Jumat, 15 Januari 2010

KEHEBATAN TOBAT DARI POLIGAMI*

Dikatakan sudah bertobat kalau sudah memenuhi syaratnya, yaitu sudah berhenti dari perbuatan yang ditobati, menyesali, dan berniat untuk tidak mengulangi lagi pebuatan itu. Kalau kesalahan yang ditobati itu bersangkutan dengan kedhaliman terhadap hak seseorang maka hendaknya mengembalikannya atau memberikan ganti rugi agar mendapatkan kehalalannya, atau biasanya memohon untuk dimaafkan tanpa memberikan ganti rugi sama sekali.
Permohonan maaf saja tanpa memberikan ganti rugi merupakan tindakan yang kurang dianjurkan. Rasulullah SAW mengajari untuk meminta kehalalan atas perbuatan dhalim yang merugikan sesamanya, bukannya langsung meminta maaf. Beliau bersabda:
من كانت عنده مظلمة لأخيه فليتحلله منها فإنه ليس ثمّ دينار و لا درهم من قبل أن يؤخذ لأخيه من حسناته فإن لم يكن له حسنات أخذ من سيّئات أخيه فطرحت عليه (عن أبى هريرة رضى الله عنه, رواه البخارى)
(Barang siapa yang pernah berbuat dhalim terhadap sesamanya hendaklah meminta dihalalkan sebelum datang hari di mana harta benda tak berharga lagi, sebab pada hari itu orang yang didhalimi akan diambilkan kebaikan dari orang yang mendhalimi sepadan dengan kedhalimannya dan bila kebaikan orang yang mendhalimi telah habis maka kejelekan orang yang didhalimi dibebankan kepada orang yang mendhalimi) (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Al-Quran tidak pernah memerintahkan untuk seenaknya saja meminta maaf pada sesama makhluk yang telah didhalimi, karena yang patut dimintai maaf dan tidak meminta ganti rugi hanyalah Allah, yang menciptakan makhluk yang didhalimi itu. Perlu dipahami juga bahwa memaksa orang yang bersalah supaya meminta maaf merupakan suatu kesombongan dan sekaligus kelemahan nalar. Al-Quran memerintahkan agar memberi kemaafan kepada sesama makhluk supaya menjadi orang bertaqwa (QS. Ali Imron/3: 134). Terhadap sesama umat manusia yang didhalimi maka hendaknya diperhitungkan kerugian yang diakibatkan dari kesalahannya itu, untuk diberikan ganti ruginya, agar kedhalimannya itu dapat dihapus atau sudah tidak lagi menjadi masalah dan terlupakan dengan adanya ganti rugi itu.
Kajian mengenai tobat dari poligami ini bukan hanya untuk tobat dari perlakuan setelah melakukan poligami, tetapi juga tobat dari anggapan keliru mengenai poligami. Kekeliruan pemahaman mengenai poligami selama ini sering dijadikan dasar untuk berpoligami dan seringkali menimbulkan pandangan negatif terhadap syariat Islam dari kelompok muslim yang masih awam dengan Islam dan juga dari kelompok militan nonmuslim yang sengaja menyerang Islam.
Tobat dari kesalahpahaman tentang poligami itu berkaitan dengan anggapan-anggapan yang selama ini diyakini sudah benar. Anggapan-anggapan tersebut adalah bahwa poligami itu amalan sunnah Nabi untuk ditiru umatnya dan anggapan yang memperbolehkan berpoligami dengan perempuan merdeka secara mutlak. Kalau pernah ikut-ikutan menyebarkan paham keliru tersebut maka tobatnya adalah menarik kembali paham itu dengan penjelasan yang semestinya.
Adalah kekeliruan yang fatal kalau beranggapan bahwa bolehnya berpoligami itu sesuai dengan ajaran berdoa, yaitu dengan mengucapkan kata “azwaaj”, sebagai bentuk jamak kata “zauj”. Doa itu berbunyi demikian:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أزْوَاجِنَا......
Kata “azwaajina” artinya pasangan-pasangan kita, diterjemahkan dengan suami-suami atau isteri-isteri kita. Maksudnya, masing-masing kita punya satu suami atau satu isteri, bukan masing-masing kita punya banyak isteri. Tidak mungkin ucapan doa itu dinyatakan dengan kata tunggal “zauj” (“hablana min zaujina”) yang disandarkan pada ”dlomir na”, karena artinya menjadi satu orang isteri atau suami sebagai pasangan kita bersama. Ini jelas salahnya.
Termasuk dalam tobat atas kekeliruan paham ini adalah tobat dari anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu kuat nafsunya sehingga boleh menikah lebih dari satu bahkan lebih dari empat. Anggapan itu tentunya berdasarkan pada perkiraan dirinya sendiri yang membayang-bayangkan betapa kuatnya bisa ’melayani’ isteri lebih dari empat. Senada dengan anggapan ini adalah anggapan bahwa Nabi Muhammad SAW itu juga manusia biasa sebagaimana pada umumnya kaum lelaki itu mempunyai keinginan untuk berpoligami. Anggapan keliru demikian ini hanya muncul dari orang-orang yang tidak pernah mempunyai rasa hormat kepada Rasulullah SAW. Ini yang mesti ditobati.
Adapun tobat dari perbuatan keliru, yakni tobat dari berpoligami dengan para perempuan merdeka, maka tobatnya adalah tidak lagi berpoligami dengan perempuan merdeka. Bertobat dari berpoligami bisa saja dengan cara menceraikan isteri-isterinya sehingga tinggal satu. Diutamakan yang satu itu adalah isteri yang pertama yang pernah dimadu sehingga benar-benar tobat dari perilaku menyakiti atau memadu isterinya itu. Alasan menceraikannya hanyalah tobat agar tidak lagi berbuat ketidakadilan atau kedhaliman untuk menuju pada ketaqwaan. Sakitnya seorang perempuan yang dicerai setelah dijadikan isteri muda tentu tidak lebih sakit dari pada isteri pertama ketika mulai dimadu.
Termasuk dalam tobat dari berpoligami ini adalah tobat dari perbuatan menipu isterinya yang pertama selama itu dan membuat tidak aman dari dimadu. Berita tentang diri seorang suami yang sudah berpoligami sering kali isteri pertama itu ikut menutup-nutupi dalam rangka agar kehidupan keluarganya tidak berantakan. Ini sering kali tidak dipahami oleh suami yang berpoligami. Usaha yang berat dari ‘isteri tua’ itu perlu dihilangkan, yaitu dengan kembali lagi bermonogami. Alasannya agar tidak memberatkan beban mental si ‘isteri tua’ yang terus menerus menanggung malu seolah-olah tidak mengetahui. Demikian ini bisa menjadi cibiran dari perempuan-perempuan yang lain, bahwa ‘isteri tua’ itu menjadi pemandangan yang menyedihkan yang perlu dikasihani.
Dalam tobat dari poligami ini ada tobat terhadap perempuan yang baru dinikahi yang menurut anggapannya ditolong, padahal niat sebetulnya hanyalah ingin memenuhi nafsu egoisnya saja. Jadi ketika berpoligami itu bukan hanya menipu ‘isteri tua’ saja tetapi juga menipu isterinya yang baru. Nikah poligaminya itu sering kali hanya didorong oleh nafsu. Ini berbeda dari nikah dengan isteri yang pertama yang tidak hanya didahului dengan nafsu, tetapi setidak-tidaknya dengan isteri pertama pernah ada upaya untuk saling membahagiakan.
Selanjunya untuk mendapatkan kehalalan dari isteri yang bersedia diceraikan itu maka perlu kiranya diperhitungkan kebutuhannya nanti setelah diceraikan, yakni dengan cara menjadikan isteri yang akan dicerai itu bisa mandiri setelah dicerai. Dengan demikian perceraiannya itu tidak menjadi suatu aniaya dan justru timbul keinsafan bahwa itu adalah jalan bertobat untuk menuju kebaikan dunia-akhirat. Begitu juga si ‘isteri mudanya’ itu akan insaf bahwa selama ini dia telah menyakiti isteri yang dimadu.
Keikhlasan suami dalam bertobat itu bisa saja akan memunculkan keikhlasan juga dari semua isteri-isterinya dan khususnya isteri pertama yang dimadu. Bisa saja isteri yang pertama justru akan memberikan kerelaan kepada suaminya untuk tidak menceraikan isteri-isterinya yang lain, yakni tetap saja berpoligami. Bisa jadi karena tobat itu, maka yang muncul adalah kerelaan dari para isterinya untuk berbagi hak.
Dengan tobat yang ikhlas itu boleh jadi akan tetap berpoligami tetapi dengan poligami yang penuh kerelaan. Hanya kerelaan itulah yang bisa menghapuskan ketidakadilan. Pernikahan poligami yang penuh dengan kerelaan ini selanjutnya akan menjadi pernikahan yang bukan untuk memenuhi kebutuhan biologis fisik dan juga tanpa ada tuntutan keadilan yang tidak akan mungkin dapat terpenuhi, tetapi semua isteri akan menjadi satu keluarga yang saling merelakan di antara sesama, saling memaafkan dengan berjiwa besar. Semua ini bisa muncul karena kehebatan dan keindahan tobat suami yang tulus ikhlas.
Poligami yang terlanjur karena kekeliruan pemahaman tentang poligami ini diingatkan agar tidak terlalu cenderung kepada salah satu isterinya supaya isteri yang lainnya tidak terkatung-katung. Dengan demikian dapatlah dimengerti maksud surat al-Nisa’ ayat 129 yang artinya demikian:
(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) (QS. An-Nisa’/4: 129).
Ayat tersebut kelihatan membolehkan poligami dengan bukti adanya larangan untuk tidak terlalu cenderung kepada salah satu isterinya. Namun tentu saja ayat tersebut mesti dipahami bahwa poligaminya itu karena kekeliruan sebelumnya yang menganggap bahwa dirinya itu mampu untuk berbuat adil. Hal ini dapat dipahami dari akhir ayat tersebut yang mengajak untuk memelihara diri dari kecurangan atau berlaku tidak adil dalam berpoligami.
Tobat ini mesti dilaksanakan karena sudah dipahami bahwa para isteri sudah meresa dikurangi haknya dan merasa didhalimi. Tampak jelas disini bahwa Islam mengangkat derajat kaum perempuan yang semula tidak dihargai selanjutnya diberikan hakhaknya. Tidaklah seorang suami itu dapat dikatakan mulia kecuali kalau memuliakan isterinya, dan tidaklah seorang suami itu adalah seorang yang hina atau pengecut kecuali yang menghinakan isterinya. Demikian sabda Rsulullah SAW. yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA (HR. Al-Hakim)
Lain masalahnya kalau keadaan kaum perempuan dalam masyarakat itu tidak memahami dan tidak mempermasalahkan haknya, sehingga mereka rela dimadu. Kerelaan isteri itu merupakan kunci utama dalam menghilangkan kedhaliman atau ketidakadilan poligami. Dari sini dapat dipahami apa yang direkomendasikan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia BAB IX pasal 58 ayat 1-2, bahwa kaum lelaki yang ingin berpoligami harus mendapat ijin dari isterinya secara lisan atau tertulis. Tentu saja ijin dari isteri itu dengan suka rela, tanpa reka yasa agar para suami terpelihara menjadi orang yang makin bertaqwa.
Demikian kiranya maksud surat al-Nisa’ ayat 3, dan ayat 129, yakni untuk membimbing umat manusia, khususnya kaum lelaki, agar sampai pada derajat ketaqwaaan yang tinggi, dengan cara memuliakan kaum perempuan, secara bertahap, halus dan indah sehingga pada saatnya nanti, ketika kaum perempuan sudah berdaya, syariat Islam dapat dipahami dengan benar dan diamalkan dengan sempurna.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009),107-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan