Jumat, 08 Januari 2010

PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN Vs POLIGAMI*

PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN Vs POLIGAMI*

Kekuasaan kaum lelaki terhadap kaum perempuan hanya karena ditopang dengan kekuatan fisik dan materi atau kekayaan dan kadang-kadang dengan kekuatan spiritual. Hegemoni kaum lelaki yang tidak dibendung ini berangsur-angsur bisa menciptakan tradisi ketidakberdayaan kaum perempuan, sebagaimana pernah terjadi di jazirah Arab sebelum Islam diturunkan, dan juga di daerah atau wilayah lainnya yang masih berhukum rimba. Pada keadaan seperti itu poligami dengan perempuan yang merdeka menjadi suatu hal yang biasa, tidak ada halangan, dianggap sebagai suatu keniscayaan dan bahkan dipertahankan.
Sudah sekian tahun dan sekian abad lamanya kebiasaan poligami itu menjadi sebuah tradisi bagi sebuah komunitas tertentu. Poligami hanyalah salah satu tradisi yang lahir dari hegemoni kaum lelaki. Tradisi ini dikemas menjadi sebuah budaya. Hegemoni masyarakat dengan ’budaya’ poligami ini terus dipertahankan bahkan disebarkan kepada masyarakat lainnya. Masyarakat beragama yang bersentuhan dengan ’budaya’ poligami tersebut ada yang menerima. Penerimaan ’budaya’ poligami ini karena cocok dengan sifat kaum lelaki yang berkeinginan untuk ikut menikmati hegemoni itu, ikut-ikutan mempertahankan dan bahkan mecarikan legalitasnya dari agama.
Al-Quran (QS. al-Nisa/4: 3) dengan pemaksaan makna secara apriori dijadikan dasar bolehnya berpoligami. Jadilah poligami dianggap sebagai ’sunnah’ Nabi. Ini jauh dari maksud ayat itu secara utuh. bahkan bertentangan. Surat al-Nisa (QS/4: 3) itu memperingatkan agar umat Islam meninggalkan ketidakadilan, yakni menikahi anak (perempuan) yatim yang berada dalam kungkungannya atau menikahi banyak perempuan yang merdeka. Agar adil dan dekat dengan ketaqwaan maka umat Islam diperintahkan menikah dengan satu saja perempuan yang merdeka atau boleh lebih dari satu perempuan yang menjadi budaknya. Jalan keluar berpoligami dengan para budak ini merupakan peringatan tegas dan praktis agar kaum lelaki memberdayakan kaum perempuan.
Seorang budak pada masa jahiliyah tidak diperhatikan hak-haknya seperti benda mati, tidak diperhatikan adanya hak untuk mencintai dan dicintai, sehingga dianggap pula tidak mempunyai hak untuk diperlakukan dengan adil. Para perempuan merdeka yang mau dimadu ketika itu juga tidak sempat memikirkan hak-haknya sebagai isteri, karena sudah terbiasa dan bahkan dibiasakan untuk tidak perlu berhak sepenuhnya mencintai suaminya, tetapi cukup menerima kedatangan suami dengan segala tingkah polanya, itu saja.
Hak-hak kaum perempuan merdeka dikurangi dan bahkan dibagi dengan isteri-isteri lainnya. Demikian ini karena mereka sudah terbiasa ’diidentikkan’ dengan budak yang tidak berdaya. Bisa jadi para perempuan merdeka yang mau dimadu itu karena terpaksa. Mereka merasa dan tahu bahwa haknya dikurangi tetapi tidak berani menuntut. Ini sering terjadi karena besarnya kekuasaan kaum lelaki yang tidak terbendung.
Mengubah kondisi kaum perempuan dari ketidakberdayaan menjadi komunitas yang berdaya, mandiri dan benar-benar merdeka tidaklah semudah membalikkan tangan. Islam diturunkan, salah satunya adalah untuk ini, yakni untuk memuliakan kaum perempuan dengan mengembalikan hak-hak sepenuhnya, yang semestinya untuk apa kaum perempuan itu diciptakan sebagai hamba Allah sehingga bisa mengembangkan fungsinya sebagai kholifah di bumi, meneruskan tugas Rasulullah SAW, khususnya untuk kemaslahatan dan terjaganya kemuliaan aurat kaum perempuan.
Perubahan yang dilaksanakan secara Islami tidak akan menimbulkan kerusakan. Perubahannya tidak drastis. Ini tidak mudah karena tidak semua umat Islam memahami, lagi pula adanya keinginan untuk mempertahankan hegemoni kaum lelaki. Pada tataran ini maka yang terjadi adalah pergulatan pemikiran yang apabila tidak mendapat hidayah bisa timbul fanatik buta, tanpa memahami kekeliruannya bahwa tradisi poligami ini bukan produk ajaran Islam. Ini tidak mudah dipahami oleh kaum awam. Praktek berpoligami yang berasal dari hegemoni kaum lelaki itulah yang dapat disamakan dengan perbudakan. Kaum perempuan merdeka dipaksa untuk mau dimadu sehingga sama saja dengan dipaksa untuk menurunkan status derajatnya menjadi sama dengan budak.
Begitu kuatnya hegemoni kaum lelaki sampai-sampai ada yang berani menyatakan bahwa menentang poligami adalah menentang syariat Islam, dan menentang syariat Islam berarti menentang Allah. Pernyataan ini tidak punya dasar. Belum dipahami bahwa poligami itu bukan produk ajaran Islam. Begitu takutnya seorang perempuan yang dimadu sehingga tidak berani menuntut, ia hanya mengeluh. Namun tampak jelas di balik keluhan itu ada kesakitan yang sangat pedih. Keluhan itu dimunculkan oleh seorang perempuan yang dimadu oleh seseorang yang ditokohkan. Demikian keluhannya:
”Mulanya saya sempat bertanya, apa yang kurang dari diri saya, sehingga Aa (suaminya, pen.) melirik perempuan lain?” ... ”Reaksi saya waktu tahu Aa mau kawin lagi sama seperti reaksi wanita pada umumnya, kaget, sedih. Tapi, lama-kelamaan saya mengerti, Aa tidak bermaksud menyakiti saya. Saya ingin seperti Khadijah, isteri Rasulullah.”
Boleh jadi perempuan itu tidak mau menentang suaminya karena mempertimbangan bahwa anaknya sudah banyak dan kasihan pada karir suaminya yang sudah terlanjur menjadi orang yang ditokohkan. Demikian berat beban penderitaan perempuan yang dimadu itu. Kepedihan itu lebih tampak lagi ketika dia berharap menjadi seperti Khadijah RA, yang meninggal lebih dulu sehingga tidak tahu suaminya berpoligami. Adalah suatu perjuangan berat untuk mengatakan bahwa suaminya itu tidak bermaksud menyakiti dirinya, karena semua sadar dan tahu bahwa tidak ada orang berpoligam itu untuk menyenangkan isteri yang dimadu.
Tradisi poligami tidak akan mendapat tempat di dalam masyarakat yang mana kaum perempuannya sudah mandiri, setara dengan laki-laki, sama-sama berhak dan berani untuk menuntut haknya sebagai isteri untuk dicintai sepenuhnya, sebagaimana suami yang juga punya hak yang harus dipenuhi oleh para isteri. Ketakutan untuk menuntut hak demikian itu tidak layak dikembangkan dalam masyarakat Islam, yang mengusung egalitarian dan karena memang segala macam tindakan yang menyakitkan hati bukan dari Islam, bahkan lawan Islam.
Seorang perempuan bukan untuk dijadikan sebagai sasaran mengumbar nafsu egois, termasuk nafsu untuk menguasai sesama manusia makhluq Allah. Sebaliknya, perlu dikembangkan keberanian yang berarti pemberdayaan para perempuan untuk ikut serta menegakkan syariat Islam. Sayang sekali, perempuan yang tidak mau dimadu dianggap menentang syariat Islam. Anggapan demikian justru yang menentang Islam, karena sebenarnya perempuan itu diberi hak untuk menolak pengurangan haknya, bahkan terhadap pernikahan itu sendiri perempuan diberi hak untuk menolak.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa seorang gadis (perawan) mempunyai hak untuk menolak dinikahkan. Tandanya bahwa gadis itu menolak adalah kalau menyatakan dengan tegas sebagaimana kebalikannya ketika menerima atau mau dinikahkan tandanya adalah diam. Rasulullah SAW bersabda:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم لا تُنكَحُ الأيِّمُ حتّى تُسْتأمَرَ و لا تُنْكَحُ البِكرُ حتّى تُسْتأ ذَ ن قالُوْا يا رسول الله و كيف إذْنُها ؟ قالَ أنْ تَسْكتَ- متفق عليه
(Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata: ”Rasulullah SAW bersabda, perempuan janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum dimintai ijinnya. Sahabat-sahabat lalu bertanya: ”Bagaimana cara ijin perempuan itu ya Rasulallah? Beliau menjawab: ”Diamnya itu tanda ijinnya” (HR. Bukhori- Muslim)
Sabda Rasulullah SAW tersebut di atas menunjukkan bahwa pemaksaan terhadap seorang gadis untuk dinikahkan bukanlah akhlaq Islami dan perlu ditolak. Ini artinya, segala bentuk kedhaliman itu mesti dijauhi sekecil apapun, utamanya terhadap kaum perempuan.
Ada juga pemahaman awam bahwa pemaksaan terhadap kaum perempuan dalam hal pernikahan itu dibolehkan dengan alasan ada istilah wali mujbir. Kalau pemahaman awam yang demikian itu dijadikan pedoman, maka apalah gunanya Rasulullah SAW bersabda sedemikian itu? Apakah pemahaman awam itu mengalahkan hadis dan hadis Nabi itu diabaikan begitu saja? Mengabaikan sebuah hadis sama halnya dengan ingkar al-sunnah. Mulai kapan adanya istilah wali mujbir itu? Apa sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW? Menyadari hal ini, kiranya perlu ada peninjuan kembali terhadap istilah wali mujbir yang selama ini di legalkan atas nama agama bahkan dalam masyarakat yang kaum perempuannya sudah mendapatkan kemandirian. Pemberian ijin untuk pernikahan dari kaum perempuan itu menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW sangat memperhatikan hak-hak segenap hamba Allah.
Memang pada umumnya hak itu harus diambil bukan sebagai sebuah hadiah yang ditunggu untuk diberikan. Akan tetapi mesti dipahami oleh kaum lelaki yang cerdas dan insaf bahwa sifat dasar pasif kaum perempuan itulah yang menyebabkan mereka tidak akan mengambil ataupun menuntut haknya. Disinilah tugas kaum lelaki untuk memberikan hak tersebut dengan penuh hormat.
Penyerahan hak kaum perempuan itu tidak harus menunggu diminta. Kaum lelaki yang cerdas itulah yang mesti memahami hal demikian, sebagaimana Allah SWT mengajarkan melalui firmanNya:
وَفِى أمْوَالِهِمْ حَقُّ لِلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ - الذاريات
(Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan untuk orang miskin yang menjaga diri tidak meminta-minta) (QS. 51:19).
Demikian juga, kaum perempuan, dengan sifat dasarnya yang pasif itu, tidak akan meminta haknya karena menjaga kehormatan dirinya.
Kepasifan kaum perempuan itu bukan berarti boleh ’diinjak-injak’ seenaknya dengan alasan karena yang pasif sebenarnya juga senang dijadikan obyek. Suatu pemahaman yang naif, karena pemahaman demikian ini ujung-ujungnya adalah bahwa pernikahan itu menjadi perbudakan. Banyak alasan awam lagi bahwa perempuan itu sendiri yang ingin dipasifkan sesuai dengan sifat dasarnya, bisa dan boleh dinikahi seenaknya meskipun haknya dikurangi. Inilah perbudakan. Perbudakan adalah musuh Islam.
Pemahaman mengenai sifat dasar perempuan yang pasif itu perlu diluruskan. Kepasifan kaum perempuan adalah untuk ditolong, ditegakkan, dan dilindungi karena begitu besarnya jasa dan beratnya tugas, mulai dari meredam dan memuliakan nafsu syahwat suami, mengandung anak, melahirkan, menyusui dan memeliharanya mulai dari bayi yang tidak berdaya sampai menjadi berakal dan berguna. Allah SWT berfirman:
الرِجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلى النِسَاءِ........
(Kaum lelaki itu sebagai pelindung/penjaga kaum perempuan......QS. al-Nisa’/4:34).
Kata ” قَوَّامُوْنَ عَلى” sering diartikan sebagai pemimpin. Ini tidak salah selama dalam arti pemimpin yang sebenarnya yang melindungi, bukan untuk menguasai dengan sewenang-wenang. Di samping itu tugas penjagaan juga mesti dilakukan dengan baik. Allah SWT berfirman:
...وعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ...
(...Dan bergaullah dengan mereka secara baik...) (Al-Nisa’/4:19)
Penghargaan Rasulullah SAW terhadap kaum perempuan itu demikian tingginya, sampai-sampai beliau mensejajarkan dengan tingginya derajat hamba Allah SWT, yakni ketika sedang bersujud kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم لَوْ كنتُ آمِرًا أحدًا أنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لأمَرْتُ االمرأة أن تَسْجَدَ لِزَوْجِهَا - رواه الترمذى.
(Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud pada orang yang lain maka aku perintahkan seorang isteri untuk bersujud kepada suaminya) (HR Al-Turmudzi)
Tidaklah pantas seseorang, dengan dasar hadis tersebut di atas, menganggap bahwa perempuan itu memangnya adalah sebagai budak yang harus tunduk secara buta kepada suaminya. Demikian ini karena tidak pernah ada indikasi Rasulullah SAW itu merendahkan derajat kaum perempuan. Justru hadis itu menunjukkan betapa tingginya derajat seorang perempuan itu ketika diwujudkan dengan ketundukan total kepada suaminya, sebagaimana tingginya derajat seorang hamba ketika melakukan ketundukan total kepada Tuhannya. Rasulullah SAW besabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ, فَأكْثِرُوْا الدُعَاءَ-رواه مسلم
(Sedekat-dekatnya hamba Allah kepada Tuhannya adalah ketika dia bersujud, maka perbanyaklah berdoa)(HR. Muslim)
Seorang perempuan sebelum menikah saja sudah diperbolehkan untuk menolak apalagi setalah menikah. Kaum perempuan para isteri berhak menolak untuk tidak mau dimadu karena niat pada awal mula pernikahannya tidak untuk dimadu. Keadaan ini sama halnya dengan seoang perempuan yang dinikahkan sementara dia tidak senang maka dia lalu memohon kepada Nabi, dan Nabi membolehkan untuk meneruskan atau menolaknya. Artinya, seorang isteri boleh meminta untuk dicerai. Dewasa ini tidak heran ada keinsafan umat Islam yang membolehkan seorang isteri menggugat cerai dengan sebab yang jelas. Rasulullah SAW bersabda:
عن ابن عباس أنّ جَاريةً بِكْرًا أتَتْ رسول الله صلى الله عليه و سلّم فَذَكَرَتْ أنّ أباها زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَبِىُّ صلى الله عليه و سلّم – رواه أحمد و أبوْ داود و ابن ماجه و الدارقطنى
(Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “Sesungguhnya seorang perawan telah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW, bahwa dia telah dinikahkan oleh bapaknya dan dia tidak menyukainya, maka Nabi SAW memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan itu.” (HR. Ahmad, Abu Dwud, Ibn Majah, dan Daruquthni).
Kelihatan jelas bahwa mempraktekkan tradisi poligami itu sama dengan melestarikan perbudakan. Seorang isteri yang tidak bisa berbuat apa-apa dan diam saja ketika dimadu dan terkurangi haknya maka dia itu sebetulnya terpaksa membiarkan dirinya untuk masuk dalam kubangan perbudakan. Akan tetapi siapakah yang proaktif sehingga terjadi kubangan perbudakan itu? Kembali lagi bahwa peringatan ini justru kepada kaum laki-laki agar tidak mempergunakan keaktifannya untuk melestarikan kedhaliman melalui poligami.
Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai kewajiban menjauhi perbudakan:
....هُمْ إخْوَانُكُمْ وَ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أيْدِيْكُمْ , فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَاْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلا تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأعِيْنُوْهُمْ عَلَيْهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
(Mereka hamba sahaya itu adalah saudaramu dan pembantumu, Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu, maka siapa yang merasa saudaranya di bawah kekuasaannya harus memberi makan dari apa yang dimakannya dan diberi pakaian dari apa yang dipakainya dan jangan memaksa kepada mereka apa-apa yang tidak dapat mereka kerjakan, kalau kamu menyuruh mereka yang berat maka tolong bantulah mereka) (HR Bukhari Muslim).
Perlakuan Nabi sangat baik terhadap para tawanan perang Badar yang mestinya dapat dijadikan budak, tetapi Nabi memberikan makanan yang terbaik sedangkan umat Islam sendiri hanya mengambil kurma-kurma yang sederhana. Nabi memberi contoh bahwa tidak boleh ada kedhaliman dalam perbudakan sebagaimana perbudakan lazimnya pada masa itu, khususnya masa jahiliyah. Allah SWT memerintahkan agar berbuat baik pada hamba sahaya. Allah berfirman yang artinya:
“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan denganNya sesuatu apapun, dan terhadap kedua ayah bunda berbuatlah baik dan kepada famili kerabat dan anak yatim, orang miskin tetangga yang masih famili dan tetangga orang lain dan teman dalam bepergian dan orang rantau serta budak sahaya yang menjadi milikmu (QS Al-Nisa’ :36)
Pada akhirnya akan tampak jelas bahwa Islam memberdayakan kaum perempuan dengan cara tidak berpoligami dengan kaum perempuan yang merdeka. Islam memberikan jalan untuk berpoligami dengan para budak, yang juga berarti memberdayakan mereka dengan mengangkat status anak-anak mereka menjadi merdeka.
*Saidun Fiddaroini, Pemberdayaan Kaum Perempuan, dalam Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 80-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan