Jumat, 15 Januari 2010

DI BALIK BERAKHIRNYA POLIGAMI JAHILIYAH*

Pada zaman dahulu, ketika kaum perempuan tidak berdaya dan tidak memahami hak-haknya, poligami berlangsung terus dan berangsur-angsur menjadi tradisi, yakni tradisi hegemoni kaum lelaki. Sekarang, orang Islam yang berpoligami, hampir semuanya hanya karena menganggap bahwa Islam mengajarkannya dengan syarat ”adil”. Orang ’awam’ berani berpoligami dengan sembrono ‘mengotak-atik’ makna adil dengan maksud supaya bisa dianggap mampu berlaku adil. Kemampuan berlaku adil itu diartikan menjadi mampu memenuhi nafkah materi dengan kelanjutan eksploitasi kekayaan. Nabi Muhammad SAW tidak mengeksploitasi kekayaan untuk berpoligami.
Tradisi poligami kuno itu diluruskan oleh Rasulullah SAW. Poligami Nabi Muhammad SAW tidak berlawanan dengan al-Quran yang menyatakan tidak akan ada yang mampu berlaku adil dalam berpoligami. Nabi Muhammad SAW. mengaku tidak mampu berlaku adil di antara para isterinya dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Salah satu hikmah poligami Nabi adalah untuk memberikan informasi lugas dan ’praktis’ yang tidak bisa dibantah oleh umat manusia bahwa dalam berpoligami itu tidak akan bisa menghindar dari ketidakadilan. Adalah bohong besar kalau generasi sekarang yang berpoligami itu mengatakan mampu berlaku adil.
Nabi menjaga agar umatnya tidak melakukan ketidakadilan, maka Nabi tidak memerintah umatnya berpoligami. Apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai sunnahnya, tidak semuanya boleh dilakukan oleh umatnya kecuali yang diperintahkan. Nabi Muhammad SAW. wajib bertahajjud tiap malam, tetapi itu tidak diwajibkan bagi umatnya. Nabi beristeri lebih dari empat, tetapi ini tidak boleh dilakukan oleh umatnya karena tidak diperintah. Sangat jauh dari kebenaran generasi sekarang yang berpoligami dengan alasan melaksanakan sunnah Nabi.
Al-Quran tidak menjadikan ”adil” sebagai syarat poligami. Ini bukan berarti poligami diperbolehkan secara mutlak. Para budak itu dijadikan sasaran alternatif untuk berpoligami kalau tidak mau hanya menikah dengan satu saja perempuan yang merdeka. Pada tataran inilah poligami itu bisa terjadi tanpa resiko berlaku tidak adil. Meskipun demikian Islam tetap saja menganjurkan untuk memerdekakan para budak secara bertahap. Terhadap para budak saja sudah diperintahkan untuk memerdekakan, maka sangat tidak patut adanya upaya mengubah nasib status seorang perempuan yang merdeka menjadi sejajar dengan para budak, misalnya kalau perempuan merdeka itu dimadu atau dijadkan isteri kedua, ketiga atau keempat.
Pemberdayaan kaum perempuan yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah supaya kaum perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dengan menambah ilmu, utamanya pengetahuan yang khusus berkaitan dengan kaum perempuan. Pemberdayaan ini akan melahirkan banyak ahli, dokter dan tenaga medis lainnya dari kaum perempuan, sehingga tidak akan ada lagi masalah kesehatan pada aurat perempuan diurusi oleh kaum laki-laki dengan alasan darurat. Ini akan mewujudkan optimalisasi pengamalan syari’at Islam, yakni dapat menjaga keselamatan kaum muslimin dari maksiat meskipun darurat. Sebaliknya perlu dipahami dengan penuh keinsafan bahwa tidak akan ada tenaga ahli atau dokter perempuan kalau kondisi kaum perempuan masih sederajat dengan budak atau dipaksa menjadi budak dengan status dipoligami.
Kaum lelaki dan perempuan sama-sama hamba Allah SWT, mempunyai hubungan simbosis mutualisme. Hegemoni kaum lelaki adalah anugerah dari Allah SWT. untuk difungsikan dengan semestinya, yakni untuk menjaga hak-hak dan memberdayakan kaum perempuan. Selanjutnya kaum perempuan juga dapat meningkatkan derajat ketaqwaan kaum lelaki, yakni dengan mengingatkan agar menjaga diri dan menjauhi poligami dengan kaum perempuan yang merdeka. Ini hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah berani menegakkan haknya. Sebaliknya kaum perempuan tidak akan dapat mengingatkan kaum laki-laki kalau masih lemah dalam derajat budak dan belum diberdayakan oleh kaum lelaki. Ketika kaum perempuan sudah diberdayakan maka poligami tidak lagi ada dalam kamus Islam, sebagaimana hilangnya kasus perbudakan dalam Islam secara berangsur-angsur.
Seorang laki-laki yang telah menikah dan masih belum bisa merundukkan pandangannya dan membiarkan saja pandangannya terhadap yang maksiat, maka sesungguhnya perilaku ini tidak pernah masuk dalam sunnah Nabi. Kecenderungan untuk berpoligami pada akhir zaman ini sering kali bersumber dari pandangan mata yang liar ini. Dalam hal pandangan mata ini, Rasulullah SAW mengajarkan agar memohon pertolongan dari Allah SWT untuk tidak memiliki mata yang berkhianat, sebagaimana doa yang diajarkan berikut ini:
اللهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنَ النِّفَاقِ وَ عَمَلِيْ مِنَ الرِّيَاءِ وَ لِسَانِيْ مِنَ الكَذِبِ وَ عَيْنِيْ مِنَ الخِيَانَةِ فَإنَّكَ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَ مَا تُخْفِيْ الصُّدُوْرُ (رواه الحَكِيْمُ و الخَطِيْبْ عَنْ أم معبد الخزاعية)
(Ya Allah, sucikan hatiku dari kemunafikan, dan amalku dari riya’, dan lisanku dari dusta, dan mataku dari khianat. Sesungguhnya Engkau mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan dada) (HR Al-Hakim)
Kiranya demikian maksud hadis tersebut, yakni agar selalu terjaga dan tidak terlintas sedikitpun dalam benak umat Islam untuk berpoligami seperti poligami jahiliyah. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami ? (Surabaya: Jauhar, 2009), 116-120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan