami itulah orang yang mampu memahami, mengikuti, dan meneruskan sunnah Nabi. Orang-orang yang terus berusaha untuk bermonogami dalam rangka menjaga kesucian diri dan pernikahannya berarti sedang berjuang menjauhi kedhaliman sebagaimana dimaksudkan dalam al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3). Menjauh dari kedhaliman itu berarti berlaku adil dan berlaku adil itu adalah paling dekat dengan ketaqwaan, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Quran (QS. Al-Maidah/5:8).
Bermonogami bukan karena tidak bisa berpoligami, tetapi justru karena mengikuti sunnah Nabi. Dengan alasan mengikuti sunnah Nabi dengan dasar tidak ada perintah berpoligami maka bermonogaminya itu menambah pahala dan mendatangkan keharmonisan dan kedamaian berumah tangga.
*Saidun Fiddaroini, Dasar dan Alasan Bermonogami, dalam Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 73-79

Selasa, 05 Januari 2010

VERIFIKASI PEMBENARAN POLIGAMI*

Hampir semua orang yang berpoligami adalah para tokoh atau yang ditokohkan oleh masing-masing komunitasnya. Berbeda-beda status ketokohan mereka, ada tokoh politik, tokoh pengusaha, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Masing-masing tokoh itu berpoligami, biasanya karena ada tokoh agama yang berani berpoligami atau tidak berpoligami tetapi dia memperbolehkan poligami dengan berbagai alasan. Orang-orang awam yang berpoligami pada umumnya hanya meniru tokoh mereka, alasannya tidak apa-apa, tidak ada yang melarang.
Alasan-alasan berpoligami itu sering kali dikatakan berdasarkan pada ajaran Islam. Dalam prakteknya selalu terjadi kedhaliman dengan ketidakadilannya itu. Koreksi tentang alasan-alasan bolehnya berpoligami ini menjadi sangat penting dan perlu karena sebenarnya ajaran Islam itu tidak untuk melegalkan kedhaliman, justru sebaliknya, yakni kehadiran Islam itu adalah untuk menghapus kedhaliman. Diharapkan dengan koreksi ini dapat diketahui kebe-naran atau kekeliruan alasan-alasan untuk berpoligami selama ini.
Koreksi alasan-alasan berpoligami ini merupakan hasil ijtihad. Meskipun suatu hasil ijtihad tidak mutlak bisa menghapus ijtihad sebelumnya tetapi usaha untuk mendekati kebenaran perlu dikemukakan sehingga dapat dijadikan wawasan untuk terus meningkatkan kualitas ijtihad berikutnya.
Alasan-alasan berpoligami yang tidak terbukti kebenaran dasarnya pada ajaran Islam akan tampak dengan lebih jelas bahwa alasan-alasan itu tidak bisa dipedomani. Alasan-alasan demikian itu cukup untuk diketahui saja agar tidak terulang lagi. Berikut ini secara rinci alasan-alasan yang sering dipakai untuk berpoligami.

1. Alasan-1: Untuk Mendapat Keturunan
Ada pendapat yang memperbolehkan berpoligami untuk mendapat keturunan. Nabi Muhammad SAW. tidak menerangkan niat beliau untuk mendapat keturunan dari isteri-isteri beliau ketika berpoligami. Memang beliau memiliki seorang bayi dari isterinya, Maria (al-Qibthiyah), seorang budak yang dihadiahkan kepada beliau dari seorang penguasa, Raja Muqauqis dari Iskandariyah, yang lebih dikenal sebagai Gubernur Mesir, namun bayi itu meninggal ketika masih kecil kurang lebih berumur 11 bulan.
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Maria memberikan pengajaran praktis bahwa beliau memperlakukan budak dengan sangat baik. Beliau bukan hanya memerintahkan saja untuk berlaku baik terhadap para budak, tetapi beliau menerapkan juga perintahnya itu.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ أبِى مُوْسَى الأشْعَرِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثَلاثَةٌ لَهُمْ أجْرَانِ: رَجُلٌ مِنْ أهْلِ الكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَ آمَنَ بِمُحَمَّدٍ, وَ الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إذََا أدّىَّ حَقَّ اللهِ وَ حَقَّ مَوَالِيْهِ وَ رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أمَةٌ فَأدَّبَهَا فَاحْسَنَ تَاْدِيْبَهَا وَ عَلَّمَهَا فَاحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أجْرَانِ- مَتَّفَقٌ عَلَيْهِ
(Dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga macam orang yang mendapat pahala mereka lipat dua kali, ialah ahli kitab yang telah beriman kepada Nabinya kemudian beriman pula kepada Muhammad, dan seorang hamba sahaya jika menunaikan kewajiban terhadap Allah dan terhadap majikannya, dan orang yang memiliki budak perempuan lalu dididik dan diajari sehingga berakhlaq dan pandai, kemudian dimerdekakan dan dinikahi maka ia mendapat pahala lipat dua kali) (HR. Bukhari Muslim).
Al-Quran dan hadis tidak memerintahkan berpoligami dengan alasan apa pun, termasuk untuk mendapat keturunan. Pernikahan yang dibentuk dengan tali yang kokoh (Mitsaqan Gholidhoh) tidak layak kalau timbul permasalahan dalam pernikahan itu hanya karena adanya keinginan yang sepihak, yakni keinginan untuk mempunyai anak dengan cara poligami. Anak angkat sering kali bisa lebih baik dan bisa menghilangkan sifat egois yang berlebihan. Tidak ada dalil yang mewajibkan semua orang untuk mempunyai anak. Lebih tidak patut lagi kalau perintah berpoligami dengan alasan untuk mendapat keturunan itu didasarkan pada al-Quran dan hadis. Jelas sekali bahwa alasan berpoligami untuk mendapat keturunan tidak berasal dari ajaran Islam.

2. Alasan-2: Keadaan Darurat
Ada anggapan bahwa tidak ada dasar untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya, maka dimunculkan istilah “pintu darurat kecil”. Keadaan darurat itu menimbulkan suatu tindakan yang tidak dikehendaki tetapi harus dilakukan dengan terpaksa. Keadaan ini dicontohkan dengan pengandaian, yakni kalau seorang isteri tidak mampu melayani suaminya secara biologis, misalnya karena sakit parah.
Keadaan darurat demikian itu merupakan suatu keadaan yang sangat memperihatinkan dan menyedihkan. Usaha untuk menyembuhkan isteri yang sakit parah itu menjadi prioritas utama. Usaha suami demikian itu merupakan suatu kewajiban dengan pahala yang sangat besar dan suatu keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari suatu pernikahan yang mulia dan tulus.
Seorang laki-laki ketika berada dalam keadaan sangat menyedihkan tidak mudah muncul dorongan nafsu syahwatnya. Sangatlah aneh kalau seorang suami yang sedang susah mempunyai keinginan untuk memuaskan nafsunya dengan berpoligami. Tidak ada nafsu syahwat ketika bersedih. Poligami pada keadaan darurat demikian ini justru menunjukkan betapa tega dan sampai hati seorang suami berbuat demikian, pada saat-saatnya si isteri sakit dan memerlukan bantuan ternyata sang suami bersenang-senang dengan isteri yang baru. Al-Quran dan hadis tidak mengajarkan sifat demikian, apalagi terhadap isteri sendiri. Sangatlah tidak masuk akal kalau Islam mengijinkan berpoligami dengan alasan keadaan darurat sedemikian itu.

3. Alasan-3: Menghindari Perzinahan
Ada orang yang menganggap bahwa berpoligami itu dibolehkan dengan alasan bahwa monogami itu dapat berdampak pada hubungan illegal di luar pernikahan dan prostitusi, lalu Islam ingin membuka sebuah hubungan tanpa adanya ’kumpul kebo’ yang dirahasiakan yang merusak masyarakat. Anggapan ini sama saja dengan maksud orang yang mengatakan demikian: „Dari pada nikah sirri atau berbuat zinah lebih baik melakukan poligami secara resmi“. Maksud perkataan ini sama kelirunya dengan ucapan seseorang yang katanya ditokohkan, demikian ucapannya: „Poligami merupakan pilihan yang paling bijaksana jika dibanding dengan TTM alias teman tapi mesum”.
Anggapan keliru tersebut sangat perlu untuk segera diluruskan. Islam tidak menyuruh berpoligami sebagai jalan keluar dari pandangan mata maksiat ataupun perzinahan. Tidak pernah ada perintah agar menikah lagi dengan perempuan lain yang dilihat dengan alasan supaya tidak berdosa kalau melihat lagi atau berkumpul dengan perempuan lain itu.
Orang yang menganggap bahwa berpoligami itu untuk memenuhi kebutuhan seksual yang bermula dari pandangan maksiat tidaklah tepat karena pada saatnya nanti ketika melihat perempuan yang lain lagi akan kambuh lagi keinginan untuk ’menghalalkan’ maksiatnya dengan menikah lagi. Kadang-kadang alasannya adalah karena memandang seorang anak perempuan yang ’imut-imut’ secara sepintas tidak sengaja tetapi terus tertarik dan kemudian minta ijin kepada isterinya yang akan dimadu untuk menikahi anak perempuan kecil itu. Begitu alasannya untuk menikah lagi dan menikah lagi sampai tiba ajalnya atau berkesempatan untuk bertobat karena mendapat pertolongan Allah SWT.
Para pelaku poligami dengan alasan menghindari perzinahan ini pintar berargumentsi tetapi tidak memiliki ilmu untuk bisa mengendalikan nafsu syahwatnya. Mereka itu diragukan kesetiaan terhadap isterinya dan apalagi terhadap agama Islam yang menyuruh setia pada isterinya dan mengajarkan cara pengendalian nafsu, yakni dengan berpuasa yang baik.
Perzinahan itu hanya bisa dicegah dengan tidak berzinah dan menjauhi perzinahan. Memperbolehkan poligami dengan alasan menghindari perzinahan adalah pelecehan terhadap ajaran Islam. Perbuatan ’kumpul kebo’ selalu dimulai dari pelanggaran terhadap ajaran Islam, yakni melanggar larangan untuk dekat-dekat dengan perzinahan, minimal dengan mencuri-curi pandang pada perempuan bukan mahramnya. Nabi Muhammad SAW berpoligami bukan untuk menghalalkan setelah memandang-mandang kemudian tertarik. Betapa besar dosa orang yang punya anggapan bahwa Nabi itu berpoligami sama seperti dirinya untuk menghindari perzinahan.
Poligami bukan jalan keluar dari perzinahan. Meskipun sudah berpoligami masih tetap saja berpeluang untuk berzinah dengan yang lainnya. Jadi sangat tidak patut orang Islam memiliki pertimbangan bahwa dari pada berzinah lebih baik berpoligami. Pendapat demikian ini bisa disebut sebagai sebuah ’nyanyian setan’, sama sekali tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis,

4. Alasan 4: Melatih Diri Berlaku Adil
Ada yang beranggapan bahwa orang berpoligami itu sekedar uji coba, mampukah berlaku adil. Kalau ternyata tidak mampu berlaku adil maka wajib kembali dengan satu isteri. Kalau ternyata mampu berlaku adil berarti memenuhi syarat untuk diteruskan. Islam tidak akan mungkin mengajarkan latihan berlaku adil dengan cara berpoligami, karena al-Quran menjelaskan bahwa siapa saja yang berpoligami tidak akan mampu berlaku adil (QS. al-Nisa’: 129).
Lebih naif lagi ketika disimpulkan bahwa berpoligami itu berkaitan dengan masalah kemampuan secara material sebagaimana ibadah haji. Ini berarti siapa saja yang mampu membiayai hidupnya dengan banyak isteri boleh berpoligami, dan yang tidak mampu tidak boleh. Ini jelas berbeda dari masalah haji. Kewajiban berhaji itu bagi orang yang mampu sehingga kalau tidak mau berhaji maka berdosa, sedangkan orang yang mampu secara material tetapi tidak mau berpoligami dia tidak berdosa. Tidak ada kewajiban berpoligami meskipun mampu secara material. Ini penting dijelaskan sedemikian rupa jelasnya karena fatalnya kesalahan dalam memahami al-Quran surat al-Nisa’/4: 3.
Kesalahan yang fatal tersebut di atas merupakan akibat dari kesalahkaprahan menjadikan ’adil’ sebagai syarat poligami. Demikian ini tidak lain hanyalah disebabkan tidak adanya ketelitian dalam memahami struktur bahasa al-Quran, sehingga tidak paham dengan semestinya maksud ayat-ayat al-Quran yang dikaitkan dengan poligami. Tiadanya pengertian demikian ini selanjutnya menyebabkan adanya upaya untuk memenuhi syarat adil itu kalau ingin berpoligami.
Poligami dengan alasan untuk melatih diri dan meningkatkan kemampuan membiayai dan berlaku adil sangat dekat dengan kesombongan, yakni merasa telah mampu melaksanakan keadilan pada pernikahan yang pertama, yang perlu diuji lagi dengan pernikahan yang kedua dan seterusnya. Demikian ini sangat dekat dengan perilaku pamer atau riya’ tentang kemampuan dalam mengatur dan membiayai banyak perempuan. Poligami untuk latihan berlaku adil itu tidak berdasarkan pada ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW menikahi isteri-isterinya bukan untuk melatih diri meningkatkan kemampuan dalam berlaku adil ataupun dalam membiayai isteri-isterinya secara material.

5. Alasan-5: Menjinakkan Nafsu yang Liar
Ada yang memperbolehkan berpoligami dengan alasan bahwa nafsu seksual kaum laki-laki yang lebih tinggi dari rata-rata umum akan bergeliat dan menjadi liar manakala syariat Allah SWT tidak mem-bukakan jalan. Poligami dianggap jalan yang terbaik untuk menjinakkan nafsu seksual kaum laki-laki. Dalam hal nafsu syahwat, semua laki-laki yang ‘kesetanan’ tidak akan merasa cukup dengan satu perempuan. Nafsu seksual laki-laki tidak bisa jinak dengan berpoligami.
Al-Quran dan hadis tidak menerangkan bolehnya berpoligami meskipun kekuatan nafsu syahwatnya tidak bisa dipuaskan dengan seorang perempuan. Islam mengajarkan agar berpuasa dengan baik untuk meredam gejolak nafsu syahwat yang kuat. Sejak dari awal Islam menganjurkan untuk menikah agar dapat merundukkan pandangan syahwat. Kalau sudah menikah tetapi masih saja belum dapat merundukkan pandangan syahwatnya, yakni masih saja ingin menikah lagi ketika melihat perempuan lain yang menarik, maka itu sebetulnya sama saja dengan adanya keinginan untuk pamer keperkasaan.
Tidak semua keinginan harus dipuaskan, meskipun kelihatannya dihalalkan atau diperbolehkan. Islam tidak mengajarkan bahwa berpoligami itu jalan untuk memuas-muaskan nafsu. Semua orang tahu bahwa tidak ada penyakit yang berlebihan dalam nafsu syahwat kecuali karena memang dibuat-buat sendiri. Sungguh sangat naif sekali menyandarkan pada al-Quran alasan bolehnya berpoligami karena kuatnya nafsu.

6. Alasan-6: Kelebihan Jumlah Perempuan
Kaum perempuan memiliki hak pilih dan hak untuk menolak pinangan. Namun demikian kaum lelaki mempunyai keaktifan untuk lebih dulu memilih perempuan yang akan dijadikan isterinya. Kaum perempuan menjadi sasaran untuk dipilih. Dengan demikian banyaknya jumlah perempuan yang melebihi jumlah laki-laki menjadi suatu keniscayaan. Tidaklah masuk akal kalau jumlah pilihan sama atau lebih sedikit dari pada jumlah yang memilih.
Berpoligami dengan alasan kasihan pada kaum perempuan yang tidak bersuami karena jumlahnya lebih banyak dari pada kaum laki-laki merupakan kebalikan dari poligami dengan alasan darurat. Dalam kasus jumlah perempuan lebih banyak dari pada kaum laki-laki maka keadaan darurat itu bukan bagi seorang suami. Poligami bukan lagi sebagai ”pintu darurat kecil” tetapi berubah menjadi ”pintu gerbang kasih sayang” karena berpoligaminya dengan alasan kasihan terhadap kaum perempuan yang belum pernah dinikahi.
Pada kasus poligami yang darurat saja sudah kelihatan bahwa alasannya dibuat-buat, maka pada kasus ”pintu gerbang kasih sayang” ini lebih tampak nyata bahwa alasan itu dibuat-buat agar poligaminya dianggap sebagai suatu kebaikan. Ada pergeseran alasan mengarah pada kehalusan, dari ’terpaksa’ menjadi ’kebaikan hati’. tetapi tujuan tetap sama, yakni supaya diperbolehkan berpoligami. Inilah salah satu perangkap setan.
Islam tidak mengajarkan poligami dengan alasan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Nabi Muhammad SAW menikah setelah Khadijah RA wa-fat bukan karena banyaknya jumlah perempuan. Berpoligami dengan alasan demikian jelas bukan ajaran Islam.

7. Alasan-7: Membesarkan Asma Allah
Ada seorang perempuan yang dimadu memberikan pengakuan bahwa berpoligami yang didasarkan pada Allah SWT. tidak akan menimbulkan masalah, bahkan enak dan perlu bagi perempuan dan laki-laki sebagai pendidikan hati untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan “poligami yang didasarkan pada Allah”.
Poligami dianggap sebagai pendidikan hati agar mudah membesarkan asma Allah. Islam tidak mendidik hati melalui poligami. Demikian juga untuk membesarkan asma Allah tidak perlu dengan berpoligami. Ucapan seorang perempuan yang sedang dimadu seperti itu hanyalah sebuah kemasan dari orang pintar untuk menutup-nutupi agar orang lain mengira bahwa poligami yang dilakukan oleh suaminya itu baik dan tidak menyakiti hatinya. Ini terbukti dengan pengakuannya bahwa kalau suaminya sedang asyik dengan isterinya yang lain maka mereka bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar. Kapan membesarkan asma Allah, kalau sedang ditinggal oleh suaminya diisi dengan mengobrol?
Pengakuan yang dikemukakan perempuan tersebut di atas menunjukkan kelemahannya dan itu hanyalah suatu apologis dari orang pandai yang terdhalimi dan berusaha untuk menutup-nutupi kedhaliman suaminya. Al-Quran dengan jelas menerangkan bahwa berpoligami itu berbuat kedhaliman dengan berlaku tidak adil. Islam tidak menganjurkan poligami apalagi dengan alasan untuk mendidik hati, karena yang terjadi adalah kedhaliman.
Perlu dipahamkan berulang-ulang bahwa tidak ada anjuran dan apalagi perintah untuk membesarkan asma Allah dengan berpoligami. Pada umumnya orang-orang yang banyak berdzikir dan membesarkan asma Allah SWT sangat berhati-hati dan sibuk dengan bertasybih sendiri, dan tidak terlintas dalam benaknya istilah poligami. Jelaslah bahwa berpoligami dengan alasan demikian tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.

8. Alasan-8: Melindungi Kaum Perempuan
Belakangan banyak poligami dengan alasan untuk melindungi kaum perempuan. Biasanya perempuan yang dimaksud adalah seorang janda. Alasan yang sebenarnya untuk melindungi atau hanya pura-pura saja, semua itu diketahui oleh Allah SWT. Perlu introspeksi secara jujur. Boleh jadi niat menolong dan melindungi itu karena telah lebih dulu memperhatikan kecantikan janda itu kemudian mencari alasan supaya dianggap layak untuk berpoligami. Poligami dengan alasan demikian ini jelas tidak berdasarkan al-Quran ataupun hadis.
Niat melindungi perempuan itu baik, akan tetapi kalau niat itu muncul setelah lebih dulu tertarik pada paras kecantikannya, maka sebetulnya terhadap perempuan yang ingin dinikahi untuk menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat itu saja sudah ada niat menipu. Tidak setulusnya untuk melindungi. Ini jelas bukan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW. meminang seorang janda dari jauh setelah mendengar berita bahwa janda itu perlu dilindungi agamanya, tanpa dilihat-lihat lebih dulu paras kecantikannya.
Di samping itu perlu diketahui bahwa praktek poligami dengan niat melindungi itu tidak sama dengan peristiwa yang diceritakan dalam al-Quran, bahwa seorang anak (perempuan) yatim kaya yang perlu dilindungi itu adalah karena berada dalam “kungkungan” walinya sendiri yang ingin menikahi dengan niat menguasai harta pusaka anak yatim itu, yang menurut adat jahiliyah diperbolehkan. Allah SWT menjelaskan agar tidak terjadi kebiasaan dhalim terhadap anak yatim itu. Allah berfirman yang artinya demikian:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para perempuan. Katakanlah “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran, (juga menfatwakan) tentang para perempuan yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya” (QS. An-Nisa’/4: 127)
Dalam kenyataannya poligami yang terjadi dewasa ini menyimpang sangat jauh, bahwa yang dipahami adalah melindungi anak yatim, baik laki-laki ataupun perempuan dengan cara menikahi ibunya yang janda itu. Jadi sekarang ada anggapan dibolehkan berpoligami dengan menikahi seorang janda dengan alasan menolong. Sayang sekali pertolongan itu sering justru menyakiti isteri yang pertama, dan tentu saja tidak ada ajaran Islam yang membiarkan cara ’belah bambu’ dengan menjunjung yang satu dan menginjak yang lain. Membantu atau menolong sesama tidak harus dengan cara melukai hati yang lainnya, apalagi kalau yang disakiti itu adalah hati isterinya sendiri.
Seringkali alasan yang dikemukakan adalah hendaknya tidak hanya memperhatikan isteri pertama yang sakit hati tetapi juga perlu diperhatikan isteri kedua, ketiga atau keempat yang merasa dilindungi, apalagi kalau seorang janda. Alasan sakit hati itu juga dianggap hanya muncul karena adanya pandangan bahwa poligami itu sebagai sesuatu yang buruk. dan kalau poligami itu dianggap sebagai sesuatu yang baik maka tidak akan sakit hati bahkan bersedia mencarikan isteri lagi bagi suaminya dengan suka rela sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan ‘aktivis’ muslimah. Ini semua hanyalah alasan yang berdasarkan anggapan bahwa poligami itu baik. Anggapan itu sendiri tidak berdasar dan dipaksakan sebagai doktrin oleh kekuatan hegemoni kaum lelaki.
Memang, rasa suka rela itu bisa muncul kalau sudah beranggapan bahwa poligami itu baik. Permasalahannya di sini adalah bahwa anggapan itu bukanlah dasar kebenaran untuk beramal. Lagi pula sudah sangat jelas bahwa berpoligami itu berbuat ketidakadilan (QS. An-Nisa’/4:129), dan ketidakadilan itu jelas tidak baik. Kaum perempuan yang rela dalam ketidakadilan itu tentu saja karena berbagai sebab. Sebab utamanya adalah tidak mengerti bahwa mereka mempunyai hak untuk tidak didhalimi dan atau tidak punyai keberanian untuk menuntut haknya itu.
Selanjutnya perlu diingat kembali bahwa menjaga anak yatim itu adalah tugas atau kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Jadi tidak perlu dipaksakan melindungi anak yatim dengan cara menikahi ibunya. Lagi pula membantu anak yatim tidak harus menikahi ibunya. Jadi poligami dengan menikahi para janda dengan dasar ayat 127 surat al-Nisa’ tersebut adalah tidak benar.

9. Alasan-9: Mengikuti Sunnah Nabi dan Dakwah
Ada seorang perempuan yang membiarkan suaminya berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah dan demi dakwah. Perlu diingat kembali bahwa menikah dengan seorang perempuan itu melaksanakan sunnah Nabi. Menikah itu memang diperintah oleh Nabi bagi yang sudah mampu untuk berumah tangga, tetapi Nabi tidak pernah memerintahkan untuk berpoligami dengan alasan apa pun.
Dakwah itu merupakan suatu keharusan, tetapi dakwah itu tidak harus dengan berpoligami. Nabi Muhammad SAW menikah dengan salah satu isterinya bernama Juwairiyah adalah untuk berdakwah sehingga diikuti oleh sekian banyak kaum Bani Musthaliq yang masuk Islam. Kenyataan sekarang ini orang berpoligami meskipun dengan niat dakwah tetapi tidak diikuti oleh sejumlah kaum keluarga perempuan itu untuk masuk Islam. Mereka sudah beragama Islam. Kesamaan niat dakwah dengan kondisi masyarakat yang didakwahi mesti dipenuhi kalau memang berpoligaminya itu dengan niat berdakwah.
Ada yang sudah menginsafi bahwa orang yang berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah Nabi adalah orang yang terlalu sombong. Boleh jadi kesombongan itu adalah karena menganggap dirinya sama dengan Nabi. Dalam kasus ini terdapat kecerobohan, yaitu membawa-bawa serta nama Nabi. Jadi berpoligami untuk mengikuti sunnah Nabi dan dakwah ini hanyalah upaya untuk melegalkan saja agar dianggap layak berpoligami, Ini bukan ajaran Islam.

10. Alasan-10: Kebolehan Berpoligami
Berpoligami dengan alasan bahwa Islam membolehkan. Alasan ini paling mendasar. Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 dijadikan sebagai dasar bolehnya berpoligami. Koreksi alasan berpoligami dengan dasar demikian adalah koreksi tehadap pemahaman maksud ayat yang dianggap memperbolehkan poligami.
Tidak ada ayat al-Quran yang menyatakan bolehnya berpoligami tanpa resiko dosa berbuat aniaya yang dilarang oleh Islam. Kalau para pelaku poligami itu tidak memerlukan dalil diperbolehkannya berpoligami maka jelaslah disini kelalaiannya. Semua amal peribadatan yang boleh dilakukan oleh umat Islam memiliki dasar ajaran agama, yakni ada perintahnya.
Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 yang dianggap sebagai dasar bolehnya berpoligami itu terbukti justru mengingatkan agar tidak berpoligami dengan perempuan merdeka. Tidak mudah bagi ’pemula’ untuk memahami ayat demikian. Ummi Zahrah mengatakan: ”Poligami itu kan halal, nggak menimbulkan efek samping, ketimbang ’jajan’ yang bisa menimbulkan penyakit menular”. Ucapan ini adalah contoh pemahaman seorang muslimah ’pemula’ itu yang belum bisa mamahami maksud ayat tersebut.
Inti permasalahan ada pada dua hal, yaitu pemahaman pada ayat suci al-Quran dan pemahaman terhadap tujuan pernikahan ’poligami’ Nabi, yakni tujuan Islam itu sendiri. Terhadap ayat yang sering diang-gap memperbolehkan berpoligami hendaknya diteliti lagi sehingga jelas maksud yang dikandung. Tidak akan terdapat pemahaman yang kontradiksi antara maksud ayat itu dengan ’poligami’ Nabi.
Maksud utama ayat tersebut dengan tujuan utama dakwah Islamiyah mesti searah. Kalau maksud ayat itu memperbolehkan berpoligami yang berarti memperbolehkan berbuat dhalim dengan ketidakadilannya itu, maka ayat itu bertentangan dengan tujuan Islam. Ini tidak mungkin. Islam justru bertujuan untuk menghapus kedhaliman itu sendiri dengan cara yang tidak dhalim. Jadi tujuan ayat tersebut bukan memperbolehkan berpoligami. Al-Quran dan hadis menyatakan kebolehan beristeri lebih dari satu kalau dengan para budaknya sendiri. Tujuannya kelihatan jelas, yakni memperlakukan budak itu dengan baik dan memerdekakan keturunan budak itu. Jadi diperbolehkan berpoligami dengan para budak tanpa dibatasi jumlahnya karena mempunyi akibat yang baik bagi budak itu sendiri dan utamanya bagi keturunannya.
Apa yang dikeluhkan oleh seorang yang ditokohkan setelah berpoligami adalah suatu bukti nyata bahwa poligami itu tidak dianjurkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Keluhannya demikian: “Saya punya perusahaan lebih dari satu, karyawan banyak, tapi itu gampang ngurusnya. Tapi ini isteri lebih dari satu, aduh....” Keluhan itu tentu hanya muncul karena ada kekeliruan dalam amalan berpoligami. Berpoligami dengan mengawini perempuan merdeka sama halnya dengan menjadikan mereka sebagai budak, Perilaku demikian ini tentu saja tidak Islami, dan akibatnya muncul keluhan-keluhan. Kalau yang diurus banyak itu berstatus sebagai budak seperti para karyawan yang banyak itu, maka tidaklah menimbulkan keluhan–keluhan.
Islam tidak menganjurkan amalan yang menimbulkan keluhan-keluhan. Apabila perempuan merdeka yang dikawini itu ternyata memang berjiwa budak atau mau menurunkan derajatnya menjadi sebagai seorang budak, dengan kemauannya sendri atau karena dipaksa, tentu tidak akan ada keluhan mengenai sulitnya mengurusi isteri lebih dari satu. Namun demikian, di situ ada kedhaliman. Pada umumnya, hati nurani perempuan itu belum bisa rela kalau suaminya menikah lagi. Setiap isteri tidak siap menghadapi kenyataan suaminya jatuh cinta lagi kepada perempuan lain walaupun isteri ini telah menyetujui suaminya berpoligami.
Kiranya masih banyak lagi alasan lainnya untuk berpoligami yang tidak tercakup dalam kajian ini. Namun demikian cukuplah kajian ini sebagai acuan untuk analog pada alasan-alasan lainnya, yang tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 52-72

KEBIJAKAN MELARANG POLIGAMI*

Umat Islam masih banyak yang tidak berani melarang poligami. Sering kali umat Islam hanya bisa mengingatkan hendaknya berhati-hati, jangan sampai berlaku tidak adil. Larangan poligami dengan tegas memang sulit ditemukan. Ini bukan berarti larangan itu tidak ada. Demikian sulitnya menemukan larangan itu sehingga ada yang menganggap sama antara monogami dengan poligami dengan alasan bahwa keduanya memiliki dasar hukum agama yang kuat,[1] padahal jelas berbeda, maka hukumnya juga berbeda.

Setidaknya ada dua kekeliruan dalam anggapan yang menyatakan bahwa poligami dan monogami itu memiliki dasar hukum agama yang kuat. Kekeliruan yang pertama ada dalam hal memahami perbedaan pengertian atau makna dua kata, monogami dan poligami. Kekeliruan yang kedua ada dalam hal memahami maksud ayat yang dijadikan dasar poligami.

Pertama, mengenai perbedaan makna dua kata. Kata “monogami“ dan “poligami” itu bukan berbeda dalam arti tidak sama jumlah bilangannya seperti satu tidak sama dengan dua, dua tidak sama dengan tiga, dan dua juga tidak sama dengan seribu dan seterusnya. Monogami itu memiliki isteri satu atau tunggal sedangkan yang dimaksud dengan poligami itu adalah memiliki isteri banyak atau jamak. Poligami itu bukan kelanjutan dari monogami. Menikah lagi dan menikah lagi sehingga mempunyai isteri empat bahkan bisa sampai sepuluh dan seterusnya sampai seribu itu bukan kelanjutan dari memiliki satu isteri. Beristeri satu itu tidak sama dengan beristeri dua meskipun selisih satu saja, tetapi beristeri dua itu sama saja dengan beristeri seribu meskipun selisihnya banyak. Perbedaan monogami dengan poligami itu ada pada sifatnya. Perbedaan itu dalam arti berlawanan, tunggal dengan jamak.

Untuk mudahnya memahami adanya perbedaan dan bahkan berlawanan makna antara poligami dengan monogami perlu kiranya dikemukakan perbedaan antara makna aliran monoteisme dengan politeisme. Aliran politeisme itu bukan kelanjutan dari monoteisme, justru bertentangan. Monoteisme itu sama dengan tauhid sedangkan politeisme itu sama dengan musyrik. Kalau diperintahkan bertauhid itu berarti dilarang bermusyrik. Demikian juga kalau diperintahkan bermonogami berarti dilarang berpoligami. Keterangan yang demikian jelas ini sangat diperlukan supaya tidak lagi berulang pada anggapan yang keliru yang menyamakan monogami dengan poligami.

Kedua, mengenai pemahaman maksud ayat yang dijadikan dasar berpoligami. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa untuk memahami uslub atau gaya bahasa al-Quran (QS. al-Nisa’/4:3) membutuhkan nalar berpikir yang dalam agar bisa mengetahui maksud yang dikandung ayat tersebut. Telah diuraikan di depan bahwa ayat tersebut tidak mengarah pada pernikahan poligami, justru ayat tersebut mengandung larangan berpoligami. Larangan itu tidak secara terang-terangan dan juga tidak secara drastis, tetapi harus diterapkan sebagaimana dalam hal penghapusan perbudakan.

Praktek perbudakan di jazirah Arab pada waktu itu menjadi satu dalam sistem perekonomian bangsa Arab. Tidak bisa diubah dengan drastis karena bisa menimbulkan kegoncangan perekonomian masyarakat. Seorang budak bukan hanya sebagai seorang pembantu, tetapi dia itu sebagai barang yang diperjualbelikan. Meskipun Islam sudah hadir, perbudakan belum secara drastis dilarang. Akan tetapi hukum Islam sudah dipraktekkan yang mengarah pada penghapusan perbudakan dengan stimulan imbalan pahala yang besar kalau mau membebaskan budak, atau sebagai ganti tebusan atas dosa-dosa besar yang telah dilakukan.

Menyejajarkan poligami dengan perbudakan itu dapat dipahami dari surat al-Nisa’ ayat 3 itu sendiri yang menjelaskan bahwa orang yang ingin memuaskan nafsunya dengan banyak perempuan tanpa resiko perzinahan ataupun ketidakadilan maka diperbolehkan untuk ‘menggauli’ para budaknya tanpa dibatasi jumlahnya. Bunyi ayat tersebut jelasnya demikian:

.....فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ.....

(Artinya: .....maka )nikahilah) seorang saja (perempuan merdeka) atau budak-budak yang kamu miliki.. (QS: Al-Nisa’/4: 3).

Nabi Muhammad SAW. memerintahkan Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi, yang baru masuk Islam su-paya menceraikan enam isterinya sehingga tinggal empat,[2] Demikian Ibnu Umar menceritakan (HR. Al-Turmudzi).[3] Ini perintah terhadap seorang muallaf. Cepat atau lambat jumlah empat itu dapat dipahami sebagai sebuah terapi secara bertahap agar nantinya mengarah pada pilihan yang satu saja, yakni bermonogami.

Jumlah empat tidak bisa dipahami secara mutlak sebagai batas maksimum. Tidak terdapat sejarah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW. menyuruh umatnya menikah lagi setelah punya isteri satu atau menyuruhnya menikah lagi sampai memiliki empat isteri. Perintah yang ada adalah menceraikan isteri dari sepuluh menjadi tinggal empat. Ini mengarah pada monogami, bukan dari monogami satu isteri menjadi poligami dengan empat isteri.

Larangan berpoligami itu berbeda ketika diterapkan pada orang yang sudah lama masuk Islam, cerdas dan bukan muallaf. Dengan tegas Nabi Muhammad SAW melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami, yakni akan memadu Fatimah binti Rasulullah SAW dengan Juwairiyah binti Abi Jahl.[4] Larangan tersebut dinyatakan terang-terangan secara umum di atas mimbar sebagai berikut:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ وَهُوَ عَلَى الْمنْبَرِ إنَّ بَنِى هِشَامِ بْنِ الْمُغِيِْرَةِ اسْتَأْذَنُوْا فِىْ أنْ يُنْكِحُوْا ابْنَتَهُمْ عَلِىَّ ابْنَ أبِىْ طَالِبْ فَلا أَذَنُ ثُمَّ لا أذَنُ ثُمَّ لاَ أذَنُ إلاّ أنْ يُريْد ابْنُ أبِى طَالِبِ أنْ يُطَلّقَ ابْنَتِىْ وَ يَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإنّمَا هِىَ بِضْعَةٌ مِنىّ يُرِيْبُنِىْ مَا أرَابَهَا وَ يَؤذِيْنِىْ مَا أذَاهَا

(”Bahwasanya Miswar bin Makhramah mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar: Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta ijinku untuk menikahkan puterinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak ijinkan, aku tidak ijinkan, aku tidak ijinkan kecuali jika Ali bin Abi Thalib menyukai untuk menceraikan puteriku dan menikahi puteri keluarga Hisyam. Sesungguhnya puteriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku“) (HR Muslim) [5]

Umat Nabi Muhammad SAW yang bisa memahami hadis tersebut dan dapat menggabungkan pemahamannya dengan maksud ayat-ayat ke 3 dan ke 129 surat al-Nisa’, dapat dipastikan akan berkesimpulan hendaknya menjauhi poligami. Poligami itu dilarang secara halus. Larangan itu tidak perlu ditegaskan sebagai larangan yang makruh atau haram.

Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan kepada umatnya. Disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang disampaikan secara umum:

مَنْ كَانَتْ لَهُ اِمْرَأتَانِ فَمَالَ إلَى إحْدَاهُمَا دُوْنَ الأخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ شِقُّهُ مَائِلٌ. رواه أحمد و الأربعة

(Barang siapa yang mempunyai dua isteri sehingga ia berat sebelah kepada salah satunya, kelak ia akan datang pada hari kiamat dengan salah satu bahunya miring” (HR. Ahmad dan empat ahli hadis)[6]

Peringatan Rasulullah SAW itu tentu saja bukan hanya berkaitan dengan masalah keadilan di dunia tetapi berkaitan dengan nasib di masa depan yang jauh. Nabi Muhammad SAW tentu saja tidak senang melihat umatnya nanti dalam keadaan miring ketika dikumpulkan pada hari kiamat, maka jauh-jauh hari beliau sudah memberikan peringatan demikian itu.

Al-Quran (QS. al-Nisa’/4:3) secara utuh memperingatkan bahwa berpoligami hendaknya dijauhi oleh siapa saja yang sedang berjalan menuju tingkat ketaqwaan yang tinggi, yakni dekat pada keadilan dan jauh dari berbuat aniaya. Berlaku adil itu adalah jalan menuju taqwa. Allah SWT berfirman, yang artinya: ... Berlaku adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada taqwa...)(QS. Al-Ma’idah/5:8)

Melalui surat al-Nisa’ ayat 3 umat Islam dibim-bing secara halus agar terus meningkatkan ketaqwaan dan tidak lagi berkutat terus dalam permainan duniawi dengan pemuasan nafsu biologis yang fana ini. Kehalusan bimbingan ini merupakan wujud larangan poligami yang tidak drastis.

’Larangan’ poligami bagi umat Islam untuk sementara di dunia ini justru dapat memberikan sema-ngat untuk bisa masuk surga. Misalnya kaum laki-laki muslim dilarang memakai pakaian dari bahan sutra dan dilarang minum dengan mempergunakan tempat minuman dari emas, tetapi nanti di surga diberikan perhiasan-perhiasan itu. sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis berikut ini.

عَنْ حُذَيْقَةَ رَضِيَ الله عَنهُ فَالَ: إنَّ النَّبِىَ صلَّ اللهُ عليهِ و سلم نَهَانَا عَنِ الحَريْرِ و الدِيْبَاجِ والشُّرْبِ فِى آ نِيَةِ الذَّهَبِ والقِضَّةِ وَ قاَلَ هُنَّ لَهُمْ فِى الدُّنيَا و هِىَ لكُمْ فِى االآخِرَةِ – متفق عليه.

(Hudzaifah RA. berkata: “Nabi SAW telah melarang kami memakai sutra tipis dan tebal dan minum dalam wadah emas dan perak, dan beliau bersabda: Itu semua untuk mereka orang kafir di dunia, dan untuk kamu di akhirat) (HR. Bukhori Muslim)

Dalam hal ganjaran ini Allah SWT telah berfirman, yang artinya: “(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra” (QS. Fatir/35:33). Demikian juga terhadap perempuan-perempuan yang diinginkan padahal sudah punya isteri, maka diperintahkan untuk menahan nafsunya saat di dunia ini. Pada saatnya nanti di surga akan dikelilingi oleh bidadari-bidadari yang bermata jeli, sebagaimana diterangkan dalam al-Quran yang artinya: “Dan di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang bermata jeli” (QS. Al-Waqi’ah/ 56: 22).

Upaya menahan diri agar tidak berpoligami mengumbar nafsu inilah yang akan diganjar nanti di surga. Semua ini menunjukkan bahwa al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3) itu mengarah pada seruan untuk bermonogami, yang berarti ‘melarang’ berpoligami hanya dalam waktu sementara di dunia fana ini. Kebijakan melarang poligami tidak drastis, tetapi secara bertahap bersamaan dengan tumbuhnya keinsafan umat manusia itu sendiri sampai dengan memahami apa dan bagaimana sebenarnya poligami itu menurut al-Quran.

Pada masyarakat yang sudah mengikuti jejak Nabi dalam menghargai perempuan maka poligami sudah tidak lagi menjadi tradisi. Kehidupan kaum perempuan, baik yang janda ataupun yang yatim sudah terlindungi dengan aturan yang disepakati oleh masyarakat, baik yang tidak tertulis, yakni masih berupa budaya maupun yang sudah diundangkan seperti Kompoilasi Hukum Islam di Indonesia itu.

Adapun ketentuan hukum mubah dan sunnahnya poligami itu adalah berasal dari ijtihad orang, maka ijtihad orang lain lagi yang menyatakan bahwa poligami itu makruh tentu saja juga bisa dipertimbangkan keabsahannya. Kemakruhan perceraian itu karena dibolehkannya bercerai kalau keadaannya darurat. Kiranya demikian juga kemakruhan poligami itu, yakni boleh berpoligami karena keadaannya darurat, sebagaimana ada yang menyebutnya bahwa poligami itu sebagai ”pintu darurat kecil“. Ini dapat dimaklumi mengingat bahwa poligami itu tidak pernah diperintahkan dan juga tidak dilarang secara drastis.

Perlu diperhatikan bahwa amal yang diterima oleh Allah SWT adalah amal yang pelaksanaanya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan diperintahkan kepada umatnya. Nabi Muhammad SAW bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ – رواه مسلم

(Barang siapa mengerjakan suatu amal yang tidak aku perintahkan, maka amal itu ditolak). (HR. Muslim).

Dengan memperhatikan hadis tersebut di atas, maka siapa saja yang hendak berpoligami dengan memakai dasar ajaran Islam seharusnya lebih dulu mendapatkan dalil yang memerintahkan, minimal ada dalil yang hanya menganjurkannya. Demikian ini karena amal-amal yang dikerjakan oleh umat Islam adalah amal yang wajib dan yang sunnah, yakni amal yang ada perintahnya, bukan amal makruh yang harus dijauhi, apalagi amal yang haram.

Sampai sejauh ini tidak ada perintah untuk berpoligami secara mutlak, semisal perintah shalat wajib atau amalan-amalan yang sunnah, seperti perintah shalat dluha, shalat witir, puasa sunnah tiga hari pada tiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan qomariyah, ta’jil berbuka puasa, membersihkan gigi, bersuci di kamar kecil dengan tangan kiri dan seterusnya sampai dengan mencium tapak tangan setelah melambaikannya kepada hajar aswad ketika bertawaf. Semua amal yang wajib dan sunnah ada dalil dan perintah untuk mengerjakan, dan setidak-tidaknya ada anjuran ringan untuk amalan sunnah.

Menentukan bahwa poligami sebagai suatu perbuatan yang makruh dan bahkan haram tidaklah berlebihan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat hukum nikah saja yang sudah jelas bahwa pernikahan itu diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bagi yang mampu untuk berkeluarga tetapi belum menikah, bisa berkisar dari wajib sampai dengan haram. Haramnya nikah disebabkan adanya niat akan menyakiti perempuan yang akan dinikahi.[7] Kedhaliman terhadap isteri ’tua’ dan juga terhadap isteri ’muda’ sudah tidak diragukan lagi. Hak isteri ’tua’ sudah jelas terkurangi dengan adanya isteri ’muda’, dan hak isteri ’muda’ dari awal sudah tidak dapat terpenuhi seutuhnya karena sudah harus berbagi dengan isteri ’tua’. Pengurangan hak demikian itu bagi seorang perempuan merdeka sudah jelas merupakan aniaya yang teselubung.

Ketika poligami itu dinyatakan sebagai amalan makruh maka hal ini mendekati kesesuaian. Tetapi apalah artinya memaksakan diri menentukan hukum makruh terhadap poligami kalau hanya berbantah dalam hal ijtihad saja. Bukan hanya yang makruh perlu dijauhi, tetapi yang syubhat pun mesti dihindari. Memang sering kelihatan bahwa amalan makruh itu dilakukan karena terpaksa. Biasanya amalan makruh itu karena dorongan egois yang membahayakan kesehatan (kesejahteraan) diri dan atau umat manusia di sekitarnya. Seperti hukum merokok, ada yang menyatakan makruh, bahkan ada juga yang menyatakan haram seperti di Mekkah, khususnya di sekitar Masjid al-Haram. Alasannya karena membahayakan diri dan juga mengganggu orang yang ada di sekitarnya.

Dengan memperhatikan kasus merokok tersebut di atas, maka sebagian umat Islam ada yang menghukumi poligami itu haram karena melihat tiadanya alasan yang jelas semisal adanya alasan yang dianggap darurat. Poligami yang sering terjadi dewasa ini bukan karena darurat tetapi hanya karena eksploitasi kekayaan belaka. Artinya, poligami bisa terjadi hanya karena adanya uang yang berlimpah.

Dengan memahami bahwa berpoligami itu mesti berbuat dhalim, dengan perlakuan yang tidak adil, maka tidak akan mungkin al-Quran menyuruh berpoligami. Larangan agar tidak berpoligami memang tidak diungkapkan dengan gaya bahasa yang melarang secara tegas, akan tetapi larangan demikian mudah dipahami. Bagaimana mungkin terjadi al-Quran itu menyuruh umat manusia untuk berbuat dhalim? Adapun dalil dari hadis, maka tidak pernah ada perintah Nabi Muhammad SAW untuk berpoligami. Nabi Muhammad SAW tidak akan mungkin memerintahkan umatnya untuk berlaku tidak adil atau berbuat aniaya melalui poligami.

Poligami dengan latar belakang berlimpahnya kekayaan dan kekuasaan tidak dipermasalahkan oleh Islam kalau dengan para budaknya. Kiranya inilah jalan keluar bagi yang ingin meredakan nafsunya dengan banyak perempuan atau ingin menolong para budak untuk bisa menjadi merdeka. Tampak betapa indahnya ajaran Islam, bahwa kebolehan berpoligami itu dibarengi dengan niat atau tujuan yang sangat mulia, yakni memerdekakan para hamba sahaya. Jadi tampak jelaslah bahwa kebijakan melarang poligami itu tidak berbeda dengan melarang perbudakan, tidak terang-terangan, tidak drastis dan tidak berbenturan dengan kelaziman budaya setempat.

*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 39-51



Catatan Akhir

[1] Hasan Aedy, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan (Ban-dung: Alfabeta, 2007), 84

[2] Lihat Imam Ahmad, Musnad Ahmad, “Kitab Musnad al-Mukatstsirin Min al-Shahabah”. Hadis No. 4380

[3] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ al-Shahih , Sunan Al-Turmudzi (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Vol III), 435

[4] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Shahih Muslim (Ban-dung: Ma’arif, t.t Vol. 2), h. 376.

[5] Bukhori, Shahih Bukhori, kitab Nikah, Hadis No. 4829, Muslim, Shahih Muslim Kitab Al-Fadloil al-Shahabah, hadis No. 4482, Imam Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi Kitab al-Manaqib hadis No. 3802. Imam Abu Daud, Sunan Abi daud, Kitab al-Nikah, hadis No. 1773, Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Nikah, hadis No. 1988, Imam Ahmad, Musnad Ahmad Kitab al-Musnad al-Kufiyyin, hadis No. 18164

[6] Lihat Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah, Hadis No. 1821; Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah, Hadis No. 1959

[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1997), 382.