Jumat, 08 Januari 2010

DASAR DAN ALASAN TIDAK BERPOLIGAMI*

Bermonogami merupakan perbuatan yang berpahala kalau mempunyai alasan yang berdasarkan pada ajaran Islam. Hanya karena sudah terbiasa saja maka tidak banyak orang yang bermonogami memberikan alasan dengan dasar agama, mengapa harus bermonogami dan mempertahankan monogaminya itu. Dengan alasan dan dasar yang benar dari al-Quran dan hadis maka siapa saja yang bermonogami mendapatkan pahala lipat ganda; satu pahala dari pelaksanaan nikahnya dan satu lagi dari keberhasilannya mempertahankan monogaminya.
Berikut ini beragam alasan bermonogami diuraikan agar dapat diketahui mana alasan yang menyebabkan monogaminya tambah pahala dan mana alasan bermonogami yang tidak menambah pahala. Ini dimaksudkan agar umat Islam yang bermonogami dapat meniti karir pernikahannya sebagai umat Islam yang benar-benar mengikuti sunnah Nabi.

1. Alasan Monogami I
Alasan bermonogami yang pertama adalah karena tidak memiliki cukup uang atau kekayaan untuk menikah lebih dari satu isteri. Orang yang bermonogami dengan alasan demikian ini menunjukkan bahwa dia itu membenarkan praktek poligami, hanya saja dia tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dengan alasan ini maka dia tidak mendapat tambahan pahala dari pernikahannya yang monogami karena alasannya berdasarkan atas ketidakmampuannya. Justru dia itu sebetulnya adalah orang yang perlu dikasihani karena tidak mampu melaksanakan suatu ’amal’ yang diinginkan.
Dasar alasan itu ada dua yaitu naqli atau aqli, berdasarkan pada dalil dalam al-Quran dan atau hadis Nabi atau berdasarkan ijtihad sendiri. Bermonogami dengan alasan tidak punya uang itu bisa saja ada pahalanya, karena memang agama Islam melarang menerlantarkan keluarga. Jadi, tidak berpoligaminya itu dalam rangka supaya keluarga tetap bahagia dengan kecukupan biaya untuk hidup sebagai keluarga kecil, tidak menambah beban lagi yang menyebabkan kesusahan yang mana demikian ini dilarang oleh agama. Alasan demikian dapat dibenarkan sehingga bermonogaminya itu berpahala.
Perlu dicermati bahwa bermonogami dengan dalih biaya hanya cukup untuk keluarga kecil tersebut masih menyimpan malasah, yakni pahamnya yang memperbolehkan berpoligami itu akan terus ’menghantui’ ketenangan perasaan seorang isteri. Sewaktu-waktu bisa terjadi poligami dengan sembunyi-sembunyi. Ketenteraman dan kedamaian keluarga hanyalah semu, selalu ada kecurigaan, cinta dan kasih sayang tidak sepenuhnya dicurahkan, seperti ada musuh di dalam selimut. Hidup berkeluarga demikian ini tidak dapat dikatakan harmonis karena merasa ada ancaman sewaktu-waktu terhadap kelestarian kedamaian pernikahannya.
Keadaan yang tidak harmonis tersebut jelas bukan berasal dari ajaran Islam. Pada gilirannya nanti penyebab ketidakharmonisannya, yakni adanya pemahaman bolehnya berpoligami itu perlu segera ditinjau kembali. Patut dicurigai bahwa itu bukan berasal dari Islam. Islam tidak diturunkan untuk menimbulkan kecurigaan atau mengancam kedamaian.

