Jumat, 08 Januari 2010

POLIGAMI RAHMATAN LIL’ALAMIN*

Rasulullah SAW diutus dalam rangka menyebarkan kasih sayang Allah SWT. kepada alam ini. Segala perilaku Rasulullah SAW. juga berada dalam rangka menyebarkan kasih sayang itu. Tugas yang demikian suci, mulia, dan agung itu tidak layak terkotori oleh perilaku beliau secara pribadi. Beliau sangat berkonsentrasi pada tugas demikian. Beliau menikah lebih dari satu kali, tentu saja tidak mungkin untuk memenuhi kepuasan biologis ataupun psikologis, tetapi tentu saja untuk melaksanakan tugas rahmatan lil alamin itu,
Sebelum pernikahannya yang pertama, Muhammad yang berumur 25 tahun itu tidak menghabiskan waktu untuk mencari-cari perempuan yang cocok untuk menjadi isterinya. Muhammad dilamar melalui pamannya oleh Khadijah binti Khuwailid untuk sudi menjadi suaminya. Muhammad sebagai pedagang kepercayaan Khadijah tidak akan mungkin berperilaku kurang sopan terhadap Khadijah. Akhlaq Muhammad sangat terpuji. Pandangan mata beliau tidak liar dan tidak mungkin bernuansa syahwat.
Kalau saja ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin Muhammad tidak mencuri-curi pandangan terhadap Khadijah, sebagai juragannya waktu itu, maka ini adalah anggapan yang muncul dari orang yang kebiasaannya seperti itu dan tidak tahu bahwa sampai sekarang ini saja, pada zaman akhir ini, masih banyak laki-laki yang tidak mengumbar pandangan syahwat terhadap perempuan bukan mahramnya, apa lagi Muhammad yang dipersiapkan untuk menjadi seorang Rasul. Jadi beliau tidak akan mungkin bertindak seperti anggapan yang keliru itu.
Sebelum diangkat sebagai Rasulullah, Muhammad tidak terkotori jiwanya dengan nafsu birahi. Pada pernikahan pertama itu saja Muhammad tidak melihat-lihat wajah calon isterinya, seorang perempuan yang belum sah menjadi isterinya. Sungguh suci pandangan beliau. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan beliau berikutnya tidak akan mungkin disebabkan oleh nafsu birahi melalui pandangan mata, apa lagi beliau ketika berpoligami itu sudah bergelar Rasulullah. Dengan demikian maka perlu bagi umatnya yang ingin mengikuti sunnah Nabi untuk mengetahui alasan-alasan pernikahan beliau yang semestinya.
Menggali alasan pernikahan Nabi yang sebenarnya tidak mudah karena beliau tidak menjelaskan dengan langsung. Tetapi untuk sampai dapat menemukan alasan yang mendekati kebenaran sangat diperlukan, setidak-tidaknya alasan itu tidak bersumber dari prasangka buruk (su’u al-dhon) yang dituduhkan oleh musuh-musuh Islam. Lebih naïf lagi kalau umat Islam sendiri yang memiliki prasangka buruk kepada Rasulullah SAW, misalnya dengan membenarkan tuduhan orang kafir itu yang menganggap pernikahan-pernikahan beliau itu untuk kepuasan biologis, atau ikut membenarkan bahwa nafsu beliau itu sangat kuat sehingga isterinya banyak.
Memahami poligami Nabi diperlukan daya nalar yang luas dan daya kritis yang kuat sehingga menghasilkan daya pikir yang jernih. Di samping untuk menggali alasan yang benar dan untuk itba’ (mengikuti dengan total) pada Nabi, kajian mengenai pernikahan Rasulullah SAW berikut ini sangat perlu untuk dikemukakan secara rinci dengan analisis yang memadai, sampai terbuka hikmah poligami Rasulullah SAW. Selanjutnya poligami Nabi itu menjadi pedoman bagi umatnya.
1. Pernikahan Baginda Muhammad dengan Khadijah.
Sejarah menerangkan bahwa pernikahan Baginda Muhammad dengan Khadijah itu adalah bermula dari keinginan Khadijah binti Khuwailid yang disampaikan kepada paman Baginda Muhammad. Beliau menikahi Khadijah itu karena menjawab lamaran/pinangan Khadijah kepada beliau. Sebelumnya Khadijah melihat cara berdagang Baginda Muhammad ke Syam dan mendengar cerita tentang keajaiban-keajaiban beliau dari ghulam (pembantunya). Dengan dasar ini maka setelah Muhammad menjadi rasul pernikahan berikutnya jauh dari tujuan pemuasan nafsu biologis.

2. Pernikahan Nabi dengan Saudah RA.
Pada bulan saat Khadijah RA wafat, Nabi Muhammad SAW. menikahi Saudah binti Zam’ah al-‘Amiriyah al-Qurasyiah. Beliau memilihnya waktu itu umur Saudah sudah terlalu tua untuk sendirian menghadapi kesulitan hidup ini. Alasan utama pernikahan Nabi itu adalah untuk kemaslahatan dakwah. Demikian ini karena Saudah sudah beriman dalam kelompok al-Sabiqat. Dia beriman berlawanan dengan kerabatnya dan anak pamannya dan dia hijrah beserta suaminya ke Habasyah bersama muhajirin (para pengungsi) gelombang dua. Ketika suaminya meninggal fi sabilillah setelah kembali dari hijrah, tinggallah Saudah sendirian tanpa saudara/keluarga untuk tempat kembali kecuali kembali kepada keluarganya dengan terpaksa. Keterpaksaan itu bahaya yang tidak disukai karena kembali kepada keluarga yang tidak beriman dan atau akan dikawinkan dengan orang yang tidak sekufu (setara). Maka Saudah dipilih sebagai istri Rasulullah SAW. untuk dijaga dari bahaya tersebut, yakni bahaya berupa ancaman terhadap keimanan.

3. Pernikahan Nabi dengan Aisyah RA
Rasulullah SAW beraqad nikah pada Aisyah RA. di Mekkah sebelum hijrah. setelah wafatnya Khadijah dan setelah pernikahan dengan Saudah selama tiga tahun. Baru setelah hijrah Rasulullah SAW. serumah dengan Aisyah RA di Madinah. Ketika itu umur Rasulullah SAW 53 tahun. Rasulullah SAW. menikah dengan ‘Aisyah di Mekkah, dan mereka tidak langsung serumah. Menurut beberapa riwayat, Nabi memanggil Aisyah ke rumah Nabi di Madinah pada bulan syawwal tahun 1 H, ketika itu Aisyah berumur 9 tahun. Selisih usia yang jauh ini bukan hal baru atau aneh di kalangan masyarakat Arab. Mereka mempunyai kebiasaan seperti itu, sebagaimana banyak diceritakan dalam berbagai literatur.
Aisyah RA. ketika dinikahi masih kecil. Kalau saja wajahnya dilihat oleh Nabi ketika itu maka tidak mungkin menampakkan daya tarik syahwat, apalagi terjadi percintaan, sangatlah tidak mungkin. Setelah Aisyah dinikahi baru ada mawaddah dan rahmah. Cinta dan kasih itu dibangun ketika sudah menikah. Cinta kasih demikian sangat suci dan jauh dari maksiat. Sungguh suci amal dan akhlaq Nabi Muhammad SAW. Apa yang diamalkan oleh Nabi ini jarang menjadi dasar bagi generasi berikutnya, sehingga ada yang punya ijtihad membolehkan melihat-lihat dulu ’sepuasnya’ perempuan yang akan dinikahi. Ini perlu ditinjau kembali karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Semoga segera diinsafkan orang yang menyetujui ijtihad itu dengan alasan apapun.

4. Pernikahan Nabi SAW dengan Hafshoh RA
Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Hafshoh binti Umar RA. setelah wafat suaminya yang bernama Hunais bin Hudzafah setelah perang badar. Umar bin Khattab menawarkan anaknya yang janda itu kepada Abu Bakar al-Siddiq dan dia diam saja, kemudian Umar menawarkan kepada Utsman bin Affan RA dan demikian juga dia diam saja. Kemudian Umar RA menyampaikan kesedihannya kepada Rasulullah SAW. atas anaknya yang janda itu. Mendengar kesedihan itu maka Baginda Nabi bersabda: „Segera ada orang yang mengawini Hafshoh lebih baik baginya dari pada Abu Bakar dan Utsman“. Kemudian Baginda Nabi melamarnya untuk dinikahi. Umar bin Khattab RA berkata kepada anaknya, Hafshoh: „Aku tahu bahwa Rasulullah SAW. tidak menikahi kamu kecuali karena aku, karena kamu tidak punya kecantikan yang menjadi alasan Baginda Rasul untuk menikah denganmu”. Rasulullah SAW menikahi Hafshoh bukan setelah melihat-lihat wajahnya tetapi karena Hafshoh menjadi janda dan menyebabkan kesedihan Umar RA yang sudah setia menjadi sahabat Rasulullah SAW.

5. Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah
Ummu Salamah adalah Hindun binti Abi Umaiyah RA. Suami Ummu Salamah bernama Abdullah al-Makhzumi) telah wafat. Anak paman Ummu Salamah sendiri itu terluka pada perang Uhud dengan luka yang mematikan, sehingga Ummu Salamah sendirian tanpa keluarga yang melindunginya. Maka Rasulullah SAW. melamar karena untuk melindunginya. Sesungguhnya Ummu Salamah itu kahlatan masannatan (sudah tua) usianya kurang lebih 50 tahun, maka dia keberatan pada Nabi Muhammad SAW. karena merasa sudah terlalu tua. Dia berusaha untuk melepas diri dari lamaran itu, maka Rasulullah SAW. bersabda kepadanya: „Mintalah pada Allah agar Allah memberi pahala kamu sebagai musibahmu itu dan mengganti untukmu yang lebih baik”. Dia menjawab: „Siapa yang lebih baik bagiku dari Abu Salamah (Abdullah al-Makhzumi)?”. Maka Rasulullah SAW. melurusakan jalan pikiran Ummu Salamah dan menyiapkan untuknya lamaran sehingga Ummu Salamah menerima.

6. Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah Binti Sufyan
Ummu Habibah telah masuk Islam dan meninggalkan ayahnya dengan hijrah beserta suaminya ke Habasyah. Ketika suaminya wafat tinggallah ia di rumah yang asing tanpa keluarga yang bisa melindunginya. Setelah Rasulullah SAW mendengar itu maka beliau menyelamatkannya dari fitnah atau aniaya dalam hal agama bila dia dipaksa kembali kepada ayahnya. Maka Rasulullah SAW mengirim utusan ke Najasyi (Ambrotur al-Habasyah) mencarinya untuk dinikahi. Rasulullah SAW. dengan pernikahan itu bertujuan agar dapat mengadakan hubungan baik dengan Abu Sufyan, salah satu pembesar Quraisy, dari hubungan permusuhan menjadi kecintaan dan kesayangan (mawaddah). Dan berhasillah apa yang diharapkan itu yaitu dengan masuknya Abu Sufyan ke agama Islam menjelang Fathu Makkah.

7. Pernikahan Nabi dengan Juwairiyah binti Haris bin Dliror
Nama asli Juwairiyah adalah Barroh. Setelah dinikah oleh Rasulullah SAW diberi nama Juwairiyah. Ayahnya adalah kepala suku (Sayyid) bani Mustholiq. Dia itu yang mengumpulkan banyak orang untuk me-merangi Rasulullah SAW. tetapi mereka kalah dan terusir. Di antara mereka ada yang bersembunyi dan ada yang tertawan. Dalam tawanan itu ada Juwairiyah yang terkena undian menjadi bagian atau milik Tsabit bin Qais untuk menjadi budak. Tsabit mewajibkannya sembilan keping emas maka Juwairiyah tidak mampu dalam posisinya itu untuk digadaikan, maka ia datang kepada Rasulullah SAW. dan menceritakan hal itu dan ia meminta kebebasannya setelah menerangkan nasab dan kedudukan ayahnya.
Rasulullah SAW. ingat kedudukan keluarga Juwairiyah yang semula kuat dan mulia tetapi sekarang menjadi hina karena perlawanannya. Rasulullah SAW melihat ada hikmah di situ, yaitu mengatur siasat dengan memperbaiki hubungan dengan mereka. Kemudian beliau menikahi Juwairiyah, maka suku bani Mustholiq banyak yang masuk Islam dan sungguh-sungguh tekun dalam Islamnya.

8. Pernikahan Nabi dengan Shofiyah
Shofiyah binti Hayyi (Jubay) bin Akhthob, dia itu ketua suku bani Quroidhoh dari (keturunan Nabi Harun saudara Nabi Musa AS). Shofiyah jatuh jadi budak (tawanan) setelah suaminya yang beragama Yahudi terbunuh dalam perang Khoibar. Diriwayatkan bahwa seseorang dari sahabat Nabi berkata: „Wahai Rasulullah, sebetulnya dia itu nyonya (ketua suku) Quroidhoh, tidak pantas kecuali untuk Engkau, maka Baginda Nabi menganggap baik pandapat itu dan tidak melihat kemaslahatan kalau tahu bahwa wanita itu ada dalam kehinaan perbudakan menurut orang yang melihatnya. Nabi memberikan pilihan dengan membebaskannya, mengikuti keluarganya atau memilih menjadi isteri Nabi. Menurut riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, maka dia itu memilih menjadi isteri Nabi. Pengaruh nikah demikian itu menyebabkan hilangnya permusuhan/perlawanan Bani Quroidhoh dan menjadi baik dengan Rasulullah SAW sebab menjadi keluarga.

9. Pernikahan Nabi dengan Zainab
Zainab binti Jahsy bekas isteri Zaid bin Haritsah (budak Nabi). Ada kebiasaan buruk di masa jahiliyah dalam mengangkat anak. Allah SWT. menerangkan bahwa hukum anak angkat itu boleh dinikahi, bukan termasuk mahram karena bukan anak sendiri. Allah SWT berfirman:
......وَ مَا جَعَلَ أدْعِيَاءَكُمْ أبْنَاءَكُمْ ......
(Dan Dia tidak menjadikan anak–anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri.) (QS. Al-Ahzab: 4).
Nabi membeli Zaid bin Haritsah pada masa jahiliyah di pasar Ukkadh, kemudian dibebaskan dan dijadikan anak angkatnya, kemudian Nabi mau mengawinkannya dengan Zainab anak bibinya Aminah binti Abd al-Muttholib, tetapi Zainab menolak dan mengatakan: “Aku ini anak bibimu wahai Rasulallah, maka aku tidak rela kalau dia (Zaid) untukku”. Demikian juga saudaranya, Abdullah bin Jahsy, tidak rela bila dengan Zaid, maka turun surat Al-Ahzab (33) ayat 36, agar menuruti perintah Nabi.
Setelah beberapa waktu Zaid menikah dengan Zainab, datanglah Zaid kepada Nabi dan mengatakan akan menceraikannya. Ditanya oleh Nabi Muhammad SAW: “Ada apa kamu, apakah kamu melihat sesuatu dari Zainab? Zaid menjawab: Aku tidak melihat darinya kecuali kebaikan, tetapi dia itu agung bagiku karena kemuliaannya (lisyarafatiha), dan itu menyakitkanku dan melukai hatiku”. Nabi bersabda: “Pertahankan isterimu dan takutlah kepada Allah SWT. jangan kamu ceraikan, atau jangan kamu cela dia dan jangan kamu lukai nikahmu”. Namun Zaid tetap menceraikannya. Setelah selesai iddahnya maka Nabi diperintah untuk menikahi Zainab sebagai pelajaran praktis bahwa bekas isteri anak angkat itu boleh dinikahi, sebagaimana firman Allah (QS. Al-Ahzab/33: 37).
Dengan demikian pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy pada bulan Dzul Qa’dah 5 H. itu adalah atas perintah Allah SWT. Pernikahan itu untuk menunjukkan bahwa tradisi Arab yang tidak mengijinkan menikah dengan bekas isteri anak angkatnya itu adalah keliru. Jadi pernikahan ini sangat jauh dari keperluan untuk memenuhi kebutuhan biologis.

10. Pernikahan Nabi dengan Maria dari Mesir
Tahun ke 10 H Gubernur Mesir mengirimkan seorang hamba sahaya perempuan bernama Maria ke Madinah untuk melayani Rasulullah SAW. Maria segera mendapat tempat dalam rumah tangga Rasulullah SAW. Dari Maria Nabi mendapatkan anak bernama Ibrahim. Ibrahim lahir ketika Rasulullah SAW berusia sudah lanjut, yakni lebih dari 60 th. Nabi sangat mencintai anaknya itu.
Allah berfirman yang artinya: “Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa” (QS 42: 49-50). Ayat ini menunjukkan bahwa isteri-isteri Nabi itu mandul dan yang ini (Maria) tidak mandul.
Muhammad Husain Haykal menulis: “Ketika Maria melahirkan Ibrahim, Muhammad SAW mendapatkan kegembiraan besar. Karena kelahiran sang bayi kedudukan ibunyapun makin bertambah baik. Muhammad SAW kini menjadikan Maria sebagai isteri yang sah. Sesungguhnya ia seperti seseorang yang sedang menikmati kedudukan yang diidam-idamkan. Ibrahim wafat dalam usia 10 bulan.

11. Pernikahan Nabi dengan Maimunah
Pernikahan Nabi dengan Maimunah dilaksanakan di Mekkah ketika Rasulullah SAW sedang melakukan Umratul Qadha’. Maimunah binti al-Harits al-Hilali al-‘Amiri. Dia itu dikuasai Mas’ud bin ‘Amr al-Tsaqafi pada masa jahiliyah kemudian diceraikannya, dan dinikahi oleh Abu Rahm dan kemudian Abu Rahm meninggal. Maimunah adalah seorang janda bersaudara dengan Ummul Fadhal, isteri Abbas. Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW melalui Abbas. Untuk membuat hubungan baik dengan pihak Quraisy maka Nabi menerima dan menikahinya. Dia itu isteri Rasulullah SAW yang terakhir. Dalam pernikahan ini ada hikmah yaitu penyebaran hukum-hukum agama dan dakwah.
Semua pernikahan Nabi, termasuk dengan Khadijah RA, tidak berawal dari pandangan mata duniawi yang diselimuti dengan syahwat. Pernikahan-pernikahan Rasulullah SAW merupakan pemberdayaan dan peningkatan kaum perempuan sehingga bisa mencapai derajat paling terhormat. Sebagai ummu al-Mukminin, para isteri Nabi ikut mengemban misi pada tingkat paling tinggi, yakni tabligh agama Islam. Jadi secara khusus berkaitan dengan pemberdayaan kaum perempuan, maka poligami Nabi adalah poligami rahmatan li al-‘alamin. bukan poligami yang dicari-carikan alasannya agar dianggap tidak melanggar ajaran Islam.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 93-106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan