Selasa, 05 Januari 2010

VERIFIKASI PEMBENARAN POLIGAMI*

Hampir semua orang yang berpoligami adalah para tokoh atau yang ditokohkan oleh masing-masing komunitasnya. Berbeda-beda status ketokohan mereka, ada tokoh politik, tokoh pengusaha, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Masing-masing tokoh itu berpoligami, biasanya karena ada tokoh agama yang berani berpoligami atau tidak berpoligami tetapi dia memperbolehkan poligami dengan berbagai alasan. Orang-orang awam yang berpoligami pada umumnya hanya meniru tokoh mereka, alasannya tidak apa-apa, tidak ada yang melarang.
Alasan-alasan berpoligami itu sering kali dikatakan berdasarkan pada ajaran Islam. Dalam prakteknya selalu terjadi kedhaliman dengan ketidakadilannya itu. Koreksi tentang alasan-alasan bolehnya berpoligami ini menjadi sangat penting dan perlu karena sebenarnya ajaran Islam itu tidak untuk melegalkan kedhaliman, justru sebaliknya, yakni kehadiran Islam itu adalah untuk menghapus kedhaliman. Diharapkan dengan koreksi ini dapat diketahui kebe-naran atau kekeliruan alasan-alasan untuk berpoligami selama ini.
Koreksi alasan-alasan berpoligami ini merupakan hasil ijtihad. Meskipun suatu hasil ijtihad tidak mutlak bisa menghapus ijtihad sebelumnya tetapi usaha untuk mendekati kebenaran perlu dikemukakan sehingga dapat dijadikan wawasan untuk terus meningkatkan kualitas ijtihad berikutnya.
Alasan-alasan berpoligami yang tidak terbukti kebenaran dasarnya pada ajaran Islam akan tampak dengan lebih jelas bahwa alasan-alasan itu tidak bisa dipedomani. Alasan-alasan demikian itu cukup untuk diketahui saja agar tidak terulang lagi. Berikut ini secara rinci alasan-alasan yang sering dipakai untuk berpoligami.

1. Alasan-1: Untuk Mendapat Keturunan
Ada pendapat yang memperbolehkan berpoligami untuk mendapat keturunan. Nabi Muhammad SAW. tidak menerangkan niat beliau untuk mendapat keturunan dari isteri-isteri beliau ketika berpoligami. Memang beliau memiliki seorang bayi dari isterinya, Maria (al-Qibthiyah), seorang budak yang dihadiahkan kepada beliau dari seorang penguasa, Raja Muqauqis dari Iskandariyah, yang lebih dikenal sebagai Gubernur Mesir, namun bayi itu meninggal ketika masih kecil kurang lebih berumur 11 bulan.
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Maria memberikan pengajaran praktis bahwa beliau memperlakukan budak dengan sangat baik. Beliau bukan hanya memerintahkan saja untuk berlaku baik terhadap para budak, tetapi beliau menerapkan juga perintahnya itu.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ أبِى مُوْسَى الأشْعَرِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثَلاثَةٌ لَهُمْ أجْرَانِ: رَجُلٌ مِنْ أهْلِ الكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَ آمَنَ بِمُحَمَّدٍ, وَ الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إذََا أدّىَّ حَقَّ اللهِ وَ حَقَّ مَوَالِيْهِ وَ رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أمَةٌ فَأدَّبَهَا فَاحْسَنَ تَاْدِيْبَهَا وَ عَلَّمَهَا فَاحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أجْرَانِ- مَتَّفَقٌ عَلَيْهِ
(Dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tiga macam orang yang mendapat pahala mereka lipat dua kali, ialah ahli kitab yang telah beriman kepada Nabinya kemudian beriman pula kepada Muhammad, dan seorang hamba sahaya jika menunaikan kewajiban terhadap Allah dan terhadap majikannya, dan orang yang memiliki budak perempuan lalu dididik dan diajari sehingga berakhlaq dan pandai, kemudian dimerdekakan dan dinikahi maka ia mendapat pahala lipat dua kali) (HR. Bukhari Muslim).
Al-Quran dan hadis tidak memerintahkan berpoligami dengan alasan apa pun, termasuk untuk mendapat keturunan. Pernikahan yang dibentuk dengan tali yang kokoh (Mitsaqan Gholidhoh) tidak layak kalau timbul permasalahan dalam pernikahan itu hanya karena adanya keinginan yang sepihak, yakni keinginan untuk mempunyai anak dengan cara poligami. Anak angkat sering kali bisa lebih baik dan bisa menghilangkan sifat egois yang berlebihan. Tidak ada dalil yang mewajibkan semua orang untuk mempunyai anak. Lebih tidak patut lagi kalau perintah berpoligami dengan alasan untuk mendapat keturunan itu didasarkan pada al-Quran dan hadis. Jelas sekali bahwa alasan berpoligami untuk mendapat keturunan tidak berasal dari ajaran Islam.

2. Alasan-2: Keadaan Darurat
Ada anggapan bahwa tidak ada dasar untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya, maka dimunculkan istilah “pintu darurat kecil”. Keadaan darurat itu menimbulkan suatu tindakan yang tidak dikehendaki tetapi harus dilakukan dengan terpaksa. Keadaan ini dicontohkan dengan pengandaian, yakni kalau seorang isteri tidak mampu melayani suaminya secara biologis, misalnya karena sakit parah.
Keadaan darurat demikian itu merupakan suatu keadaan yang sangat memperihatinkan dan menyedihkan. Usaha untuk menyembuhkan isteri yang sakit parah itu menjadi prioritas utama. Usaha suami demikian itu merupakan suatu kewajiban dengan pahala yang sangat besar dan suatu keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari suatu pernikahan yang mulia dan tulus.
Seorang laki-laki ketika berada dalam keadaan sangat menyedihkan tidak mudah muncul dorongan nafsu syahwatnya. Sangatlah aneh kalau seorang suami yang sedang susah mempunyai keinginan untuk memuaskan nafsunya dengan berpoligami. Tidak ada nafsu syahwat ketika bersedih. Poligami pada keadaan darurat demikian ini justru menunjukkan betapa tega dan sampai hati seorang suami berbuat demikian, pada saat-saatnya si isteri sakit dan memerlukan bantuan ternyata sang suami bersenang-senang dengan isteri yang baru. Al-Quran dan hadis tidak mengajarkan sifat demikian, apalagi terhadap isteri sendiri. Sangatlah tidak masuk akal kalau Islam mengijinkan berpoligami dengan alasan keadaan darurat sedemikian itu.

3. Alasan-3: Menghindari Perzinahan
Ada orang yang menganggap bahwa berpoligami itu dibolehkan dengan alasan bahwa monogami itu dapat berdampak pada hubungan illegal di luar pernikahan dan prostitusi, lalu Islam ingin membuka sebuah hubungan tanpa adanya ’kumpul kebo’ yang dirahasiakan yang merusak masyarakat. Anggapan ini sama saja dengan maksud orang yang mengatakan demikian: „Dari pada nikah sirri atau berbuat zinah lebih baik melakukan poligami secara resmi“. Maksud perkataan ini sama kelirunya dengan ucapan seseorang yang katanya ditokohkan, demikian ucapannya: „Poligami merupakan pilihan yang paling bijaksana jika dibanding dengan TTM alias teman tapi mesum”.
Anggapan keliru tersebut sangat perlu untuk segera diluruskan. Islam tidak menyuruh berpoligami sebagai jalan keluar dari pandangan mata maksiat ataupun perzinahan. Tidak pernah ada perintah agar menikah lagi dengan perempuan lain yang dilihat dengan alasan supaya tidak berdosa kalau melihat lagi atau berkumpul dengan perempuan lain itu.
Orang yang menganggap bahwa berpoligami itu untuk memenuhi kebutuhan seksual yang bermula dari pandangan maksiat tidaklah tepat karena pada saatnya nanti ketika melihat perempuan yang lain lagi akan kambuh lagi keinginan untuk ’menghalalkan’ maksiatnya dengan menikah lagi. Kadang-kadang alasannya adalah karena memandang seorang anak perempuan yang ’imut-imut’ secara sepintas tidak sengaja tetapi terus tertarik dan kemudian minta ijin kepada isterinya yang akan dimadu untuk menikahi anak perempuan kecil itu. Begitu alasannya untuk menikah lagi dan menikah lagi sampai tiba ajalnya atau berkesempatan untuk bertobat karena mendapat pertolongan Allah SWT.
Para pelaku poligami dengan alasan menghindari perzinahan ini pintar berargumentsi tetapi tidak memiliki ilmu untuk bisa mengendalikan nafsu syahwatnya. Mereka itu diragukan kesetiaan terhadap isterinya dan apalagi terhadap agama Islam yang menyuruh setia pada isterinya dan mengajarkan cara pengendalian nafsu, yakni dengan berpuasa yang baik.
Perzinahan itu hanya bisa dicegah dengan tidak berzinah dan menjauhi perzinahan. Memperbolehkan poligami dengan alasan menghindari perzinahan adalah pelecehan terhadap ajaran Islam. Perbuatan ’kumpul kebo’ selalu dimulai dari pelanggaran terhadap ajaran Islam, yakni melanggar larangan untuk dekat-dekat dengan perzinahan, minimal dengan mencuri-curi pandang pada perempuan bukan mahramnya. Nabi Muhammad SAW berpoligami bukan untuk menghalalkan setelah memandang-mandang kemudian tertarik. Betapa besar dosa orang yang punya anggapan bahwa Nabi itu berpoligami sama seperti dirinya untuk menghindari perzinahan.
Poligami bukan jalan keluar dari perzinahan. Meskipun sudah berpoligami masih tetap saja berpeluang untuk berzinah dengan yang lainnya. Jadi sangat tidak patut orang Islam memiliki pertimbangan bahwa dari pada berzinah lebih baik berpoligami. Pendapat demikian ini bisa disebut sebagai sebuah ’nyanyian setan’, sama sekali tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis,

4. Alasan 4: Melatih Diri Berlaku Adil
Ada yang beranggapan bahwa orang berpoligami itu sekedar uji coba, mampukah berlaku adil. Kalau ternyata tidak mampu berlaku adil maka wajib kembali dengan satu isteri. Kalau ternyata mampu berlaku adil berarti memenuhi syarat untuk diteruskan. Islam tidak akan mungkin mengajarkan latihan berlaku adil dengan cara berpoligami, karena al-Quran menjelaskan bahwa siapa saja yang berpoligami tidak akan mampu berlaku adil (QS. al-Nisa’: 129).
Lebih naif lagi ketika disimpulkan bahwa berpoligami itu berkaitan dengan masalah kemampuan secara material sebagaimana ibadah haji. Ini berarti siapa saja yang mampu membiayai hidupnya dengan banyak isteri boleh berpoligami, dan yang tidak mampu tidak boleh. Ini jelas berbeda dari masalah haji. Kewajiban berhaji itu bagi orang yang mampu sehingga kalau tidak mau berhaji maka berdosa, sedangkan orang yang mampu secara material tetapi tidak mau berpoligami dia tidak berdosa. Tidak ada kewajiban berpoligami meskipun mampu secara material. Ini penting dijelaskan sedemikian rupa jelasnya karena fatalnya kesalahan dalam memahami al-Quran surat al-Nisa’/4: 3.
Kesalahan yang fatal tersebut di atas merupakan akibat dari kesalahkaprahan menjadikan ’adil’ sebagai syarat poligami. Demikian ini tidak lain hanyalah disebabkan tidak adanya ketelitian dalam memahami struktur bahasa al-Quran, sehingga tidak paham dengan semestinya maksud ayat-ayat al-Quran yang dikaitkan dengan poligami. Tiadanya pengertian demikian ini selanjutnya menyebabkan adanya upaya untuk memenuhi syarat adil itu kalau ingin berpoligami.
Poligami dengan alasan untuk melatih diri dan meningkatkan kemampuan membiayai dan berlaku adil sangat dekat dengan kesombongan, yakni merasa telah mampu melaksanakan keadilan pada pernikahan yang pertama, yang perlu diuji lagi dengan pernikahan yang kedua dan seterusnya. Demikian ini sangat dekat dengan perilaku pamer atau riya’ tentang kemampuan dalam mengatur dan membiayai banyak perempuan. Poligami untuk latihan berlaku adil itu tidak berdasarkan pada ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW menikahi isteri-isterinya bukan untuk melatih diri meningkatkan kemampuan dalam berlaku adil ataupun dalam membiayai isteri-isterinya secara material.

5. Alasan-5: Menjinakkan Nafsu yang Liar
Ada yang memperbolehkan berpoligami dengan alasan bahwa nafsu seksual kaum laki-laki yang lebih tinggi dari rata-rata umum akan bergeliat dan menjadi liar manakala syariat Allah SWT tidak mem-bukakan jalan. Poligami dianggap jalan yang terbaik untuk menjinakkan nafsu seksual kaum laki-laki. Dalam hal nafsu syahwat, semua laki-laki yang ‘kesetanan’ tidak akan merasa cukup dengan satu perempuan. Nafsu seksual laki-laki tidak bisa jinak dengan berpoligami.
Al-Quran dan hadis tidak menerangkan bolehnya berpoligami meskipun kekuatan nafsu syahwatnya tidak bisa dipuaskan dengan seorang perempuan. Islam mengajarkan agar berpuasa dengan baik untuk meredam gejolak nafsu syahwat yang kuat. Sejak dari awal Islam menganjurkan untuk menikah agar dapat merundukkan pandangan syahwat. Kalau sudah menikah tetapi masih saja belum dapat merundukkan pandangan syahwatnya, yakni masih saja ingin menikah lagi ketika melihat perempuan lain yang menarik, maka itu sebetulnya sama saja dengan adanya keinginan untuk pamer keperkasaan.
Tidak semua keinginan harus dipuaskan, meskipun kelihatannya dihalalkan atau diperbolehkan. Islam tidak mengajarkan bahwa berpoligami itu jalan untuk memuas-muaskan nafsu. Semua orang tahu bahwa tidak ada penyakit yang berlebihan dalam nafsu syahwat kecuali karena memang dibuat-buat sendiri. Sungguh sangat naif sekali menyandarkan pada al-Quran alasan bolehnya berpoligami karena kuatnya nafsu.

6. Alasan-6: Kelebihan Jumlah Perempuan
Kaum perempuan memiliki hak pilih dan hak untuk menolak pinangan. Namun demikian kaum lelaki mempunyai keaktifan untuk lebih dulu memilih perempuan yang akan dijadikan isterinya. Kaum perempuan menjadi sasaran untuk dipilih. Dengan demikian banyaknya jumlah perempuan yang melebihi jumlah laki-laki menjadi suatu keniscayaan. Tidaklah masuk akal kalau jumlah pilihan sama atau lebih sedikit dari pada jumlah yang memilih.
Berpoligami dengan alasan kasihan pada kaum perempuan yang tidak bersuami karena jumlahnya lebih banyak dari pada kaum laki-laki merupakan kebalikan dari poligami dengan alasan darurat. Dalam kasus jumlah perempuan lebih banyak dari pada kaum laki-laki maka keadaan darurat itu bukan bagi seorang suami. Poligami bukan lagi sebagai ”pintu darurat kecil” tetapi berubah menjadi ”pintu gerbang kasih sayang” karena berpoligaminya dengan alasan kasihan terhadap kaum perempuan yang belum pernah dinikahi.
Pada kasus poligami yang darurat saja sudah kelihatan bahwa alasannya dibuat-buat, maka pada kasus ”pintu gerbang kasih sayang” ini lebih tampak nyata bahwa alasan itu dibuat-buat agar poligaminya dianggap sebagai suatu kebaikan. Ada pergeseran alasan mengarah pada kehalusan, dari ’terpaksa’ menjadi ’kebaikan hati’. tetapi tujuan tetap sama, yakni supaya diperbolehkan berpoligami. Inilah salah satu perangkap setan.
Islam tidak mengajarkan poligami dengan alasan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Nabi Muhammad SAW menikah setelah Khadijah RA wa-fat bukan karena banyaknya jumlah perempuan. Berpoligami dengan alasan demikian jelas bukan ajaran Islam.

7. Alasan-7: Membesarkan Asma Allah
Ada seorang perempuan yang dimadu memberikan pengakuan bahwa berpoligami yang didasarkan pada Allah SWT. tidak akan menimbulkan masalah, bahkan enak dan perlu bagi perempuan dan laki-laki sebagai pendidikan hati untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan “poligami yang didasarkan pada Allah”.
Poligami dianggap sebagai pendidikan hati agar mudah membesarkan asma Allah. Islam tidak mendidik hati melalui poligami. Demikian juga untuk membesarkan asma Allah tidak perlu dengan berpoligami. Ucapan seorang perempuan yang sedang dimadu seperti itu hanyalah sebuah kemasan dari orang pintar untuk menutup-nutupi agar orang lain mengira bahwa poligami yang dilakukan oleh suaminya itu baik dan tidak menyakiti hatinya. Ini terbukti dengan pengakuannya bahwa kalau suaminya sedang asyik dengan isterinya yang lain maka mereka bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar. Kapan membesarkan asma Allah, kalau sedang ditinggal oleh suaminya diisi dengan mengobrol?
Pengakuan yang dikemukakan perempuan tersebut di atas menunjukkan kelemahannya dan itu hanyalah suatu apologis dari orang pandai yang terdhalimi dan berusaha untuk menutup-nutupi kedhaliman suaminya. Al-Quran dengan jelas menerangkan bahwa berpoligami itu berbuat kedhaliman dengan berlaku tidak adil. Islam tidak menganjurkan poligami apalagi dengan alasan untuk mendidik hati, karena yang terjadi adalah kedhaliman.
Perlu dipahamkan berulang-ulang bahwa tidak ada anjuran dan apalagi perintah untuk membesarkan asma Allah dengan berpoligami. Pada umumnya orang-orang yang banyak berdzikir dan membesarkan asma Allah SWT sangat berhati-hati dan sibuk dengan bertasybih sendiri, dan tidak terlintas dalam benaknya istilah poligami. Jelaslah bahwa berpoligami dengan alasan demikian tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.

8. Alasan-8: Melindungi Kaum Perempuan
Belakangan banyak poligami dengan alasan untuk melindungi kaum perempuan. Biasanya perempuan yang dimaksud adalah seorang janda. Alasan yang sebenarnya untuk melindungi atau hanya pura-pura saja, semua itu diketahui oleh Allah SWT. Perlu introspeksi secara jujur. Boleh jadi niat menolong dan melindungi itu karena telah lebih dulu memperhatikan kecantikan janda itu kemudian mencari alasan supaya dianggap layak untuk berpoligami. Poligami dengan alasan demikian ini jelas tidak berdasarkan al-Quran ataupun hadis.
Niat melindungi perempuan itu baik, akan tetapi kalau niat itu muncul setelah lebih dulu tertarik pada paras kecantikannya, maka sebetulnya terhadap perempuan yang ingin dinikahi untuk menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat itu saja sudah ada niat menipu. Tidak setulusnya untuk melindungi. Ini jelas bukan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW. meminang seorang janda dari jauh setelah mendengar berita bahwa janda itu perlu dilindungi agamanya, tanpa dilihat-lihat lebih dulu paras kecantikannya.
Di samping itu perlu diketahui bahwa praktek poligami dengan niat melindungi itu tidak sama dengan peristiwa yang diceritakan dalam al-Quran, bahwa seorang anak (perempuan) yatim kaya yang perlu dilindungi itu adalah karena berada dalam “kungkungan” walinya sendiri yang ingin menikahi dengan niat menguasai harta pusaka anak yatim itu, yang menurut adat jahiliyah diperbolehkan. Allah SWT menjelaskan agar tidak terjadi kebiasaan dhalim terhadap anak yatim itu. Allah berfirman yang artinya demikian:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para perempuan. Katakanlah “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran, (juga menfatwakan) tentang para perempuan yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya” (QS. An-Nisa’/4: 127)
Dalam kenyataannya poligami yang terjadi dewasa ini menyimpang sangat jauh, bahwa yang dipahami adalah melindungi anak yatim, baik laki-laki ataupun perempuan dengan cara menikahi ibunya yang janda itu. Jadi sekarang ada anggapan dibolehkan berpoligami dengan menikahi seorang janda dengan alasan menolong. Sayang sekali pertolongan itu sering justru menyakiti isteri yang pertama, dan tentu saja tidak ada ajaran Islam yang membiarkan cara ’belah bambu’ dengan menjunjung yang satu dan menginjak yang lain. Membantu atau menolong sesama tidak harus dengan cara melukai hati yang lainnya, apalagi kalau yang disakiti itu adalah hati isterinya sendiri.
Seringkali alasan yang dikemukakan adalah hendaknya tidak hanya memperhatikan isteri pertama yang sakit hati tetapi juga perlu diperhatikan isteri kedua, ketiga atau keempat yang merasa dilindungi, apalagi kalau seorang janda. Alasan sakit hati itu juga dianggap hanya muncul karena adanya pandangan bahwa poligami itu sebagai sesuatu yang buruk. dan kalau poligami itu dianggap sebagai sesuatu yang baik maka tidak akan sakit hati bahkan bersedia mencarikan isteri lagi bagi suaminya dengan suka rela sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan ‘aktivis’ muslimah. Ini semua hanyalah alasan yang berdasarkan anggapan bahwa poligami itu baik. Anggapan itu sendiri tidak berdasar dan dipaksakan sebagai doktrin oleh kekuatan hegemoni kaum lelaki.
Memang, rasa suka rela itu bisa muncul kalau sudah beranggapan bahwa poligami itu baik. Permasalahannya di sini adalah bahwa anggapan itu bukanlah dasar kebenaran untuk beramal. Lagi pula sudah sangat jelas bahwa berpoligami itu berbuat ketidakadilan (QS. An-Nisa’/4:129), dan ketidakadilan itu jelas tidak baik. Kaum perempuan yang rela dalam ketidakadilan itu tentu saja karena berbagai sebab. Sebab utamanya adalah tidak mengerti bahwa mereka mempunyai hak untuk tidak didhalimi dan atau tidak punyai keberanian untuk menuntut haknya itu.
Selanjutnya perlu diingat kembali bahwa menjaga anak yatim itu adalah tugas atau kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Jadi tidak perlu dipaksakan melindungi anak yatim dengan cara menikahi ibunya. Lagi pula membantu anak yatim tidak harus menikahi ibunya. Jadi poligami dengan menikahi para janda dengan dasar ayat 127 surat al-Nisa’ tersebut adalah tidak benar.

9. Alasan-9: Mengikuti Sunnah Nabi dan Dakwah
Ada seorang perempuan yang membiarkan suaminya berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah dan demi dakwah. Perlu diingat kembali bahwa menikah dengan seorang perempuan itu melaksanakan sunnah Nabi. Menikah itu memang diperintah oleh Nabi bagi yang sudah mampu untuk berumah tangga, tetapi Nabi tidak pernah memerintahkan untuk berpoligami dengan alasan apa pun.
Dakwah itu merupakan suatu keharusan, tetapi dakwah itu tidak harus dengan berpoligami. Nabi Muhammad SAW menikah dengan salah satu isterinya bernama Juwairiyah adalah untuk berdakwah sehingga diikuti oleh sekian banyak kaum Bani Musthaliq yang masuk Islam. Kenyataan sekarang ini orang berpoligami meskipun dengan niat dakwah tetapi tidak diikuti oleh sejumlah kaum keluarga perempuan itu untuk masuk Islam. Mereka sudah beragama Islam. Kesamaan niat dakwah dengan kondisi masyarakat yang didakwahi mesti dipenuhi kalau memang berpoligaminya itu dengan niat berdakwah.
Ada yang sudah menginsafi bahwa orang yang berpoligami dengan alasan mengikuti sunnah Nabi adalah orang yang terlalu sombong. Boleh jadi kesombongan itu adalah karena menganggap dirinya sama dengan Nabi. Dalam kasus ini terdapat kecerobohan, yaitu membawa-bawa serta nama Nabi. Jadi berpoligami untuk mengikuti sunnah Nabi dan dakwah ini hanyalah upaya untuk melegalkan saja agar dianggap layak berpoligami, Ini bukan ajaran Islam.

10. Alasan-10: Kebolehan Berpoligami
Berpoligami dengan alasan bahwa Islam membolehkan. Alasan ini paling mendasar. Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 dijadikan sebagai dasar bolehnya berpoligami. Koreksi alasan berpoligami dengan dasar demikian adalah koreksi tehadap pemahaman maksud ayat yang dianggap memperbolehkan poligami.
Tidak ada ayat al-Quran yang menyatakan bolehnya berpoligami tanpa resiko dosa berbuat aniaya yang dilarang oleh Islam. Kalau para pelaku poligami itu tidak memerlukan dalil diperbolehkannya berpoligami maka jelaslah disini kelalaiannya. Semua amal peribadatan yang boleh dilakukan oleh umat Islam memiliki dasar ajaran agama, yakni ada perintahnya.
Al-Quran surat al-Nisa’/4: 3 yang dianggap sebagai dasar bolehnya berpoligami itu terbukti justru mengingatkan agar tidak berpoligami dengan perempuan merdeka. Tidak mudah bagi ’pemula’ untuk memahami ayat demikian. Ummi Zahrah mengatakan: ”Poligami itu kan halal, nggak menimbulkan efek samping, ketimbang ’jajan’ yang bisa menimbulkan penyakit menular”. Ucapan ini adalah contoh pemahaman seorang muslimah ’pemula’ itu yang belum bisa mamahami maksud ayat tersebut.
Inti permasalahan ada pada dua hal, yaitu pemahaman pada ayat suci al-Quran dan pemahaman terhadap tujuan pernikahan ’poligami’ Nabi, yakni tujuan Islam itu sendiri. Terhadap ayat yang sering diang-gap memperbolehkan berpoligami hendaknya diteliti lagi sehingga jelas maksud yang dikandung. Tidak akan terdapat pemahaman yang kontradiksi antara maksud ayat itu dengan ’poligami’ Nabi.
Maksud utama ayat tersebut dengan tujuan utama dakwah Islamiyah mesti searah. Kalau maksud ayat itu memperbolehkan berpoligami yang berarti memperbolehkan berbuat dhalim dengan ketidakadilannya itu, maka ayat itu bertentangan dengan tujuan Islam. Ini tidak mungkin. Islam justru bertujuan untuk menghapus kedhaliman itu sendiri dengan cara yang tidak dhalim. Jadi tujuan ayat tersebut bukan memperbolehkan berpoligami. Al-Quran dan hadis menyatakan kebolehan beristeri lebih dari satu kalau dengan para budaknya sendiri. Tujuannya kelihatan jelas, yakni memperlakukan budak itu dengan baik dan memerdekakan keturunan budak itu. Jadi diperbolehkan berpoligami dengan para budak tanpa dibatasi jumlahnya karena mempunyi akibat yang baik bagi budak itu sendiri dan utamanya bagi keturunannya.
Apa yang dikeluhkan oleh seorang yang ditokohkan setelah berpoligami adalah suatu bukti nyata bahwa poligami itu tidak dianjurkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Keluhannya demikian: “Saya punya perusahaan lebih dari satu, karyawan banyak, tapi itu gampang ngurusnya. Tapi ini isteri lebih dari satu, aduh....” Keluhan itu tentu hanya muncul karena ada kekeliruan dalam amalan berpoligami. Berpoligami dengan mengawini perempuan merdeka sama halnya dengan menjadikan mereka sebagai budak, Perilaku demikian ini tentu saja tidak Islami, dan akibatnya muncul keluhan-keluhan. Kalau yang diurus banyak itu berstatus sebagai budak seperti para karyawan yang banyak itu, maka tidaklah menimbulkan keluhan–keluhan.
Islam tidak menganjurkan amalan yang menimbulkan keluhan-keluhan. Apabila perempuan merdeka yang dikawini itu ternyata memang berjiwa budak atau mau menurunkan derajatnya menjadi sebagai seorang budak, dengan kemauannya sendri atau karena dipaksa, tentu tidak akan ada keluhan mengenai sulitnya mengurusi isteri lebih dari satu. Namun demikian, di situ ada kedhaliman. Pada umumnya, hati nurani perempuan itu belum bisa rela kalau suaminya menikah lagi. Setiap isteri tidak siap menghadapi kenyataan suaminya jatuh cinta lagi kepada perempuan lain walaupun isteri ini telah menyetujui suaminya berpoligami.
Kiranya masih banyak lagi alasan lainnya untuk berpoligami yang tidak tercakup dalam kajian ini. Namun demikian cukuplah kajian ini sebagai acuan untuk analog pada alasan-alasan lainnya, yang tidak berdasarkan pada al-Quran dan hadis.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 52-72

1 komentar:

Semoga Anda berkenan