2. Alasan Monogami II
Alasan bermonogami yang kedua adalah karena merasa tidak mampu berlaku adil. Alasan ini berdasarkan anggapan selama ini bahwa syarat berpoligami itu adalah adil. Alasan ini jelas berdasarkan pada ajaran Islam selama ini, meskipun adil itu tidak tepat sebagai syarat berpoligami. Alasan ini punya dasar agama dan dengan alasan ini diperoleh pahala sebagai hasil ijtihad yang menganggap bahwa adil itu syarat berpoligami.
Biasanya perlakuan adil itu dikaitkan dengan hal pembagian dalam pemberian nafkah materi, bukan nafkah batin. Alasannya adalah materi dapat diukur jumlahnya sehingga pembagiannya bisa tampak jelas sama, sementara kecenderungan hati tidak dapat diukur karena yang tahu hanya Allah SWT dan mungkin juga dirinya sendiri. Alasan ini menunjukkan bahwa berpoligami itu boleh kalau berlaku adil, dan keadilan yang dimaksudkan itu adalah anggapan mengenai ukuran sama dalam hal materi, bukan dalam hal perasaan cinta dan sebagainya yang bersifat kejiwaan.
Orang bermonogami dengan alasan tidak mampu berlaku adil ini kalau merasa bahwa selamanya tidak akan mampu berlaku adil maka sudah tidak akan lagi mempunyai keinginan untuk berpoligami. Dengan tidak adanya keinginan untuk berpoligami maka timbul pula keharmonisan dan kedamaian rumah tangganya, khususnya bagi sang isteri. Keharmonisan ini disebabkan adanya kepastian bahwa si isteri tidak akan dimadu. Kepastian demikian ini sangat diperlukan oleh seorang isteri, Kepastian yang menghadirkan ketenteraman hati ini akan dibalas lebih baik oleh si isteri dengan usahanya untuk selalu tampil menarik. Usahanya itu sangat ikhlas, bukan terpaksa karena takut suaminya digondol oleh perempuan lain.
Perlu dicermati bahwa bisa saja terjadi sekali-sekali ada lintasan dalam pikiran sang suami, benarkah dirinya itu tidak memiliki kemampuan untuk berlaku adil kalau berpoligami? Kadang-kadang terlintas juga keinginan untuk berpoligami. Ini menjadi semacam gangguan kejiwaan bagi dirinya, dan juga gangguan bagi isterinya, karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi poligami dengan alasan melatih kemampuan untuk berlaku adil. Kembali lagi bahwa keadaan demikian ini tidak akan mudah mendapatkan kedamaian dan keharmonisan dalam keluarga.
Sumber keadaan demikian ini berasal dari adanya anggapan bahwa adil itu syarat poligami. Dari sini dapat dipahami bahwa syarat adil untuk berpoligami itu tidak patut dinyatakan berasal dari ajaran Islam karena Islam tidak akan mungkin memunculkan suatu ajaran yang akibatnya adalah ketidakharmonisan dan mengancam kedamaian dalam pernikahan.

3. Alasan Monogami III
Alasan bermonogami yang ketiga adalah karena dalam agama Islam tidak ada perintah berpoligami. Itulah sebabnya tidak perlu membuat hal-hal baru atau memaksakan diri dengan berpoligami agar tidak masuk dalam kubangan bid’ah. Dengan alasan demikian dapat diperoleh tambahan pahala dari pernikahan dan dari hikmah bermonogami yang memberikan kedamaian bagi isteri dan keluarga.
Di samping pahala atas pernikahan yang monogami itu, akan didapatkan tambahan pahala lagi dari hasil ijtihad. Kalau ternyata hasil ijtihad itu benar maka akan didapatkan dua pahala, yaitu pahala ijtihad dan kebenaran ijtihad itu. Alasan bermonogami demikian ini berdasarkan kehati-hatian (Ikhtiyath) dengan akibat yang baik, yakni dapat menumbuhkan ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan berumah tangga.
Bermonogami dengan alasan demikian ini tidak akan menyimpan masalah. Artinya, dalam pernikahan bermonogami dan mempertahankan pernikahan yang monogami itu, maka dalam otak sang suami tidak akan terlintas sama sekali adanya pernikahan poligami, karena dianggap bahwa berpoligami itu tidak diperintahkan kepada umat Nabi. Justru dikhawatirkan bermaksiat kalau menganggap beribadah pada hal-hal yang tidak diperintahkan.
Bermonogami dengan alasan tidak ada perintah untuk berpoligami ini akan menjadi suatu titik balik, bahwa justru orang yang bermonogami itulah orang yang mampu memahami, mengikuti, dan meneruskan sunnah Nabi. Orang-orang yang terus berusaha untuk bermonogami dalam rangka menjaga kesucian diri dan pernikahannya berarti sedang berjuang menjauhi kedhaliman sebagaimana dimaksudkan dalam al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3). Menjauh dari kedhaliman itu berarti berlaku adil dan berlaku adil itu adalah paling dekat dengan ketaqwaan, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Quran (QS. Al-Maidah/5:8).
Bermonogami bukan karena tidak bisa berpoligami, tetapi justru karena mengikuti sunnah Nabi. Dengan alasan mengikuti sunnah Nabi dengan dasar tidak ada perintah berpoligami maka bermonogaminya itu menambah pahala dan mendatangkan keharmonisan dan kedamaian berumah tangga.
*Saidun Fiddaroini, Dasar dan Alasan Bermonogami, dalam Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 73-79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan