Jumat, 25 Juni 2010

BAHASA ARAB_Metode Pembelajaran Bahasa Arab*

1. Unsur-unsur Metode
Semua pengajaran mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan (gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu pengajaran matemati-ka, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metoda (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6). Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari berbagai komponen yang berkaitan.
Seleksi materi dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut. Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja. Jadi semua metode, apakah itu metode terjemah, gramatika, langsung dan lain-lain untuk mengajarkan bahasa atau metode ceramah untuk mengajarkan tafsir, hadis dan lain-lain, sadar atau tidak sadar pasti memerlukan seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6).
Metode itu sendiri khususnya metode pengajaran bahasa ialah bagaimana cara mengajar dengan materi bahasa. Para pendidik akan memakai materi-materi itu, tetapi mereka tidak menjadi budak dari materi tersebut. Pendidik akan mengadakan perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan situasi kelasnya seperti mengada-kan latihan-latihan percakapan (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 71).
Sebelum seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi dilakukan, perlu diketahui terlebih dulu materi apa yang akan diajarkan, sebab materi bisa mempengaruhi seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Willian Francis Mackey: 1974, 155-157). Dalam hal ini materi yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu perlu diketahui sifat-sifat bahasa Arab, agar dengan demikian dapat ditentukan metode yang baik, mulai dari penentuan seleksi, penentuan gradasi, penentuan presentasi serta penentuan repetisi materi agar diperoleh keterampilan berbahasa.
Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu al-aswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien.

2. Tarik Menarik Metode
Sudah berkali-kali diadakan seminar dan diskusi mengenai metode pengajaran bahasa Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama RI dan IAIN (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 13)., namun kegiatan serupa masih saja sering digelar sampai dewasa ini. Ini menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa memberikan jawaban memuasakan mengenai cara bagaimana agar bahasa Arab itu menjadi mudah dikuasai oleh subyek didik.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi (Muljanto Sumardi et.al: 1975, 36). Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Sri Utari Subyakto Nababan: 1993, 14-5). Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip-prinsip linguistik (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 15). Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa agar pengajar merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajaran, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan yang cocok bagi dirinya sendir. (Muhammad Ali al-Khulli: 1982,.25-6).
Ada tiga metode yang dianggap inovatif yang muncul setelah metode Audio-Lingual hampir habis masa jayanya, yaitu metode Suggestopedia, Counseling-Learning dan The Silent Way (Azhar Arsyad: 2003, 22)
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji dalam buku-buku literatur kiranya sudah cukup lengkap, namun penentuan tentang metode yang tepat sering diperdebatkan. Permasalahannya adalah metode yang mana yang bisa menghasilan dua kemahiran bersamaan, yakni lancar membaca kitab kuning dan lancar berkomunikasi secara lisan. Permasalahan ini bermula dari anggapan adanya dua kemahiran yang berbeda dan bahkan berlawanan, yaitu: (1) Kalau mahir membaca kitab kuning maka lemah berkomunikasi secara lisan, dan (2) Kalau mahir berkomunikasi secara lisan maka lemah dalam membaca kitab kuning.
Sampai sejauh ini usaha menemukan metode untuk dua kemahiran yang "berbeda" tersebut menyebabkan tarik-menarik metode yang bergantian diterapkan di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Sekali waktu para alumninya biasanya dianggap sudah ahli membaca kitab kuning tetapi tidak cakap berbicara dalam bahasa Arab, dan pada waktu yang lain para alumninya dianggap sudah mahir berbicara tetapi lemah dalam membaca kitab kuning. Berganti-ganti dominasi "keterampilan" yang diharapkan sesuai dengan wawasan para pengelola lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Begitu juga metode yang diterapkannya berganti-ganti, sesuai dengan kemahiran yang diinginkan untuk para alumninya.
Manakala yang diinginkan adalah agar para alumninya itu memiliki keterampilan membaca kitab kuning, menterjemah, dan memahami isinya dengan tujuan agar langsung bermanfaat untuk menunjang kepentingan membaca literatur berbahasa Arab, maka proses pengajaran ditetapkan agar memakai metode untuk memperoleh keterampilan membaca kitab kuning.
Penetapan metode demikian ini sering kali berdasarkan asumsi bahwa ketidakmampuan berbicara dalam bahasa Arab (muhadatsah) bukan sebagai masalah karena yang dipentingkan adalah bisa membaca kitab dari pada mementingkan muhadatsah yang sering kali tidak dipergunakan, lagi pula praktek demikian biasanya dise-babkan adanya pandangan yang menganggap penerapan all in one system itu seperti kekanak-kanakan dalam belajar bahasa, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kalau yang diinginkan adalah para alumninya agar memiliki keterampilan berbicara maka metode yang diterapkan adalah metode untuk memperoleh keterampilan berbicara.
Dalam masalah tarik-menarik metode tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan membaca sering kali dengan cara memberikan teks kitab gundul sebagai latihan. Praktek yang berlangsung adalah menekankan pema-haman pelajaran gramatika yakni ilmu nahwu dan sharaf. Ada yang menganggap sudah tepat dengan menggunakan metode "Gramatika Terjemah" kalau yang dituju adalah kemampuan membaca (Chatibul Umam: 1980, 43).
Adapun yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan berbicara adalah metode langsung (direct method) yang menekankan pengucapan langsung menghindari penjelasan teoretis ilmu nahwu dan sharaf.
Masing-masing pemakai metode tersebut menonjolkan keung-gulannya sendiri serta menunjukkan kelemahan yang lain. Pada ta-taran ini diperlukan kesadaran kembali tentang keterampilan berbahasa. Sampai sejauh ini banyak yang beranggapan bahwa kemahiran membaca (kitab kuning) itu termasuk dalam keterampilan berbahasa. Demikian itu bisa jadi disebabkan beredarnya buku-buku teori pengajaran bahasa yang menerangkan bahwa ada empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak (مهارة الاستماع), berbicara (مهارة الكلام), membaca (مهارة القراءة), dan menulis (مهارة الكتابة) (Anonim: 1998, 6) Padahal empat macam keterampilan berbahasa tersebut muncul karena adanya tinjauan aspek reseptif-produktif secara terpisah dari kesatuan kemampuan berbahasa yang meliputi:
1. Aspek lisan reseptif, yaitu kemampuan memahami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara lisan;
2. Aspek lisan produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara lisan;
3. Aspek tulis reseptif, yaitu kemampuan memehami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara tertulis;
4. Aspek tulis produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara tertulis (Suyitno: 1986, 15).
Perlu dipahami bahwa teori-teori itu boleh jadi masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Hal ini mengingat bahwa keterampilan berbahasa Arab itu hanya dua, yakni mendengar dan berbicara, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian keterampilan berbahasa Arab. Di samping itu perlu disadari benar bahwa kasus tarik-menarik metode tersebut pada dasarnya muncul karena keberadaan tulisan bahasa Arab yang belum sempurna. Sederhana saja alasannya, bahwa tidak akan mungkin muncul kebutuhan untuk bisa mahir membaca tulisan bahasa Arab bila tulisannya sudah diberi syakal dengan lengkap. Begitu mudahnya membaca tulisan bahasa Arab yang sempurna sehingga tidak akan membutuhkan metode khusus.
Dalam kaitannya dengan anggapan bilamana metode "Gramati-ka Terjemah" itu sudah tepat untuk kemahiran membaca kitab kuning, maka anggapan itu akan gugur dengan sendirinya bila sudah diketahui fakta yang menunjukkan bahwa "Gramatika" bahasa Arab itu bukan alat untuk membaca tulisan.

3. Metode Pembelajaran Kosa Kata
Perbaikan sistem pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan formal diawali dengan Kurikulum Tahun 1976. Kurikulum tersebut mengembangkan sistem pengajaran bahasa Arab yang dikenal dengan all in one system. All in one system ini waktu itu merupakan gagasan Menteri Agama R I, Prof. Dr. HA. Mukti Ali. Metode yang digunakan adalah aural-oral approach, sesuai dengan perluasan tujuan pengajaran bahasa Arab, untuk mencapai semua kemahiran berbahasa (Abd. Rahman Shaleh: 1988, 8).
Dengan all in one system maka pengajaran didasarkan pada satu kesatuan materi dan bukan pada cabang-cabang materi bahasa Arab yang bermacam-macam. Dengan demikian materi pelajarannya meliputi materi membaca, mengungkapkan, menghafal, menulis, latihan nahwu sharaf, dan sebagainya yang kesemuanya saling berkaitan (Abd al-'Alim Ibrahim: tt., 34).
Kelihatan bahwa metode yang digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien.
Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu.
Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan (Chatibul Umam: 1980 43). Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa memahami makudnya, ke-mudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsug tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat.
Terdapat metode yang mendahulukan bercakap-cakap dan membaca. Metode ini amat disukai sebab bahasa yang dipelajari itu sudah boleh digunakan untuk bercakap-cakap dengan sesamanya. Metode demikian sesuai dengan prinsip belajar bahasa, bahwa belajar bahasa hendaknya tidak disibukkan dengan berbagai aturan tata bahasa tetapi cukup ditiru, dipahami dan dipakai dalam percakapan. Metode belajar bahasa secara langsung tanpa terjemahannya disebut sebagai metode langsung atau The Direct Method atau Natural Method atau Oral Method atau Modern Method atau Berlitz Method (Mahmud Junus: 1979, 23). Akan tetapi bagaimana bisa langsung bercakap-cakap kalau tidak memiliki kosa kata sama sekali? Karena itu perlu lebih dulu menghafal kosa kata.
Kalau dipergunakan metode langsung maka akan memakan waktu lama hanya untuk memahami satu atau dua kata saja. Apa salahnya bila diberikan kosa kata dengan terjemahannya langsung? Kemudian kata yang sudah dihafal itu digabung dengan kata yang lain yang juga sudah dipahami, selanjutnya dipergunakan dengan berulang-ulang dalam percakapan. Dalam memberikan makna atau arti kata tidak harus mempersulit diri, misalnya dengan keterangan langsung tanpa terjemah. Jadi perlu diperhatikan bahwa menerangkan dengan bahasa asalnya yang asing (Arab) itu hanya sekedar untuk motivasi agar murid atau mahasiswa tidak menggunakan bahasa sendiri, sehinga bersungguh-sungguh dalam mempergunakan bahasa Arab. Ini bisa disiasati cukup dengan menunjukkan artinya, kemudiuan tidak mengucapkannya kecuali dengan bahasa Arab.
Dari telaah terhadap berbagai metode, ada beberapa metode yang patut diperhatikan dalam menguasai kosa kata dengan efisien dan efektif. Pertama, Mimmem Method (Mimicry and Memorization Method). Metode ini untuk menghafal. Meskipun metode ini sering diterapkan dengan penyampaian kalimat utuh lebih dulu tetapi akan lebih baik bila diterapkan dengan penyampaian unsur paling kecil dalam kalimat, yakni kata. Dalam mempraktekkan Mimmem Method ini perlu digabung dengan metode kedua, yakni Language Control Method sehingga perolehan kosa katanya terkontrol mulai dari yang paling mudah dan sederhana sampai dengan yang paling sukar (Juwairiyah Dahlan, 1992, 116). Penggunaan metode ini akan menjadi benar-benar terkontrol bila diikuti dengan pemanfaatan metode ketiga, yaitu Phonetic Method, di mana metode ini lebih membiasakan pendengaran terhadap kata-kata terpendek dan selanjutnya pada kalimat yang panjang (Juwairiyah Dahlan: 1992, 112).
Penggunaan alat-alat peraga itu bisa disiasati dengan langsung saja diterangkan tanpa harus menghabiskan waktu dan beaya. Sebenarnya sederhana sekali belajar kosa kata dan cara menghafalnya, yakni dengan digabung dengan kata-kata yang lain agar cepat bisa menggunakan dan teringat terus. Kalau ini dikatakan sebagai metode eklektik maka sebutan itu perlu dibatasi dengan cara mengambil yang efektif dan efisien saja, sehingga tidak mempersulit diri seperti ketika memakai metode langsung dengan mempersiapkan alat peraga yang biasanya terlalu mahal yang ternyata hanya untuk memahami satu kosa kata saja. Adapun metode-metode lainnya itu hanya sekedar untuk mengusir kebosanan.
Dalam hal teori mengajarkan bahasa Arab, maka dikenal ada dua, yakni teori kesatuan (Nadhoriyat al-Wihdah) dan teori bagian-bagian (Nadhoriyat al-Furu'). Untuk yang pertama sesuai de-ngan teori gestalt yakni memahami secara keseluruhan lebih dulu selanjutnya memahami bagian-bagian terkecil yang perlu dipahami (Mahmud Junus: 1979, 26). Dalam kenyataannya dua teori tersebut akan dipakai pada kebutuhan tertentu, tidak bisa dipisahkan dalam arti tidak diperlu-kan salah satunya dalam praktek pembelajaran bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa pada kasus tertentu diperlukan penelaahan untuk bagian-bagian terkecil. Oleh karena itu kedua terori tersebut akan diperlukan pada waktu yang berbeda. Tidak perlu diperdebatkan keunggulan dan kelemahannya karena setiap teori memiliki kelemahan dan juga keunggulan.
Adapun gambaran konkret untuk bahan ajar materi kosa kata kiranya dapat dipergunakan buku Durus al-Lughah al-'Arabiyah 'Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Imam Zarkasyi dan Imam Syubani: t.t.) yang mana setiap awal bahasannya dimulai dengan pengenalan kosa kata lebih dulu. Penggunaan buku tersebut tidak harus dengan metode langsung yang bisa memakan waktu lama tetapi cukup sederhana dengan efektif dan efisien dalam memberikan penjelasan arti untuk masing-masing kosa kata. Modifikasi metode 'eklektik' sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipergunakan untuk menguasai kosa kata dengan mudah.

4. Metode Pembelajaran Gramatika (Nahwu-Sharaf)
Disebutkan bahwa mengajarkan gramatika pada mulanya, tidak dipentingkan, melainkan dengan diselipkan pada waktu pelajaran bercakap-cakap dan membaca. Dipandang salah bila mengajarkan buku ilmu nahwu "Ajrumiyah" pada permulaan, sementara subyek didik belum mengetahui bahasa Arab sedikitpun. Subyek didik tidak akan dapat belajar kaedah suatu bahasa bila belum mengetahui kata-kata bahasa itu (Mahmud Junus: 1979, 24). Mengajarkan nahwu dan sharaf atau ta’rif-ta’rifnya hendaknya setelah pandai bercakap-cakap dan membaca dalam bahasa Arab (Mahmud Junus: 1979, 26).
Menurut sistim lama, nahwu sharaf adalah pelajaran yang mula-mula dalam pelajaran bahasa Arab. Menurut sistim yang baru di Mesir bahwa nahwu sharaf itu belum diajarkan di kelas 1, 2, 3, dan 4 sekolah Ibtidaiyah. Hanya di kelas 5 dan 6 baru diajarkan sedikit demi sedikit, yaitu sekedar dua jam pelajaran dalam seminggu. Di Sekolah Menengah Pertama baru diajarkan nahwu sharaf dengan teratur (Mahmud Junus: 1979, 81). Jadi pembelajaran ilmu nahwu baru dimulai setelah mu-rid-murid sudah memiliki kosa kata dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ilmu nahwu dan sharaf itu merupakan ilmu tata kata. Ilmu tersebut baru bisa dipergunakan dengan semestinya setelah ada kata-kata yang akan di-tata (diatur). Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu dianjurkan dimulai lebih dulu dengan pengenalan kosa kata yang akan ditata atau dengan menunjukkan lebih dulu kosa kata yang sudah tertata dengan sempurna dalam sebuah kalimat dengan pengertian yang utuh. Pengenalan kosa kata itu melalui pelajaran muhadatsah, muthola'ah, dan mahfudhat atau hafalan kalimat-kalimat yang mudah dan pendek (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika dianjurkan untuk dipergunakan metode istimbath, yaitu mulai dengan beberapa misal kemudian sampai mendapatkan kaedah (ta’rif). Misal-misal tersebut hendak-nya dalam kalimat sempurna, Misal-misal itu diambil dari kisah pendek atau dari sepotong bacaan, bukan dari misal yang tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Kaedah-kaedah itupun tidak perlu dipaksakan untuk dihafal secara tekstual, agar tidak mematikan otak untuk berfikir. Misal-misal itu diberikan sebanyak mungkin serta menarik dan mempunyai pengertian yang benar. Contoh-contoh yang telah lama (sudah tidak relevan) dihindari. Kemudian subyek didik berlatih membuat dan memberi contoh sendiri, supaya mereka aktif dalam pelajaran. Latihan demikian ini perlu sesering mungkin (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika tidak perlu dijelaskan lebih dulu hal-hal yang syadz (jarang dipakai, aneh-aneh atau pengecualian), karena akan menyulitkan ingatan atau menyebabkan kebingungan. Perlu diperbanyak uslub-uslub yang berlaku saja, tidak perlu diberikan contoh yang keliru sebagai latihan untuk dibetulkan, karena metode demikian ini menyusahkan dan bertentangan dengan metode-metode pendidikan yang baik, tetapi hendaknya lebih diperbanyak contoh-contoh yang betul saja agar tertanam yang benar itu dalam pikiran. Selanjutnya untuk latihan dan bimbingan maka diberikan latihan penerapan kaedah-kaedah nahwiyah dengan bimbingan terus-menerus melalui koreksi catatan yang dibuat (Abubakar Muhammad: 1981, 85-6).
Dari gambaran anjuran di atas, yang tentunya berdasarkan pengalaman yang lalu, maka akan sangat efektif dan efisien bila pembelajaran nahwu-sharaf mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Penyiapan bacaan ringan yang mengandung kalimat atau ungkapan untuk contoh yang akan dijadikan pembahasan berkaitan dengan suatu topik gramatika.
2. Pemahaman terhadap bacaan ringan dengan berbahasa Arab sederhana.
3. Pembahasan kalimat atau ungkapan contoh dari segi gramatikanya.
4. Penyimpulan dan penyusunan kaedah gramatika untuk contoh yang telah dipersiapkan.
5. Pelatihan sebagai repetisi dengan membuat contoh lain sesuai kaedah yang dihasilkan.
Lima langkah tersebut disusun demikian ringkas untuk memudahkan ingatan. Masing-masing langkah berdasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran bahasa. Pada langkah pertama maka contoh yang dipersiapkan bukan kalimat lepas, tetapi kalimat yang berkaitan dengan pemahaman lainnya sehingga mudah untuk diingat, seperti dalam sebuah cerita. Langkah kedua merupakan kegiatan me-mahami dan atau menguraikan maksud contoh dengan bahasa Arab sederhana, bisa juga memakai bahasa harian yang 'Amiyah sekedar untuk membantu kalau belum bisa menggunakan bahasa dengan baik. Langkah ketiga mendiskusikan bentuk kata dari segala seginya sampai dengan i'rabnya. Langkah keempat berusaha membuat kaedah tata bahasa bersama-sama dan selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaedah yang sudah ada. Langkah terakhir adalah upaya agar diperoleh keterampilan berbahasa dengan cara mene-rapkan kaedah tersebut pada percakapan tertentu atau dengan menunjukkan kalimat yang sepadan dalam teks-teks bahasa Arab.
Demikian pembelajaran gramatika diselipkan pada pemahaman terhadap bacaan, yang berarti pembelajaran gramatika itu sudah didahului dengan belajar kosa kata dan setelah bisa bercakap-cakap meskipun dengan sederhana.
Adapun buku-buku gramatika bahasa Arab yang hanya berisi contoh-contoh kalimat lepas yang ada selama ini, maka peman-faatannya bisa sekedar untuk bahan rujukan dan untuk menambah ingatan serta pendalaman lebih lanjut bagi para senior. Dengan demikian maka pembelajaran ilmu nahwu-sharaf menjadi mudah karena sudah didahului dengan pemahaman terhadap contoh yang ditampilkan. Masalahnya akan muncul pertanyaan: "Kalau sudah dapat memahami percakapan berbahasa Arab maka untuk apa mempelajari ilmu nahwu sharaf?"
Memang, ilmu nahwu-sharaf dipakai agar dapat memahami maksud ungkapan atau kalimat bahasa Arab dalam segala bentuknya. Dengan ilmu nahwu-sharaf itu pula subyek didik dapat mengungkapkan bahasa Arabnya secara lisan dengan betul sesuai dengan tradisi bahasa Arab standar sehingga dapat dipahami oleh pihak yang mendengar atau oleh pihak yang membaca bila ungkapan itu dituliskan.
Dari kajian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran ilmu nahwu-sharaf itu erat kaitannya dengan pem-belajaran bahasa Arab fusha (standar). Pada tataran percakapan sederhana yang mudah dipahami maka ilmu nahwu-sharaf tidak begi-tu diperlukan. Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu-sharaf tidak begitu menarik perhatian kecuali bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam pemakaian bahasa Arab fusha. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan "mampu berbicara bahasa Arab" yang dianjurkan sebelum mempelajari ilmu nahwu-sharaf itu adalah mampu berbicara sederhana atau dengan bahasa 'Amiyah, tanpa terikat aturan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar ilmu nahwu-sharaf tersebut adalah dalam rangka membetulkan ungkapan-ungkapan bila terdapat kekeliruan yang menyebabkan tidak dapat dipahami.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 73-86
_____________________
Kepustakaan
Abd al-'Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al’Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma’arif tt.).
Abd. Rahman Shaleh, Sistem Pengajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendiikan Formal, dalam Mimbar Ulama (Jakarta: No. 127 Tahun XII Edisi Maret 1988).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981).
Anonim, Al-'Arabiyah al-Muyassaroh ‘Ala Thoriqot al-Qiro’ah (Surabaya: Sentra kajian bahasa IAIN Sunan Ampel:1998).
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT Al-Ma'arif, 1980).
Imam Zarkasyi dan Imam Syubani, Durus al-Lughah al-'Arabiyah 'Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Gontor Ponorogo: Trimurti, t.t.).
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Al Ikhlas, 1992).
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Qur’an) (Jakata:PT Hidakarya Agung, 1979).
Muhammad Ali al-Khulli, Asalib Tadris al-Lughah al-'Arabiyah (Riyadh, Al-mamlakah al-'Arabiyah as-Sa'ufiyah, 1982).
Muljanto Sumardi et. al., Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI, 1973).
Muljanto Sumardi et.al., Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Sri Utari Subyakto Nababan, MetodologiPengajaran Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Suyitno, Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa (Yogyakarta: Hanindita, 1986).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 85-6.
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaranb Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).Lang
Willian Francis Mackey, Language Teaching Analyses (London: Longman, 1974).

Minggu, 20 Juni 2010

BAHASA ARAB_Pokok Bahasan yang Tidak Perlu Diajarkan*

Seleksi materi dalam proses belajar mengajar bahasa Arab sangat diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua kosa kata serta aturan pemakaiannya dalam satu kesempatan yang terbatas. Pada penyusunan silabus dengan langkah seleksi ini pasti ada pokok-pokok bahasan yang tidak dipersiapkan sebagai bahan pembelajaran.
Tidak semua pokok bahasan dalam buku-buku yang berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab harus disajikan dalam proses pembelajaran. Alasan yang pertama adalah berkaitan dengan waktu penyampaiannya. Ada pokok bahasan yang disampaikan lebih dulu dan bahkan menjadi syarat untuk pokok bahasan berikutnya, dan ada pokok bahasan yang disampaikan belakangan sesuai dengan tata urut yang logis. bahkan ada yang diserahkan kepada para pelajar sendiri karena pertimbangan praktis bahwa materi bahasan itu cukup dipelajari sendiri dalam kasus untuk pendalaman dan atau sekedar untuk diketahui sepintas dan bukan untuk dilatihkan sebagai suatu keterampilan.
Adapun alasan kedua sebab materi pembelajaran itu tidak disajikan adalah karena kesalahan konsep dan orientasi. Untuk sebab pertama ini, yakni kekeliruan konsep atau pemahaman maka perlu diluruskan lebih dulu konsep yang keliru tersebut. Adapun untuk sebab kedua, yakni karena kekeliruan orientasinya, maka ini perlu penjelasan mengenai tujuan dan arah pembelajar pokok-pokok bahasannya agar tidak menghabiskan waktu untuk masalah yang mestinya tidak perlu diajarkan atau karena melenceng dari tujuan pembelajaran.
Pokok bahasan yang masuk dalam kriteria tidak perlu diajarkan dalam kasus ini adalah yang bersangkut paut dengan materi gramatika, yakni khusus ilmu nahwu. Berikut ini pokok bahasan yang dimaksud.

1. I'rab Taqdiri dan Mahalli
I'rab taqdiri adalah i'rab untuk kata-kata yang dianggap tidak memiliki tanda i'rab sehingga tandanya diperkirakan atau taqdiri. Disini terdapat kekeliruan konsep, yaitu ketika menyebutkan tanda i'rab yang diperkirakan.
Perlu dipahami bahwa suatu tanda itu adalah hissi, yakni dapat diindera. Bila tanda itu ditulis maka dapat dilihat tulisannya, dan bila tanda itu diucapkan maka dapat didengar tanda tersebut dan bila dibuang (hadzaf) maka dapat diketahui bahwa tanda itu tidak ditulis atau bunyi tanda itu tidak dapat didengarkan karena tidak diucapkan sehingga terasa ada yang kurang.
Suatu tanda itu bukan diperkirakan adanya tetapi memang ada dan konkret, karena tanda itu sebagai pembeda. Kalau tidak ada pembeda maka tidak ada tandanya dan kata yang tidak ada tanda i'rabnya tidak perlu lagi dibeda-bedakan atau diklasifikasi, karena kata yang tidak memiliki tanda pembeda itu akan tetap saja bentuknya dan tidak berbeda meskipun dibeda-bedakan.
Dalam hal kata yang tidak bisa dibeda-bedakan ini muncullah istilah mabni dalam ilmu nahwu. Untuk mengetahui i'rab kata yang dinyatakan sebagai kata mabni, maka caranya adalah senantiasa lebih dulu membutuhkan pemahaman tentang fungsi kata dalam kalimat, kemudian menentukan i'rab dan memperkirakan tanda i'rab kata itu. Dalam kasus seperti ini, yakni mengetahui i'rab kata setelah mengetahui maksud kalimat lebih dulu, maka proses penentuan i’rabnya adalah terbalik. Proses menentukan i’rab suatu kata yang lazim adalah memperhatikan tanda i’rab suatu kata untuk diketahui i’rabnya, dan setelah diketahui i’rab kata tersebut maka dapat ditentukan fungsinya dalam kalimat yang mengandung kata tersebut. Setelah mengetahui fungsi kata tersebut maka maksud kalimat dapat dipahami dengan benar.
Lain masalahnya bila sudah mengetahui maksud kalimat lebih dulu, maka perkiraan tanda i'rab kata dalam kalimat itu sudah tidak penting lagi. Kelihatan disini bahwa i'rab dan tanda i'rabnya tidak berfungsi dengan sebenarnya karena memang hanya perkiraan saja. Demikian juga untuk i'rab mahalli yang hanya diketahui ketentuan i'rabnya setelah dipahami maksud kalimat atau kedudukan dan fungsi kata itu dalam kalimat. Jadi materi bahasan i‘rab taqdiri dan mahalli ini tidak perlu diajarkan. Hal ini disebabkan adanya kekeliruan pemahaman konsep tentang i'rab dan fungsinya dalam ilmu nahwu sehingga muncul istilah yang kontradiktif, yakni memahami suatu tanda yang konkret sebagai sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu tidak ada manfaatnya kecuali untuk membuang-buang waktu saja.

2. Tanda I'rab Far'iy (Cabang)
Konsep tentang tanda i'rab asli dan cabang atau far'iy menganggap bahwa tanda i'rab yang asli itu adalah harakat dan sukun sementara yang lainnya adalah bukan asli tetapi cabang. Seperti dinyatakan demikian: bahwa ada empat tanda i'rab rofa' yakni dlommah, wawu, alif, nun, dan dlommah itu yang asli, …. Ada tiga tanda i'rab jazm, yakni sukun, membuang akhir kata, membuang nun, dan sukun itu yang asli (Musthofa al-Gholayaini: 1972, 18-9).
Dengan pernyataan tersebut di atas, maka tidak heran bila ada yang mengatakan bahwa tanda i'rab rofa' selain dlommah itu adalah tanda yang bukan asal tetapi cabang. Dinyatakan sebagai tanda cabang atau far'iy alasannya adalah karena tanda i'rab tersebut mengganti yang asli. Misalnya tanda dlommah sebagai tanda rofa' untuk ism mufrod disebut sebagai tanda asli sementara wawu sebagai tanda rofa' untuk kata jama' mudzakkar salim dianggap sebagai tanda i'rab cabang. Alasannya adalah bahwa wawu itu mengganti dlommah karena wawu lahir dari dlommah ketika di-panjangkan ('inda al-Isyba') (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t., 15-6).
Ini alasan yang diberikan untuk tanda i'rab rofa' wawu untuk jama' mudzkkar salim. Adapun untuk alasan bahwa alif itu adalah cabang dlommah maka dinyatakan bahwa alif itu saudaranya wawu (Ukhtuha) dengan alasan bahwa keduanya berasal dari huruf mad dan layn. Selanjutnya nun sebagai cabang dari dlommah itu alasan yang dikemukan adalah karena nun itu mendekati wawu dalam makhrajnya (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t, 15-6)
Dengan memperhatikan alasan yang dipakai untuk menunjukkan bahwa tanda i'rab cabang itu asalnya dari tanda yang asli, menjadi kelihatan bahwa tanda i'rab itu dipahami sebagai suatu unsur terpisah di luar kata yang memiliki tanda i'rab tersebut, seolah-olah tanda i'rab itu suatu unsur lain yang menempel pada kata dan bisa dibuang atau dihilangkan dari kata itu. Sebagai contoh bahwa tanda i'rab rofa' wawu, alif, dan nun itu dinyatakan berasal dari dlommah dengan berbagai argumentasi yang dipaksakan agar bisa diterima bahwa memang tanda i'rab rofa' asli itu bisa berubah menjadi tanda i'rab cabang atau setidak-tidaknya tanda itu masih sejenisnya. Padahal sudah diketahu bahwa berbedanya tanda i'rab itu karena berbeda jenis katanya.
Di samping itu tanda i'rab yang ada itu adalah unsur kata itu sendiri, bukan merupakan bagian lain yang menempel dan bisa dibuang begitu saja. Wawu sebagai tanda i'rab rofa' pada kata jenis jama' mudzakkar salim tidak bisa dibuang seperti kalau sedang malas menulis harakat pada kata jenis mufrod seperti muslim karena wawu pada kata jama' mudzakkar salim itu adalah bagian dari kata itu sendiri yang tidak bisa dibuang. Bagitu juga alif yang menjadi tanda rofa' bagi kata tasniyah tidak mungkin bisa dibuang karena alif itu merupakan bagian kata itu sendiri. Demikian juga nun yang menjadi tand i'rab rofa' bagi fi'il mudlori' yang disebut al-Af'al al'khomsah.
Dari uraian singkat tersebut di atas mestinya sudah bisa dipahami bahwa pada dasarnya tanda i'rab rofa' pada kata tatsniyah itu alif. Tanda alif itu bukan karena saudara wawu, tetapi memang asli karena alif sebagai tanda tatsniyah, begitu juga tanda-tanda yang lainnya adalah asli semuanya yang tidak bisa dibuang karena tanda itu merupakan unsur dari bunyi kata itu sendiri. Kalau tanda i'rab furu' saja tidak bisa dibuang, misalnya huruf wawu pada kata jama' mudzakkar salim, lalu bagaimana mungkin kita bisa membuang tanda asli, misalnya harakat dlommah dalam isim mufrod? Kajian singkat ini memberikan ketetapan bahwa tanda i'rab itu semuanya adalah asli, tidak ada tanda far'iy atau tanda cabang dan semuanya tidak bisa dibuang karena semuanya adalah unsur kata itu sendiri.

3. Badal Gholath.
Badal Gholath itu mengganti kata sebelumnya karena kekeliruan. Ini diterangkan dalam ilmu nahwu dengan contoh tertulis bah-wa yang diganti itu masih ada tertulis dan terletak sebelum kata yang mengganti, sebagai berikut:
أَعْطِ السَائِلَ ثَلاثةً أَرْبَعَةً
Kata Tsalatsatan masih ada dan ditulis sebelum kata Arba'atan yang berfungsi sebagai penggantinya atau badal. Badal ini namanya badal mubayin yang disebut juga dengan badal ghalath.(Hifni Bik Nasif dkk: t.t., 77).
Tinjauan terhadap kajian ini yang ditonjolkan adalah bahwa badal ghalat ini tidak boleh terjadi pada sebuah tulisan. Dalam ucapan bisa saja terjadi ada badal gholat, tetapi untuk tulisan yang keliru tidak akan dibiarkan keliru. Bila sudah diketahui ada kekeliruan maka segera dibetulkan, dengan cara dihapus atau diberi tanda salah atau dicoret. Karena itu badal gholath tersebut hanya diajarkan pada kekeliruan ucapan dan tidak layak diadakan dalam kajian tertulis karena tidak akan mungkin terjadi. Kalau tertulis demikian: "Ini buku Umar, Ali", dengan maksud kata Ali mengganti kata Umar, maka tulisan itu jelas keliru. Oleh karena keliru maka harus dibetulkan dengan dihapus, tidak dibiarkan dua nama tetap tertera begitu saja.
Perlu dijelaskan bahwa demikian ini hanya terjadi secara lisan dan tidak dalam tulisan. Ini yang menyebabkan materi badal ghalat tersebut tidak layak diajarkan dan tidak perlu dijadikan bahasan dalam ilmu nahwu.

4. Jumlah Laha Mahal Min al-I'rab wa al-Lati La Mahalla Laha Min al-I'rab.
Hampir di banyak buku ilmu nahwu diajarkan bab Jumlah Laha Mahal Min al-I'rab wa al-Lati La Mahalla Laha Min al-I'rab ini, padahal materi ini tanpa diajarkan akan diketahui dengan sendirinya bila sudah mengerti bahwa tempat i'rab atau klasifikasi itu ada pada kata bukan ada pada jumlah. Artinya, tiap kata yang beri'rab dan disebut mu'rob kemudian tempatnya ditempati oleh yang lainnya, misalnya ditempati oleh jumlah, maka jumlah itu ikut-ikutan dii’rabi atau diklasifikasikan seperti kata atau ism mufrod semula.
Pekerjaan klasifikasi atau mengi'rabi jumlah ini tidak ada gunanya. Tidak ada tanda i’rab untuk jumlah. Kalau maksud kalimat sudah dipahami maka sudah tidak diperlukan lagi menentukan i'rab suatu kata apa lagi jumlah. Oleh karena itu mengajarkan materi ini sama saja dengan membuang-buang waktu.

5. Ahkamu Ma Ba’da al-Wawi
Bab Ahkamu Ma Ba’da al-Wawi ini ada pada sub bab maf'ul ma’ah. Judul tersebut (Ahkamu Ma ba'da al-Wawi) maksudnya adalah wawu al-ma'iyah, bukan wawu lainnya, tetapi ternyata dalam bahasannya dimasukkan juga wawu yang lainnya, yakni wawu 'ataf. Artinya, keterangan dalam bahasan wawu ma'iyah ini menunjukkan bahwa di belakang wawu itu bisa ditentukan i'rabnya menjadi i'rab yang mengikuti, seperti 'athof atau bisa menjadi maf'ul ma'ah (Musthofa al-Gholayaini: 1972,70-4).
Pada judulnya saja sudah mengandung pengertian bahwa yang dimaksud dengan ma ba'da al-'wawi itu adalah wawu ma'iyah. Jadi semestinya i'rab kata setelah wawu adalah nashab sebagai maf'ul ma'ah, bukan lainnya. Akan tetapi ternyata kelihatan bahwa bahasan disitu mempunyai tujuan untuk menunjukkan bagaimana cara membaca tulisan bahasa Arab yang tidak berharakat, yakni untuk mengetahui i'rab kata setelah wawu. Dan bila dipahami bahwa yang dimaksud dengan wawu itu wawu ma'iyah maka setelahnya adalah beri'rab nashab sebagai maf'ul ma'ah.
Ketika isi kajiannya menjadi tidak disiplin, yakni tidak fokus pada maksud wawu ma'iyah, maka ada kerancuan dalam kajian ini yang tidak layak untuk diajarkan. Di samping itu materi ini tidak layak dajarkan karena oreintasinya adalah bahwa ilmu nahwu itu dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul, dan ini sudah keliru sejak awal, karena ilmu nahwu bukan alat untuk membaca kitab gundul, tetapi bagaimana memahami kalimat yang sudah konkret disampaikan oleh pembicara atau penulis.

6. Al-Mubtada' Lahu Marfu'.( المتدأ له مرفوع ).
Al-Mubtada' lahu marfu' dikenal dengan Al-Mubtada' as-shifah. Al-Mubtada lahu marfu' ini disebut lagi sebagai al-Mubtada' alladzi lahu fa’il sadda masadda al-khobar.
Dinyatakan sebagai mubtada' dengan dua syarat (Abd al-Syakur Rahim: 1979, 35-6) yaitu:
a. Mubtada' tersebut adalah ism fa'il atau ism maf'ul mufrod/ tunggal dan didahului dengan nafi atau istifham, misalnya
مَا قائِمٌ الرَجُلانِ, مَا مَضْروبٌ الناجِحانِ,
أَ قَاِئمٌ الطُلاّبُ؟, هَلْ مُحْتَرَمٌ الطالِبَانِ
b. Fa'il atau na'ib al-fa'il terdiri dari ism dhohir atau dlomir munfasil, misalnya:
مَا حَاضِرٌ التِلْمِيْذُ, , مَا مَحْبُوْبٌ الكَسْلانُ.
هَلْ مُجَاهِدٌ أنْتُم؟ هَلْ مُحْترَمٌ أنْتَ أيُّهَا الأسْتاذُ؟
Kata-kata yang dimaksud sebagai mubtada' tanpa khobar itu ada yang menyebutnya sebagai sifat (al-wasfu) dan yang dimaksud dengan sifat itu adalah ism fa'il, ism maf'ul, as-shifah al-musyabbahah, af'al al-tafdlil, ism mansub (yang dinisbahkan). Semuanya itu menduduki tempat fi'il, yang berarti juga beramal sebagai amal fi'il, karena itu tidak boleh tatsniyah, tidak jama', tidak disifati, tidak ma'rifat, dan tidak ditashghir (Ahmad al-Hasyimi: 1354 H, 139-40), dan setelahnya itu adalah fa'il atau na'ib al-fai'ilnya yang dikatakan sedang menduduki tempat khobar.
Fa'il atau na'ib al-Fa'il itu tidak mugkin dikatakan sebagai khobar karena tidak memenuhi syarat khobar. Sementara untuk kata yang depan yang dinyatakan sebagai mubtada' itu karena berjenis ism dan letaknya di depan sebagaimana sering dikatakan bahwa mubtada' adalah ism marfu' di awal jumlah. Kelihatan jelas sekali bahwa menentukan fungsi kata sebagai mubtada' hanya karena ter-pengaruh definisi yang menyatakan bahwa mubtada' itu ism marfu' fi awwali al-jumlah yang mestinya definisi demikain perlu ditinjau kembali, dengan bukti bahwa tidak semua mubtada' itu di depan karena ada juga yang di belakang seperti mubtada' mu'akhkhor.
Dalam setiap jumlah ismiyah itu ada mubtada' dan khobar. Disini ada mubtada' tanpa khobar. Tetapi bila dinyatakan sebagai jumlah fi'li-yah tenyata bukan fi'il meskipun pada kenyataannya semua sifat itu diamalkan sebagai fi'il, yang terbukti tidak tatsniyah, tidak jama' dan seterusnya sebagai syarat jumlah fi'liyah yang terdiri dari fi'il dan fa'il.
Selanjutnya menetukan i'rab seperti ini lebih layak dengan cara mendekati pemahaman maksud kalimat melalui struktur demikian itu. Artinya, sifat yang disebut sebagai mubtada' al-sifah itu dinyatakan sebagai musnad dan fa'il setelah itu dinyatakan sebagai musnad ilaih.
Dalam kaitannya dengan pengertian kalimat maka perlu analisis struktru mubtada lahu marfu’ tersebut beserta maksud yang dikandungnya. Untuk itu perlu diperhatikan contoh-contoh berikut:
1- أ مُجَاهِدٌ الطَالِبُ؟ 2- أ مُجاهِدٌ الطالبانِ؟ 3- أ مُجاهِدٌ الطَلَبَةُ؟
4- أ مُجَاهِدَانِ الطالبُ؟ 5- أ مُجاهِدانِ الطالبانِ؟6- أ مُجاهِدانِ الطلبة؟
7- أ مُجَاهِدُوْنَ الطالِبُ؟ 8- أ مُجاهِدون الطالبانِ؟9- أ مُجاهِدونَ الطَلَبَةُ؟
Contoh kalimat-kalimat tersebut di atas tidak semuanya betul. Contoh kalimat di atas yang memenuhi syarat struktur bahasa Arab adalah kalimat-kalimat nomor 1, 2, 3, 5, dan nomor 9. Sedangkan nomor 4, 6, 7, dan 8 tidak bisa dibenarkan dalam struktur bahasa Arab.
Dalam menentukan i'rabnya maka dinyatakan bahwa untuk contoh nomor 1 yakni:
أَ مُجَاهِدٌ الطَالِبُ؟
memiliki analisis i'rab dua macam yaitu (1) bahwa kata "mujahid" adalah khobar muqaddam dan "al-Thalib" adalah mubtada' mu'akh-khor, dan (2) bahwa kata "mujahid" adalah mubtada' al-sifah (yang tidak memiliki khobar) dan kata "al-Thalib" adalah fa'il yang menduduki tempat khobar (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 91). Dapat diperhatikan dengan seksama bahwa satu model struktur tersebut dianalisis dengan dua macam i'rab (klasifikasi kata) dalam satu kesempatan, yakni mubtada'nya itu kata mujahid dan kata al-Thalib. Artinya, klasifikasi kata atau pengi'raban itu pada dasarnya adalah untuk menentukan apa maksud kalimat, seperti menentukan bahwa kata mujahid itu adalah mubtada' maka terkandung pengertian di dalamnya bahwa kata mujahid itu adalah musnad ilaih atau pokok kalimat.
Kalau dalam klasifikasi kata (pengi'raban) ditentukan juga bahwa kata al-Thalib itu adalah fa'il yang terkandung juga di dalamnya pengertian bahwa fa'il itu adalah musnad ilaih, maka musnad ilaihnya berpindah-pindah, yakni satu struktur kalimat itu memiliki dua maksud yang tidak sama. Tentu saja timbul pertanyaan: apa maksud kalimat itu sebenarnya? Secara sederhana terjemahannya demikian: Apakah pelajar itu rajin? Terjemahan demikian adalah model bahwa kata mujahid itu khobar dan mubtada'nya atau musnad ilaihnya atau pokok kalimatnya adalah al-Thalib. Maka bagaimana menterjemahkan klasifikasi kata kedua yang menyata-kan bahwa kata mujahid itu mubtada' atau musnad ilaih atau berarti itulah pokok kalimatnya? Kalau ada yang menterjemahkan dengan model kedua demikian: Apakah yang rajin itu seorang pelajar? Maka terjemahan ini tidak memenuhi ketentuan struktur. Kata Mujahid tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan "yang rajin itu" yang berarti ma'rifat padahal kata mujahid tersebut adalah nakirah dan tidak bisa diterjemahkan dengan "yang rajin itu".
Lagi pula tidak akan terjadi dalam suatu kalimat ternyata pokok kalimatnya dua dan tidak ada keterangannya (predikatnya) ketika diklasifikasi (dii'rabi) bahwa kata mujahid itu mubtada' dan kata al-Thalib itu fa'il yang berarti keduanya adalah musnad ilaih atau pokok kalimat. Dengan demikian akan menjadi lebih baik bila dii'rabi dengan model bahwa kata "mujahid" itu khobar muqaddam atau bila tidak dapat dinyatakan sebagai khobar misalnya seperti pada contoh nomor 2 dan 3 maka sebaiknya dinyatakan sebagai ism yang beramal sebagai fi'ilnya sebagaimana sering dilaksanakan demikian bahwa ism fa'il itu bisa beramal sebagaimana fi'ilnya dan kenyataannya demikian dengan syarat tidak boleh tatsniyah atau jama' dst. Sedangkan kata al-Thalib dinyatakan sebagai fai'lnya yang berarti musnad ilaihnya. Maka dengan i'rab demikian pengertian struktur kalimat bisa dipahami dalam satu maksud, yakni: “Apakah pelajar itu rajin?” I'rab demikian tidak berlaku untuk con-toh nomor 5 dan 9. Namun dapat dipahami bahwa struktur demikian menunjukkan bahwa musnad ilaih atau pokok kalimatnya adalah berada di akhir kalimat (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 91-2).
Dari kajian tersebut di atas dapat dipahami bahwa mengkalsifikasi kata (mengi'rabi kata) dalam kalimat dengan struktur demikian tidak sepantasnya dengan menunjukkan kata nakirah itu sebagai mubtada' meski didahului oleh nafi atau istifham. Dengan kelanjutan bahwa pengi'raban demikian tidak ada manfaatnya serta menyebabkan kekeliruan dalam pemahaman.
Penyebutan bahwa materi ini tidak perlu diajarkan adalah disebabkan kekeliruan pemahaman terhadap struktur yang diawali dengan ism nakirah dan didahului dengan adanya nafi dan istifham, yang seolah-olah ism itu berarti sudah memenuhi syarat mubtada' yang ditunjang dengan definisi bahwa mubtada' itu ism marfu' di awal kalimat, padahal keterangan tentang tempat mubtada' di awal kalimat itu kadang-kadang saja, bukan substansi tempat mubtada' mesti di awal kalimat. Ketika kata "mujahid" dipaksakan sebagai pokok kalimat maka pengertiannya tidak masuk akal karena tidak sesuai dengan yang dikehendaki struktur kalimat itu.

7. Hadzfu al-Mubtada’ Wa al-Khobar Wujuban.
Bahasan tentang hadzfu al-mubtada' wujuban dan hadzful al-khobar wujuban menerangkan bahwa ada sebuah kalimat yang mubtada'nya tidak boleh ditampilkan, demikian juga sebaliknya ada kalimat yang khobarnya tidak boleh ditampilkan.
Contoh pada kasus hadzfu al-mubtada' wujuban sebagai berikut:
فِىْ ذِمَّتِىْ لأَخْلَعَنّ رَدَاءَ الكَسَلِ,
فِىْ عُنُقِىْ لأبْذُلَنّ كُلّ جُهْدِىْ,
Dalam kalimat-kalimat tersebut tidak ditemukan ism marfu' di awal jumlah sehingga tidak bisa ditemukan mubtada'nya, tetapi dalam kalimat itu ditemukan jir majrur yang bisa difungsikan sebagai khobar, yakni khobar syibhu al-jumlah. Kata-kata dalam kalimat tersebut yang dianggap sebagai khobar syibhu al-jumlah adalah:
فِىْ ذِمَّتِىْ, فِىْ عُنُقِىْ.
Anggapan tersebut berlandaskan pada kebiasaan bahwa setiap kalimat itu terdiri dari mubtada' dan khobar. Jadi kalau salah satunya tidak ada maka seperti ada keharusan untuk dipahami bahwa yang tidak ada itu asalnya ada dan sedang dibuang. Dalam contoh tersebut yang dianggap tidak ada adalah mubtada'nya. Akan tetapi kalau diumpamakan mubtada'nya dimunculkan maka tidak mungkin karena menyebabkan berubahnya makna dari pemahamannya, struktur bersumpah menjadi kalimat biasa. Oleh karena itu dinyatakan bahwa mubtada'nya tidak boleh ada dengan kata lain mubtada'nya dibuang secara wajib atau hadzfu al-mubtada' wujuban.
Anggapan seperti itu serta keinginan menganalisis semua kali-mat dengan struktur mubtada'-khobar menyebabkan munculnya bahasan hadzfu al-Mubtada' wujuban tersebut. Padahal seperti diketahui bahwa kalimat ini memiliki struktur tersendiri, yakni un-tuk sumpah, yang berbeda dengan struktur kalimat biasa. Jadi tidak boleh dianalisis sama dengan menganalisis kalimat dengan struktur mubtada-khobar. Kalau itu yang terjadi maka pemahaman maknanya berbeda, tidak lagi dengan aksen sumpah tetapi dengan gaya bahasa datar sebagai subyek dan predikat atau mubtada'-khobar seperti cerita biasa tidak ada aksen sumpah, dan demikian ini tidak dibenarkan dalam memahami maksud kalimat dengan struktur qasam (bersumpah) tersebut karena tidak menunjukkan pembicaraan dengan nada sumpah.
Contoh lain Ni'ma dan Bi'sa dengan struktur khusus demikian:
نِعْمَ الأسْتَاذُ صَلاحُ الدِّيْنِ,
نِعْمَتِ الأمُّ أسْمَاءُ بِنْتُ أبِىْ بَكْرٍ,
بِئْسَ الخُلُقُ خَلْفُ الْوَعْدِ
Stuktur kalimat dengan menggunakan fi'il ni'ma dan bi'sa yang kemudian diikuti dengan kata ism dan selanjutnya diikuti dengan kata sebagai keterangan (atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pelengkap) maka penterjemahannya menjadi demkian:
-Sebaik-baik guru adalah Sholahuddin,
-Sebaik-baik ibu adalah Asma' binti Abu Bakr, dan
-Seburuk-buruk akhlaq adalah mengingkari janji.
Kalimat tersebut dengan struktur berbeda dari susunan mubtada'-khobar. Maksud kalimat tersebut adalah memuji dengan memakai kata "ni'ma" dan mencela dengan memakai kata "bi'sa". Pada kasus ini disebutkan bahwa analisisnya menyatakan bahwa mubtada'nya wajib dibuang. Artinya, bahwa dalam kalimat itu dibayangkan ada mubtada'nya tetapi tidak boleh dimunculkan. Disebutkan bahwa mahsus ni'ma dan bi'sa yang dalam contoh tersebut adalah kata-kata setelah al-ustadz, al-Um, dan setelah al-Kholq, yakni:
صَلاحُ الدِّينِ, أسْمَاءُ بِنْتُ أبِى بَكْرٍ, خَلْفُ الوَعْدِ.
Kata kata tersebu dinyatakan fungsinya sebagai khobar dari mubtada' yang dibuang (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 74).
Kalau analisis ini diterapkan maka pengertian memuji dengan struktur itu menjadi tidak ada, dan berubah menjadi struktur mubtada'-khobar, sebagai pernyataan biasa, bukan pujian. Menganalisis dengan cara demikian ini berarti mengubah makna dari pujian menjadi kalimat biasa. Ini tidak dibenarkan. Ini yang perlu diperhatikan sehingga ketika terdapat struktur pujian maka pemaknaannya juga pujian bukan statemen biasa yang berubah dari maksud kalimat dengan struktur pujian (ni’ma) atau celaan (bi'sa).
Perlu dipahami bahwa makna kalimat dengan pernyataan biasa berbeda dengan kalimat dengan maksud memuji (ni’ma). Pujian diikuti dengan perasaan keinginan untuk menghargai atau berkaitan dengan perasaan yang semestinya terkandung dalam pujian. Misalnya seseorang memuji, betapa bagusnya sebuah baju yang ada di sebuah toko, maka pujian itu mengandung pengertian mengagumi, menyenangi dan menghargainya. Sementara bila pernyataan biasa tentang baju yang bagus, maka.pernyataan demikian tidak harus diikuti dengan perasaan memuji atau mengagumi. Pernyataan itu sekedar sebuah pernyataan biasa, tidak seperti dalam struktur pujian dengan memakai kata ni'ma.
Dalam kasus membuang khobar yang wajib dengan alasan bahwa mubtada'nya itu ism shorih jelas-jelas untuk qasam/sumpah (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 77), misalnya:
لعَمرُكَ لأُخْلِصَنّ لك الودّ,
يَمِيْنُ اللهِ لأُنْصِفَنّ المظلومَ,
أيْمَنُ اللهِ لأشْكُرَنّ المُنْعِمَ
Dari contoh tersebut dinyatakan bahwa tiga kalimat itu semuanya adalah mengandung maksud qasam atau bersumpah. Kata-kata yang menunjukkan sumpah itu adalah kata-kata yang pertama atau di awal kalimat, yaitu:
لَعَمْرُكَ .... , يَمِيْنُ اللهِ ......, أيْمَنُ اللهِ .......
Masing-masing dianggap sebagai mubtada' kemudian tidak ditemukan khobarnya, tetapi yang ada adalah kalimat sebagai jawab-an dari qasam. Kalau dianalisis dengan struktur mubtada'-khobar maka khobar-khobarnya dimunculkan dengan terpaksa sebagai berikut:
لَعَمْرُكَ قَسَمِىْ.... , يَمِيْنُ اللهِ قَسَمِىْ......., أيْمَنُ اللهِ قَسَمِىْ.......
Struktur demikian tidak menunjukkan struktur qasam, tetapi struktur mubtada'-khobar sebagai kalimat biasa. Oleh karena maksud kalimat adalah untuk bersumpah maka tidak boleh menampilkan kata yang dianggap sebagai khobar tersebut, yang menyebabkan berubahnya struktur qosam menjadi struktur kalimat biasa. Dengan demikian bahasan hadzfu al-khobar wujuban tidak layak diajarkan karena akan menggunakan analisis yang menyebabkan berubahnya maksud kalimat dari struktur qasam.
Kalaupun struktur tersebut diajarkan maka harus tetap menganalisis struktur tersebut sebagai struktur qosam, dan tidak boleh dianalisis dengan struktur mubtada'-khobar. Dengan demikian maka pemahaman tetap sebagaimana maksud sturktur itu. Bisa jadi untuk pengenalan struktur itu adalah dengan mengenalkan kebiasaan qosam yang menggunakan kata-kata tertentu untuk qosam dan diikuti dengan kalimat sebagai jawabannya, yakni apa yang disumpahkannya dengan struktur fi'il mudlori' yang dimulai dengan lam ta'kid dan seterusnya. Dengan demikian pemahaman dan aksennya sesuai dengan maksud kalimat yang diucapkan, tidak dibebani dengan pemikiran tentang kewajibannya membuang khobar atau mencari-cari khobar buatan dari perkiraannya sendiri yang asalnya tidak pernah ada dalam struktur tersebut.

8. Struktur Ta’ajjub
Pada pemberian materi ta’ajjub tidak perlu dianalisis dengan struktur mubtada’-khobar dengan menunjukkan bahwa mubtada' dalam kalimat itu adalah kata di awal (مَا ) misalnya:
مَا اَكْرَمَ الْمُخْلِصِيْنَ
Kalau kata di awal itu (مَا ) disebut sebagai mubtada' nakirah yang berarti sesuatu, maka akan dicari khobarnya dalam bentuk fi'il dengan wazan af'ala seolah-olah untuk "ta'diyah" dan fai'lnya mesti tersembunyi kembali ke (مَا ), kemudian yang terakhir adalah maf'ul ((Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: 1950, 63). Setelah itu memahaminya dengan pengertian biasa tidak dengan pengertian keheran-heranan (ta'ajjub). Ini yang harus dihindari.
Dengan demikian untuk pengajaran struktur ini cukup diberikan keterangan kepada subyek didik bahwa setiap kali ada bentuk kalimat sedemikian rupa, yakni dimulai dengan "ma" dan diikuti dengan lafad berwazan af’ala kemudian diikuti dengan ism ma'rifah beri'rab nashab maka itu menunjukkan maksud keheranan (Ta'ajjub), misalnya strukturnya disusun sebagai berikut:
ما + أفْعَلَ + هُ
Atau dengan susunan sebagai berikut:
أفْعِِلْ + به
Diharapkan dengan model-model yang tetap memperhatikan struktur dan tidak berusaha menganalisis sebagai struktur mubtada'-khobar maka pemahaman dapat sesuai sebagaimana maksud kalimat dan tidak membayangkan hal-hal yang dibuang atau diperkirakan (muqoddaroh). Dengan model analisis yang sederhana maka dapat diperoleh kemudahan dan selanjutnya timbullah kesan positif terhadap bahasa Arab.

9. Jumlah Haliyah
Dalam buku-buku ilmu nahwu dikenal istilah jumlah haliyah dan diajarkan bergandengan dengan keterangan tentang al-hal. Dari satu sisi mestinya kajian itu jauh berbeda sama sekali, karena ada perbedaan jauh yaitu antara al-hal dan jumlah haliyah seperti jauhnya perbedaan antara fi'il dan jumlah fi'liyah.
Dalam kenyataannya menjadi sangat jelas perlu dipilah kajiannya karena pada dasarnya untuk mengetahui al-hal itu dari bentuk kata dan i'rabnya, sementara untuk mengetahui jumlah haliyah ternyata dari pemahaman lebih dulu. Begitu juga ketika merujuk kem-bali pada definisi al-hal maka jumlah haliyah itu sama sekali tidak termasuk dalam kajian tentang al-hal. Al-Hal itu menerangkan keadaan shohibul hal ketika sedang terjadi fi'il. Sementara jumlah haliyah tidak menerangkan shohibul hal. Contohnya
حَضَرَ الضُيُوْفُ وَ المُضِيفُ غَائِبٌ
غَابَ أخُوْكَ وَ قَدْ حَضَرَ جَمِيْعُ الأصْدِقَاءِ
أبْصَرْتُ الخَطِيبَ فَوْقَ المِنْبَرِ
تألّمَ الطائِرُ فِىْ القفَصِ
Ketika mendefinisikan al-hal dinyatakan bahwa al-hal itu adalah isim mansub yang menerangkan keadaan fa'il atau maf'ul bih ketika terjadi peristiwa/perbuatan fa'il atau ketika maf'ul itu dikenai peker-jaan. Ini dinyatakan demikian (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: t.t., 96).
الحَالُ اِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يُبَيِّنُ هَيْئَةَ الفَاعِلِ أوْ المَفْعُولِ بِه حِيْنَ وُقُوْعِ الفِعْلِ
Setelah definisi itu diteruskan dengan contoh-contoh dan mene-rangkannya bahwa Hal itu ada yang isim mufrod, ada yang jumlah ismiyah dan ada yang jumlah fi'liyah, dan ada yang dhorof dan ada yang jar dan majrur, yang dinyatakan demikian (Ali al-Jarim dan Musthofa Amin: t.t. 98).
تَجِىْءُ الحالُ اِسْمًا مُفْرَدًا وَجُمْلَةً اسْمِيةً وَجُمْلَةً فِعْلِيَةً وَظَرْفًا وَجارًّا وَ مَجْرُورًا
Dari empat contoh di atas sudah kelihatan bahwa apa yang dimaksud dengan jumlah ismiyah sebagai hal dan jumlah fi'liyah berupa dhorof dan juga berupa jar dan majrur itu ternyata tidak menerangkan keadaan shohibul hal, tetapi menjadi keterangan lainnya tentang tempat atau keadaan lingkungannya. Ini berbeda dari pengertian atau definisi hal yang menerangkan sohibul hal.
Analisis ini untuk menunjukkan bahwa jumlah haliyah yang berupa jumlah ismiyah atau berupa jumlah fi'liyah atau berupa dhorof dan berupa jar majrur itu sebetulnya menambah keterangan yang tidak perlu, atau hanya membuang-buang waktu karena hanya mempelajari apa yang sudah diketahui fungsinya. Tanpa materi jumlah haliyah itu kiranya sudah dapat dipahami bahwa jumlah tersebut menerangkan keadaan atau hal pada jumlah sebelumnya.
Demikian beberapa contoh pokok bahasan yang tidak perlu diajarkan karena kekeliruan konsep dan orientasi pembelajarannya. Dalam hal kekeliruan konsep maka pokok bahasan itu baru bisa menjadi layak untuk diajarkan kalau konsepnya sudah dibetulkan. Demikian juga dalam hal kekeliruan orientasi pembelajarannya, maka pokok bahasan demikian ini bisa diajarkan dengan catatan sudah diluruskan orientasi pembelajarannya.
*Saidun Fddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 57-73
________________________
Kepustakaan
Musthofa al-Gholayaini, Jami' al-Durus al-'Arabiyah (Beirut: Shida, Vol. I, 1972), .
Abdullah bin Ahmad al-Fakihi, Syarhu al-Fawakih al-Janiyah 'ala Mutammimah al-Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma'arif , t.t.),
Hifni Bik Nasif dkk, Kitab Qawa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li al-Talamid al-Madaris al-Tsanawiyah (Surabaya, Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, t.t.),
Abd al-Syakur Rahim, Mufid al-Mustafid Fi Lughat al-Qur'an al-Majid (Jakarta: Akadimiyah al-Lughah al-'Arabiyah, 1979),
Ahmad al-Hasyimi, Al-Qawa'id al-Asasiyah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1354 H),
Ali al-Jarim wa Musthofa Amin, Al-Nahwu al-Wadlih Fi Qawa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li al-Madaris al-Tsanawiyah (Mesir: Dar ala-Ma'arif, Vol. I, 1950),
Ali al-Jarim dan Musthofa Amin, Al-Nahwu al-Wadlih Fi Qowa'id al-Lughah al-'Arabiyah Li Madaris al-Marhalah al-Ula (Libanon: Dar al-Ma'arif, t.t., vol . III),

Jumat, 18 Juni 2010

BAHASA ARAB_Spesifikasi Materi Pendidikan Bahasa Arab*

1. Identifikasi Materi
Pendidikan Bahasa Arab itu menjadikan bahasa Arab sebagai materi atau bahan pembelajaran. Sarana yang diperlukan sebagai bantuan dalam proses pembelajaran bahasa Arab bermacam-macam, setidak-tidaknya terdiri dari buku teks bacaan berbahasa Arab dan daftar kosa-kata bahasa Arab. Sarana lainnya berupa gambar-gambar atau benda-benda lainnya serta panduan untuk pembelajarannya berupa silabus. Secara umum materi pendidikan bahasa Arab itu terdiri dari segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses pembelajarannya. Dalam pengertian yang fokus maka materi pembelajaran bahasa Arab itu sebetulnya ada dalam buku pelajaran bahasa Arab.
Pada dasarnya materi yang dipelajari dalam pendidikan bahasa hanya ada dua, yaitu kosa kata dan aturan mempergunakannya. Aturan pemakaian kosa kata dikenal dengan tata bahasa. Tata bahasa itu sendiri juga sama dengan kosa kata yang sudah “given”. Artinya, dalam tata bahasa dikenal juga pengecualian-pengecualian atau ketentuan mutlak yang tidak perlu dilogikakan atau dicari kaedah-kaeadahnya, tetapi cukup diikuti saja seperti mengahafal kosa kata yang tidak perlu diketahui mengapa kosa kata itu demikian adanya. Aturan pemakaian kosa kata demikian ini biasa disebut dengan idiomatik.
Materi gramatika bahasa Arab umumnya dibagi dua yaitu sharaf dan nahwu. Sharaf memberikan aturan pemakaian masing-masing kata dari segi bentuknya yang dikenal juga dengan morfologi. Dengan kata lain bahwa sharaf memberikan aturan pemakaian dan pembentukan kata-kata sebelum digabung atau dirangkai dengan kata-kata yang lain. Sedangkan nahwu memuat aturan mulai dari penggabungan masing-masing kata sehingga menjadi suatu susunan tertentu (tarkib) sampai dengan aturan penggabungan kata-kata itu menjadi suatu kalimat yang memberikan suatu pengertian utuh.
Kosa kata dan tata bahasa ini berkembang mengikuti perkembangan pemakainya. Perkembangan kosa kata yang cepat mudah diikuti dan dikuasai oleh siapa saja yang aktif mengikuti perkembangannya. Sedangkan perkembangan tata bahasa sering kali terlambat sehingga aturan-aturan yang ada kadang-kadang masih memakai aturan konvensional yang sebetulnya sudah tidak cocok dipakai untuk memahami struktur kalimat-kalimat atau idiomatik-idiomatik tertentu. Misalnya, terhadap struktur ta'ajjub atau keheranan diberlakukan analisis kalimat sederhana yakni mubtada’ dan khobar, maka pemahamannya menjadi tidak lagi sesuai dengan maksud ungkapan yang berarti ta'ajjub atau keheranan. Perumpamaan seperti ini perlu diuraikan secara rinci pada bagian tersendiri.
Dalam prakteknya, materi pelajaran itu perlu dipersiapkan dengan baik oleh para pendidik yang berpengalaman. Penyiapan materi pembelajaran berorientasi pada metode bagaimana caranya supaya bahasa Arab itu dapat dikuasai oleh pelajar sehingga dapat dipergunakan dengan mudah dan terampil. Orientasi penyiapan materi pelajaran bahasa Arab ada pada proses dimilikinya keterampilan berbahasa dengan cara yang mudah.
Penyiapan komponen materi ini masih tetap membutuhkan penyajian yang memadahi. Artinya, proses pembelajaran bahasa menuntut adanya aktifitas berbahasa, yang intinya adalah bersuara, bukan hanya mendengar atau mengerjakan tugas-tugas tertulis. Itulah sebabnya tulisan dalam buku-buku bahan pelajaran bahasa Arab itu hanya sekedar sebagai pengarah yang semuanya menuntut untuk dikomunikasikan dengan lisan. Di sini seorang pendidik bahasa Arab dituntut untuk menyiapkan agar para 'pelajar' aktif berkomunikasi dalam bahasa Arab. Salah satu misal wujud penyiapan materi pelajaran oleh seorang pendidik bahasa Arab adalah dengan selalu memberikan bahan yang banyak untuk latihan secara lisan, agar bisa mengantarkan pada tecapainya keterampilan menyimak dan berbicara.
Sampai disini dapat diketahui bahwa materi pembelajaran bahasa Arab adalah ucapan-ucapan berbahasa Arab itu sendiri, serta cara-cara mengungkapkannya. Adapun perihal sarana dan prasarananya, maka hal itu hanyalah sebagai pendukung agar pembelajaran bahasa bisa berlangsung efisien. Ini perlu diketahui agar upaya untuk memenuhi kebutuhan utama dalam pembelajaran bahasa bisa tepat sasaran. Sangat naif sekali bila pemenuhan laboratorium bahasa serta ruangan belajar yang ber-AC diutamakan, sementara aktifitas berbahasa tidak berlangsung dengan aktif, karena yang terjadi sering kali hanya latihan listening comprehension yang serba pasif.
Perlu diketahui bahwa kegiatan komunikasi yang riel adalah dengan suara alami tanpa alat-alat bantu elektronik. Karena itu bukan termasuk ketinggalan zaman bila pembelajaran bahasa Arab itu tidak mempergunakan seperangkat fasilitas laboratorium bahasa yang mungkin tidak sepadan antara manfaat dan harganya. Jadi tiadanya seperangkat alat-alat laboratorium bahasa tidak layak menjadi alasan kegagalan pembelajaran bahasa Arab, karena materi pembelajaran bahasa Arab itu bukan laboratorium bahasa, tetapi kosa kata bahasa Arab dan aturan pemakaiannya yang secara alami diucapkan dengan lisan.

2. Tata Urut Materi
Ada dua jenis materi pelajaran bahasa Arab yang dipersiapkan untuk diajarkan, yakni kosa kata dan aturan pemakaiannya. Pembelajaran kosa kata berkaitan langsung dengan pokok pembicaraan, misalnya percakapan di kantor, di stasion, di bandar udara, atau pembahasan tentang rekreasi, olah raga, dan tentang topik-topik ringan lainnya. Adapun aturan-aturan pemakaian kosa kata tersebut maka pembelajarannya berkaitan dengan pokok bahasan yang ada dalam gramatika. Namun dewasa ini proses pembelajaran bahasa Arab dilaksanakan dengan all in one system sehingga gramatika bahasa Arab diajarkan berkaitan dengan kosa kata yang sedang diajarkan melalui pembicaraan-pembicaraan atau teks yang lengkap. Tidak lagi ada topik bacaan khusus berurutan yang disesuaikan dengan topik-topik kajian gramatika yang disusun dalam buku-buku gramatika bahasa Arab.
Dalam tradisi lama yang masih dipertahankan, mata pelajaran gramatika bahasa Arab, ilmu nahwu dan sharaf, diajarkan secara terpisah bahkan dianggap sebagai kunci untuk menguasai bahasa Arab. Kegiatan untuk memahami dan bahkan menghafal kaedah-kaedah dalam ilmu nahwu dan sharaf dianjurkan untuk didahulukan sebelum yang lainnya. Biasanya anjuran demikian ditekankan dengan alasan bahwa mempelajari nahwu itu yang perdana karena tanpa pemahaman nahwu suatu kalimat tidak bisa dipahami. Konkretnya dinyatakan demikian ( Syaraf ad-Din Yahya al-Imrithi: t.t, 3):
وَ النَحْوُ أوْلَى أوَّلا أنْ يُعْلَمَا إذِ الكَلامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Dalam kasus ini ditemukan bahwa urutan topik bahasan dalam ilmu nahwu berbeda-beda antara satu buku dengan yang lainnya. Tentunya perbedaan urutan itu sudah menjadi ijtihad dari penulisnya bahwa yang didahulukan itu dipandang sebagai topik yang mudah untuk dipelajari dan dipahami, sedangkan yang diletakkan di akhir dianggap sebgai topik yang paling sukar. Akan tetapi tenyata urutan topik bahasan dalam ilmu nahwu itu berdasarkan pada kelompok kesamaan i'rab. Misalnya yang didahulukan adalah kelompok marfu'at, kemudian mansubat, kelompok majrurat, dan yang terakhir adalah kelompok majzumat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada umumnya topik materi dalam buku-buku gramatika bahasa Arab belum ditata-urut berdasarkan pada kemudahan pemahaman dan frekwensi pemakaiannya, sehingga kajian maf'ul ma'ah yang tidak pernah dipergunakan dalam komunikasi, termasuk dalam buku-buku berbahasa Arab itu sendiri, pembahasannya diletakkan lebih dulu dari pada kajian Harf Jir yang sering dan senantiasa dipergunakan sejak dari awal pembelajaran bahasa Arab.
Kebiasaan seperti tersebut di atas tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran bahasa, karena mendahulukan pengajaran gramatika sebelum kosa kata secukupnya dikuasai dan materi gramatika yang diajarkan tidak dirancang dengan tertib. Akibatnya tidaklah mengherankan bila hasil pembelajaran tidak kunjung datang. Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan betapa pentingnya penataurutan topik materi pembelajaran bahasa Arab.
Tata urut materi pembelajaran bahasa Arab adalah urutan materi pelajaran yang logis berdasarkan tingkat kesulitannya, dari yang konkret kepada yang abstrak, dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks, dan dari yang mudah kepada yang sukar (Abd. Rachman Shaleh: 1988, 10) Penataurutan materi pelajaran bahasa umumnya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yakni tingkat dasar, menengah dan tingkat tinggi. Tiga tingkatan ini bermula dari penjenjangan proses pembelajaran bahasa yang dikenal dalam bahasa Inggeris dengan tingkat elementary, intermediate dan advance.
Penataurutan materi pembelajaran bahasa Arab didasarkan pada tiga tingkatan yang dinyatakan dengan mustawa. Mustawa itu terdiri dari:
1. Al-Mustawa li al-Ibtida’iyah,
2. Al-Mustawa li al-Tsanawiyah atau al-Mutawassithah,
3. Al-Mustawa li al-‘Aliyah atau al-Mutaqaddimah.
Pada masing-masing tingkatan yang mencakup beberapa kelompok materi pembelajaran juga ditata urut secara logis. Dengan tata urut yang logis niscaya materi pembelajaran menjadi sederhana dan mudah dipelajari oleh para pelajar. Proses pembelajaran menjadi lancar serta dapat diketahui perkembangan dan tingkatan kemampuan penguasaannya.
Perbedaan tata urut masing-masing materi dalam buku pelajaran bahasa tidak mutlak. Artinya, boleh jadi tingkat kesulitan suatu topik bahasannya sama. Demikian juga untuk proses pembelajaran bahasa tentu saja mengikuti teori pembelajaran bahasa, karena prinsip umum pembelajaran masing-masing bahasa sama, khususnya dalam jenis materi yang harus diajarkan lebih dulu, misalnya kosa kata harus dimiliki lebih dulu sebelum mempelajari suatu kalimat yang komplek, dan penyimakan pasti lebih dulu diajarkan dari pada pembicaraan, karena seseorang pasti mengerti lebih dulu melalui penyimakan, baru kemudian mengucapkannya.
Pengenalan terhadap kosa kata juga dimulai dengan hal, barang dan perkakas yang biasa dilihat pelajar tiap hari atau pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh pelajar, umpamanya duduk, berdiri, makan, minum dan sebagainya (Mahmud Junus: 1979, 22). Setelah pelajar pandai bercakap-cakap sederhana diberikanlah keterangan kaedah-kaedah nahwu dan sharaf, mana-mana yang perlu dan penting. Maka dalam pelajaran bahasa Arab, gramatika itu belum dipentingkan pada tingkat yang pertama (Mahmud Junus: 1979, 24). Materi tata bahasa ini juga diajarkan bertahap, mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling komplek seperti berbagai bentuk idiomatik atau susunan yang paling jarang dipergunakan.
Dua jenis materi yang dipelajari dalam bahasa Arab, yakni kosa kata dan tata bahasanya tidak diajarkan secara keseluruhan. Ada seleksi supaya proses pembelajaran bahasa Arab berlangsung dengan tahapan-tahapan tertentu sehingga efektif dan efisien. Karena itu materi pertama, yakni kosa kata dipersiapkan dengan berorientasi pada frekuensi pemakaian dan disesuaikan dengan lingkungan pelajar. Kata yang sering dipergunakan pada tataran tertentu dipersiapkan lebih dulu sehingga pelajar dapat cepat mengenal dan menghafalnya, misalnya perihal perkakas alat tulis atau alat-alat perkantoran bila pelajar berasal dari ligkungan perkantoran, atau alat-alat pertanian bila pelajar banyak yang berasal dari daerah pertanian dan sebagainya.
Adapun materi kedua, yakni tata bahasanya, dipersiapkan dengan cara mengikuti perkembangan pemakaian kata-kata yang sedang diajarkan. Dalam hal idiomatik, maka cukup diajarkan sebagaimana mengajarkan kosa kata, yakni dihafal saja dan tidak perlu diperbincangkan panjang lebar. Persiapan bahannya disesuaikan sebagaimana mempersiapkan kosa-kata dengan banyak latihan untuk model idiomatik tersebut.
Pada kelompok tingkat tinggi (advance), maka materi yang disajikan adalah materi yang jarang dipergunakan dan yang memiliki kekomplekan dalam pemahamannya dengan struktur yang jarang dipakai. Pokok bahasan yang diajarkan pada tingkat ini utamanya adalah mengenai perkembangan kosa kata yang baru serta kaedah pemakaiannya. Dengan demikian pembicaraan tentang bahasa Arab atau kajian mendetil tentang bahasa Arab diterapkan setelah selesai pelajaran bahasa Arab tingkat menengah.
Boleh jadi ada yang mengatakan bahwa belajar bahasa itu bu-kan membicarakan tentang bahasa, tetapi tidak ada salahnya dan justru akan lebih baik dan lebih tinggi tingkatan kemampuan bahasa seseorang bila pembicaraan tentang bahasa Arab itu juga dengan berbahasa Arab. Karena itu materi pendidikan bahasa Arab pada tingkat tinggi bisa juga berupa kajian tentang bahasa Arab semisal fiqh al-Lughah dan sebagainya, yang semuanya itu dibahas dengan berbahasa Arab.

3. Kriteria Penataurutan Materi
Sangat diperlukan kesesuaian jenjang pendidikan bahasa Arab dengan materinya. Pada taraf pemula diperlukan materi yang benar-benar materi dasar, dan seterusnya sampai pada tingkat tinggi (المتقدمين, Advance). Penataurutan materi bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya harakat, yang selama ini masih dianggap bahwa tulisan gundul itu lebih sulit dipahami maksudnya dari pada tulisan yang sempurna, sehingga yang berharakat diajarkan di tingkat dasar dan yang gundul diajarkan di tingkat tinggi.
Dalam kenyataannya bisa saja tulisan gundul itu hanya berkait-an dengan hal-hal yang sederhana dan sering diketahui, seperti kalimat demikian: (هذا كتاب ), sehingga mudah dipahami, sementara tulisan yang sempurna itu bisa saja berkaitan dengan hal-hal yang jarang dipergunakan dan sukar dipahami, misalnya mengenai teknologi tingkat tinggi. Jadi penataurutan materi berorientsi pada taraf kesulitan serta frekwensi pemakaiannya. Makin sulit materi pelajaran itu makin akhir pula urutan pembelajarannya. Demikian juga makin sering kosa kata dan struktur suatu kalimat digunakan makin awal pula urutan dalam pembelajarannya.
Materi yang mudah dan sederhana dalam bahasa Arab, bagi native speaker, belum tentu mudah atau sederhana bagi non-Arab. Mengadopsi tata urut materi pelajaran dari suatu bahasa asing meskipun sudah dikenal baik dan handal, belum tentu bisa diterapkan juga untuk pembelajaran bahasa Arab secara tertib. Penerjemahan buku-buku pelajaran bahsa asing, misalnya bahasa Inggris, tidak secara otomatis bisa dengan baik diterapkan dalam bahasa Arab. Kalau buku-buku pelajaran bahasa asing (selain bahasa Arab) dipakai sekedar sebagai bandingan saja dapatlah diterima sebagai penunjang pemahaman, tidak dipakai sebagai bahan pelajaran bahasa Arab.
Tuntutan gradasi materi pembelajaran ini disesuaikan juga dengan kondisi dan kultur atau juga lokasi pembelajaran. Karena itu penyediaan buku-buku atau bahan ajar tidaklah cukup hanya dengan ‘mencomot’ dari buku-buku paket yang disusun dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Contoh-contoh bahasa Arab yang disajikan untuk pelajar Indonesia disesuaikan dengan kultur setempat. Kosa kata serta struktur kalimat yang biasa dipakai di Indonesia sangat efektif dan mudah dicerna. Ini bukan berarti mengubah struktur bahasa Arab menjadi struktur bahasa Indonesia. Struktur kalimat bahasa Arab tetap struktur bahasa Arab, hanya saja struktur tersebut diajarkan lebih dulu.
Adapun alasan mendahulukannya adalah karena bentuk kalimat bahasa Indonesia yang sepadan dengan struktur tersebut sering dipakai pelajar di Indonesia. Sebaliknya struktur kalimat bahasa Arab yang jarang bahkan hampir tidak pernah dipakai dalam bahasa Indonesia, misalnya saja maf'ul ma'ah, maf'ul muhtlak, tamyiz, dan munada murokhhom, maka diletakkan di akhir program atau di tingkat tinggi. Jadi materi pembelajaran bahasa Arab yang biasanya ditetapkan sebagai buku paket bagi pelajar Indonesia perlu disesuaikan dengan kultur Indonesia.
Dalam prinsip kebiasaan umum bahwa belajar bahasa juga harus menguasai kulturnya. Bila prinsip ini diterapkan serta merta tanpa adanya tinjauan secara kritis, maka akan bisa menimbulkan problem. Ini salah satu problem pembelajaran bahasa Arab yang dikeluhkan oleh para guru dan pengamat pendidikan bahasa Arab. Pemahaman bahasa asing berkaitan dengan kulturnya baru ada gunanya kalau sudah berada pada tingkat tinggi, yang biasanya berkaitan dengan kesusasteraan. Oleh karena itu mengkait-kaitkan kultur pada saat belajar bahasa asing hanya akan menyulitkan bagi para pemula. Ini merupakan gambaran adanya penyusunan buku-buku paket pelajaran bahasa Arab yang tidak sesuai dengan gradasi yang dibutuhkan bagi kultur pelajar Indonesia.
Di samping itu buku-buku teks atau bacaan masih banyak yang disusun berdasarkan pengelompokan materi gramatika, misalnya kelompok mar'fu'at, kemudian kelompok mansubat, kemudian kelompok majrurat dan terakhir kelompok majzumat, sehingga struktur yang sukar dan jarang dipergunakan bisa berada lebih dulu dari pada struktur yang mudah. Ini menimbulkan kesulitan tersen-diri bagi pelajar non-Arab.
Dari gambaran tersebut di atas maka penyusunan gradasi materi perlu disesuaikan dengan kultur bahasa para pelajar. Penentuan gradasi ini akan lebih tepat bila penyusunnya berasal dari kultur pelajar sendiri. Ini memberikan tantangan dan sekaligus peluang bagi para peneliti, pengamat, guru dan dosen bahasa Arab di Indonesia untuk mengabdikan dirinya dalam menyusun buku-buku yang berkultur Indonesia, mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi, berdasarkan taraf kesulitan dan frekwensi pemakaiannya.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 48-57)
______________________
Kepustakaan
Syaraf ad-Din Yahya al-Imrithi, Taqrirat Nadhm al-'Imrithi (t.k. Dar al Hikmah, t.t).
Abd. Rachman Shaleh, Sistem Pengajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendidikan Formal, dalam Mimbar Ulama (Jakarta: Edisi Maret No. 127 Th. XII, 1988)..
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Quran) (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1979).

Rabu, 16 Juni 2010

BAHASA ARAB_Fokus Tujuan Pendidikan Bahasa Arab*

1. Tujuan Teoretis.
Tujuan teoretis yang dimaksudkan disini adalah tujuan yang dirumuskan dalam beberapa literatur berdasarkan hasil penelitian yang telah lalu. Tujuan ini perlu diketahui oleh para pendidik dan para pelajar agar terdapat kontrol bentuk kegiatan yang sedang berlangsung sesuai dengan arah tujuannya. Di samping itu perlu keselarasan tujuan antara pendidik dan pelajar agar dapat terlaksana proses pembelajaran yang efektif dan efisein. Aspek tujuan ini sangat penting karena menentukan bagaimana metode, apa sarana yang diperlukan secara langsung dan seberapa lama waktu yang diperlukan serta bagaimana proses evaluasinya.
Tujuan Pendidikan Bahasa Arab bisa diketahui melalui tujuan pembelajarannya. Dalam arti yang sempit dan konkret wujud pendidikan bahasa Arab adalah pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Tujuan pembelajaran bahasa secara teoretis berarti tujuan menumbuhkan kemampuan berbahasa. Dengan pembelajaran bahasa secara terus menerus dapat diperoleh keterampilan berbahasa, yang umumnya masih dikenal dengan empat macam keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis (Djago Tarigan dan H.G. Tarigan: 1987, 22). Dengan ungkapan lain dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa (asing) adalah diperolehnya kemampuan menggunakan bahasa (asing) baik secara pasif atau pun aktif (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 33).
Selanjutnya dapat dinalar bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab bagi pihak pendidik adalah agar dapat menjadikan bahasa Arab mudah dikuasai oleh para pelajar. Adapun tujuan bagi pihak pelajar adalah agar dapat menguasai bahasa Arab. Penguasaan bahasa Arab secara aktif atau pasif itu pada dasarnya adalah cara pandang terhadap pemakaian bahasa. Ketika berperan sebagai pendengar berarti sedang bersikap pasif dalam arti menerima pemahaman, meskipun cara mendengar dan memahaminya itu dengan aktif. Seseorang yang sudah dapat menggunakan suatu bahasa dengan berbicara berarti sudah menguasai bahasa dengan aktif. Karena itu pada dasarnya tujuan pembelajaran bahasa adalah agar bahasa dapat dikuasai, dengan mempergunakannya secara aktif.

2. FenomenaTujuan Pembelajaran
Disini dikemukakan beberapa praktek pembelajaran bahasa Arab yang pernah ada, misalnya di suatu pondok pesantren. Disebutkan bahwa tujuannya adalah:
1. Secara minimal, santri bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab yaumiyah.
2. Santri bisa menulis, mengarang dan kegiatan lainnya dengan bahasa Arab.
3. Santri dapat memahami, mengembangkan serta mengamalkan ilmu agama Islam dengan cara membaca literatur-literatur yang berbahasa Arab (Tim Peneliti Fakultas Adab: 1990, 27).
Tujuan pembelajaran bahasa Arab di tempat-tempat yang memang khusus untuk pendidikan bahasa Arab, seperti kursus-kursus, sering kali dipilah-pilah menjadi tiga tingkat, yakni:
1. Tingkat (mustawa) I adalah agar mampu berbicara bahasa Arab aktif,
2. Mustawa II adalah agar mampu berbahasa Arab dengan memahami tata bahasa Arab,
3. Mustawa III adalah agar mampu membaca kitab kuning, menterjemah kitab kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Ada kesamaan pemilahan tujuan secara bertahap dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren, yakni dimulai dengan keterampilan berbicara sesederhana mungkin tanpa mempedulikan tata bahasa, yang biasa disebut dengan bahasa Arab yaumiyah, kemudian penanaman kesahihan dalam berbahasa Arab dengan memperhatikan tata bahasanya, dan selanjutnya diharapkan pada tingkat akhir pelajar bisa memanfaatkan bahasa Arab untuk memperdalam pengetahuannya tantang agama dengan membaca literatur-literatur keagamaan yang berbahasa Arab.
Dengan dipahaminya ilmu-ilmu agama diharapkan para pelajar atau santri dapat mengamalkannya. Artinya, pada ujung-ujungnya tujuan pembelajaran bahasa Arab secara praktis utamanya adalah untuk mendalami agama Islam. Tujuan demikian tanpa disadari mengarah pada kemahiran berbahasa secara pasif, karena sekedar mendengar atau membaca. Tujuan praktis yang pasif ini sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan pendidikan bahasa Arab.

3. Idealisasi Tujuan
Dalam kenyataannya kelihatan bahwa para pelajar bahasa Arab tingkat pemula sangat bersemangat berbicara dalam bahasa Arab sementara nantinya pada tingkat akhir atau para santri yang sudah dewasa dan tergolong kelas senior kelihatan tidak begitu antusias untuk bercakap-cakap dengan bahasa Arab, kecuali hanya dengan bersikap pasif saja. Demikian ini boleh jadi karena para senior merasa sudah bisa dan atau menjaga diri agar tidak dianggap "sok pamer", atau bisa jadi karena lebih banyak dipengaruhi oleh sikapnya yang tawadlu’ dan pantang ria’ khsusunya dalam berbicara dengan bahasa asing. Suatu hal yang tidak diinginkan adalah bila pasifnya para santri senior dalam berbahasa Arab itu sebetulnya adalah karena tidak mampu berbahasa Arab dengan aktif.
Dalam kalangan perguruan tinggi, pembelajaran bahasa Arab bertujuan agar dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi sendiri yang sangat memerlukan kemampuan dalam berbahasa Arab aktif untuk kepentingan dunia ilmiah dan diplomasi kalangan dosen atau perguruan tinggi secara umum (P3M IAIN Sunan Ampel: 1990, 93). Dalam perkembangan selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pengajaran bahasa di IAIN Sunan Ampel adalah agar para mahasiswa mampu memahami literatur-literatur yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris (Sentra Kajian Bahasa IAIN Sunan Ampel: 1998, 6).
Kelihatan nyata bahwa tujuan yang dicanangkan pada tahap awal adalah agar dapat berbicara secara sederhana, dan pada tahap akhir adalah agar mampu memahami teks-teks berbahasa Arab yang ternyata mengarah kepada kemampuan berbahasa Arab secara pasif. Karena itu bisa dinyatakan bahwa tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab selama ini adalah agar bahasa Arab itu dikuasai secara pasif, baik di kalangan pondok-pondok pesantren maupun di kalangan akademisi perguruan tinggi, dan juga di tempat-tempat kursus yang mengkhususkan kegiatannya hanya pada pendidikan bahasa Arab, sama saja.
Tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab tersebut menyebabkan tidak disiapkannya sarana-prasarana untuk proses pembelajaran sesuai dengan tuntutan teori hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu bahasa Arab tetap saja tidak memasyarakat, meskipun banyak yang berambisi untuk mendirikan atau memperjuangkan pembelajaran bahasa Arab. Bagaimana bisa memasyarakat bila kemampuan berbahasa Arab itu pada akhirnya hanya diperlukan secara pasif?
Langkah maju adalah sebaliknya, bahwa bahasa Arab bisa memasyarakat bila tujuan belajar bahasa Arab sesuai dengan tujuan teoretis ilmiah, yaitu untuk dapat menguasai bahasa Arab sehingga dapat dipergunakan secara aktif. Sebagai konsekuensinya, sarana dan prasarana dipersiapkan sesempurna mungkin untuk memenuhi tuntutan pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan yang teoretis ideal tersebut. Inilah tantangan dan sekaligus peluang bagi guru, dosen dan para peneliti pengembangan pendidikan bahasa Arab untuk merancang program pendidikan bahasa Arab yang mengarah pada tujuan penguasaan bahasa Arab secara aktif.
Sampai di sini kelihatan jelas bahwa pembelajaran bahasa Arab masih dipengaruhi oleh motif agama, yang mengarah pada kepasipan, meskipun di kalangan akademisi dalam lingkungan peguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sering kali pembelajaran bahasa Arab sampai dewasa ini masih diampu oleh para pengajar atau dosen yang dianggap mampu berbahasa Arab tanpa latar belakang ilmu-ilmu keguruan sebagai syaratnya.
Perlu dimaklumi bahwa kenyataan ini bermula dari anggapan bahwa para pelajar yang dianggap sudah mampu berbahasa Arab adalah bila mereka sudah dapat menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Pelajar dengan kemampuan demikian ini yang selanjutnya dipercaya menjadi pengajar. Meskipun sudah diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi tenaga pendidik harus dipenuhi tetapi berbeda dalam kasus pengajar bahasa Arab. Kualifikasi pengajar dengan standar kemampuan ilmu nahwu dan sharaf lebih diutamakan dari pada ilmu-ilmu kependidikan. Itu semua menyebabkan tujuan pengajaran bahasa Arab selalu ditarik ke arah kemampuan pasif.
Keberanian membuat langkah maju yang baru itulah tuntutannya sekarang ini. Meskipun hanya bisa dilaksanakan dalam kalangan terbatas karena masalah beaya atau pengajarnya, namun itu masih jauh lebih baik dari pada terdapat banyak lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Arab yang tidak dipersiapkan dengan baik dan menimbulkan kesan negatif terhadap bahasa Arab. Dalam kasus tujuan pembelajaran bahasa Arab ini dibutuhkan penyusunan kurikulum dari segi tujuannya. Perlu diadakan refisi sesuai dengan tuntutan akademis, tidak lagi dirumuskan agar memiliki keterampilan membaca kitab gundul.
Jujur saja, bahwa rumusan tujuan pembelajaran bahasa Arab yang selalu seperti itu, sebabnya tidak lain adalah adanya terbitan kitab-kitab yang tidak dilengkapi dengan syakal. Tidak akan ada lagi tujuan belajar membaca kalau semua teks bahasa Arab sudah sempurna dilengkapi dengan syakal. Dari sini awal mula muncul dan berkembangnya pendidikan bahasa Arab yang bertujuan pada keterampilan membaca.
Masalahnya sekarang ini adalah memberikan keinsafan kepada para penulis dan penerbit agar mau menyempurnakan tulisannya. Kesulitan teknis dalam penyempurnaan tulisan itu sudah sangat tidak layak untuk dijadikan alasan. Begitu juga kalau penambahan beaya tinta untuk syakal dianggap sebagai suatu pemborosan, maka sebetulnya justru sedikit penghematan beaya tinta itu yang menye-babkan terjadinya pemborosan besar-besaran. Demikian ini karena banyak kitab gundul dalam perpustakaan menumpuk tidak ada yang membaca, gara-gara "kegundulannya" itu. Ini suatu pemborosan yang terjadi selama ini.
Manakala masalah ini bersumber dari konsep yang keliru, bahwa selama ini tulisan bahasa Arab yang tidak bersyakal dianggap sudah sempurna, maka salah satu langkah strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab ini adalah meluruskan konsep tersebut. Dengan tertatanya kembali konsep tersebut maka tujuan pembelajaran secara otomatis akan kembali kearah yang semestinya, tidak lagi belajar membaca, tetapi belajar agar dapat menguasai bahasa Arab dengan aktif. Adapun penataan konsep tentang kesempurnaan tulisan bahasa Arab, maka perlu diuraikan dalam bagian tersendiri secara rinci.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 43-48
________________________
Kepustakaan
Djago Tarigan dan H.G. Tarigan, Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1987).
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).
Tim Peneliti, Kondisi Bahasa Arab di Pondok Pesantren di Jember Jawa Timur (Surabaya: Fakultas Adab, 1990).
Tim Peneliti, Materi dan Metode Pengajaran Bahasa Arab di MTsN, MAN, dan IAIN di Jawa Timur (Surabaya, P3M IAIN Sunan Ampel, 1990).
Tim Penyusun, Al-'Arabiyah al-Muyassaroh 'Ala Thariqat al-Qira'ah (Surabaya: Sentra Kajian Bahasa IAIN Sunan Ampel,Vol. I, 1998).

BAHASA ARAB_Mereformasi Kurikulum Pendidikan Bahasa Arab*

Reformasi kurikulum sering kali berputar-putar pada nama-nama mata kuliah dan penemuan metode penyampaiannya. Kurikulum itu bukan daftar mata kuliah, namun penyebutan sejumlah mata kuliah untuk kurikulum kiranya tidak bisa dihindari, justru pada ujung-ujungnya adalah penyusunan silabus dari sejumlah mata kuliah. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang disusun dengan orientasi pada rumusan tujuan yang akan dapat menghasilkan kompetensi tertentu pada akhirnya juga mencantumkan nama-nama mata kuliah. Karena itu sering kali upaya mereformasi kurikulumm berputar-putar sekitar penentuan mata kuliah dan durasi penyajiannya.
Adapun mata kuliah yang senantiasa dicantumkan dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Arab adalah: Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Istima', Muhadatsah, Muthala'ah, Ta'bir, Imla' dan Khot, Terjemah Tulis dan Lisan Arab-Indonesia dan Indonesia-Arab. Dalam program tertentu ditambahkan juga beberapa mata kuliah yang dianggap perlu dalam menunjang keterampilan berbahasa Arab, yaitu: Balaghah, Arudl, Tartil al-Quran, Seni baca Al-Quran, Metode Terjemah dan Tafsir, Bahasa Arab Pariwisata, dan bahkan ada juga Bahasa Arab 'Amiyah.
Gambaran mata kuliah pada kurikulum Pendidikan Bahasa Arab sangat sederhana dan sedikit. Waktu yang dibutuhkan tentu-nya tidak terlalu banyak. Tetapi program repetisi sebagai salah satu unsur metode sangat menentukan diperolehnya keterampilan berba-hasa Arab. Itulah sebabnya mengapa program repetisi dalam hal ini latihan-latihan berbahasa Arab mesti mendapat perhatian serius. Kalau dinyatakan bahwa yang juga ikut menentukan keterampilan adalah lingkungan, maka sebetulnya penciptaan lingkungan yang memaksa untuk berbahasa Arab sebagai program repetisi sangat perlu ditingkatkan.
Sudah dipahami bahwa pelatihan keterampilan sangat perlu dalam menghasilkan kompetensi yang ditentukan dalam kurikulum. Sering kali program repetisi atau latihan keterampilan itu sudah dilakukan dan juga sering kali dirasakan membosankan, apalagi bila kegiatan itu diterapkan pada mahasiswa. Kesadaran akan hal-hal yang membosankan itu sering kali dihilangkan dengan menerapkan metode-metode baru dalam penyampaian materi pada program repetisi dengan maksud untuk menghilangkan kejenuhan. Kenyataan demikian ini sering membuat para pengajar atau dosen sibuk sekali dengan berbagai metode penyampaian yang baru untuk materi yang sama, yang 'itu-itu' juga. Hasilnya dapat diketahui, bahwa keterampilan yang diperoleh mahasiswa adalah keterampilan atau kelancaran menggunakan materi yang itu-itu saja.
Kebosanan dapat dihindari untuk sementara waktu, tetapi yang jelas tidak ada peningkatan dalam hal kemampuan atau penguasaan berbahasa. Materi yang dikuasai berada pada tingkat kemampuan yang tetap sama, dan tidak ada perkembangan penguasaan bahasa yang berarti. Pada gilirannya para alumninya miskin kosa kata, yang kemudian ketika para alumni menjadi pengajar maka yang diajarkan adalah kosa kata yang lebih sedikit dari pada yang dikuasai. Akibatnya, dengan tidak terasa proses pembelajaran oleh para alumni tersebut menekankan aturan bahasa atau gramatika, karena penguasaan kosa katanya tidak pernah dikembangkan.
Dampak yang lebih jauh lagi, terlihat nyata pada penyusunan materi kuliah Bahasa Arab yang ‘dipatok’ dengan topik-topik materi dalam ilmu nahwu (IAIN Sunan Kalijaga: 2003, 12-15). Pembelajaran bahasa Arab menjadi pembelajaran ilmu nahwu. Penyusunan materi pembelajaran bahasa Arab dengan berorientasi pada topik-topik dalam ilmu nahwu tersebut bisa dianggap betul karena adanya anggapan sebelumnya bahwa tujuan belajar bahasa Arab adalah untuk dapat membaca kitab-kitab gundul, yang mana ilmu nahwu dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Semua berdasarkan anggapan saja.
Berulang-kalinya materi yang disajikan, meskipun dengan metode penyampaian yang berbeda, menjadi faktor dominan munculnya kebosanan. Menghilangkan kebosanan demikian bisa ditempuh langkah sederhana yaitu meningkatkan motivasi penguasaan bahasa dengan memperbanyak kosa kata. Untuk ini diperlukan materi yang bervariasi. Ke arah ini mestinya upaya mereformasi kurikulum Pendidikan Bahasa Arab. Artinya, pada program repetisi dipersiapkan beragam materi dari beragam bidang studi atau mata kuliah serta beragam topik dari beragam peristiwa yang sudah pernah terjadi dan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Demikian ini mengingat bahwa para alumni pendidikan bahasa Arab itu diharapkan sudah menguasai dengan baik bahasa Arab yang digunakan dalam peristiwa apa saja.
Dengan berorientasi pada penguasaan kosa kata sebanyak-banyaknya untuk peristiwa-peristiwa yang beraneka ragam, maka mata kuliah apa saja bisa masuk pada (Jurusan) Pendidikan Bahasa Arab. Penentuan mata kuliah tidak terbatas pada nuansa 'Arab-araban' saja tetapi meliputi segala yang terkini dan yang akan datang. Diutamakan penentuan mata kuliah itu sesuai dengan tujuan profesi yang akan dipilih setelah lulus.
Dalam hal gramatika, maka pembelajarannya sekedar mengikuti kaedah-kaedah yang dipakai beberapa kalimat atau statemen yang sedang diajarkan. Memang tidak menutup kemungkinan adanya pendalaman serta pengoreksian dan pengembangan terhadap gramatika. Pada kasus pendalaman ini juga akan diberikan mata kuliah gramatika dengan catatan bahwa penyampaiannya serta diskusi semuanya dengan berbahasa Arab sebagimana materi-materi yang lainnya. Dengan demikian terjadilah pembelajaran tentang bahasa Arab dengan berbahasa Arab.
Reformasi kurikulum pada arah yang demikian secara otomatis akan menarik pembaruan materi khususnya topik-topik yang ditentukan dalam silabus. Bukan kurikulumnya yang diubah-ubah, tetapi pengembangan dan pendalaman silabus yang direformasi, karena memang silabus itu yang menunjukkan kedalaman materi.
Mungkin diperlukan materi bahasa Arab tingkat dasar hanya dalam satu tahun, sementara materi pelajaran yang lainnya disam-paikan dengan bahasa Arab dengan lingkungan yang mewajibkan berbahasa Arab. Hidden curriculum sangat menentukan motivasi penguasaan bahasa Arab. Oleh karena itu segala sistem komunikasi, mulai dari yang tertulis paling sederhana sampai dengan yang paling komplek disampaikan dengan berbahasa Arab. Ini yang dimaksud dengan reformasi kurikulum Pendidikan Bahasa Arab, yakni orientasi tidak harus terfokus pada nuansa ke 'Arab-araban' di benua Arab sana, tetapi semua ‘diarabkan’ dengan nuansa kekinian yang terjadi di belahan dunia yang maju.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Suabaya: Jauhar, 2006), 40-43
______________________
Kepustakaan
Lihat Hasil Workshop, Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi IAIN Sunan kalijaga(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003)

Minggu, 13 Juni 2010

BAHASA ARAB_Kesempurnaan Komponen Pendidikan Bahasa Arab*

Ada beberapa komponen pendidikan atau unsur yang terlibat langsung dalam pendidikan, yakni: tujuan, pendidik, anak didik, alat dan lingkungan (Soetari Imam Barnadib: 1971, 12). Ada yang menyebutkan bahwa unsur-unsur pendidikan itu adalah tujuan, pendidik, anak didik, alat dan kegiatan (usaha) (Ahmad D. Marimba: 1964, 15). Lebih lengkap lagi disebutkan oleh Sudjana bahwa komponen pendidikan adalah tujuan, pendidik, anak didik, materi pendidikan, metode, evaluasi, waktu penyelenggaraan, jenjang pendidikan, dan tempat penyelenggaraan (Sudjana S F: 1974, 44).
Komponen-komponen yang disepakati tampaknya terdiri dari tujuan, pendidik, anak didik dan alat dengan pengertian bahwa alat itu mencakup materi, metode, waktu, jenjang, tempat dan evaluasi. Sedangkan modifikasi dari komponen-komponen proses belajar mengajar yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1969 adalah terdiri dari siswa, guru, tujuan, bahan, metode, media dan evaluasi (Djago Tarigan dan H. G. Tarigan: 1987, 7).
Komponen-komponen pendidikan bahasa Arab bisa saja mengadopsi dari komponen pendidikan secara umum. Spesifikasinya terletak pada bahan ajar atau materi pendidikannya, yakni bahasa Arab. Semua sarana dan prasarananya diorientasikan pada bahasa Arab, mulai dari buku pegangan sampai dengan penciptaan kondisi dengan segala informasinya diejawantahkan dengan bahasa Arab.
Semua komponen pendidikan bahasa Arab tersebut mutlak dipenuhi dengan sesempurna mungkin. Artinya, pendidikan bahasa Arab akan berjalan dengan baik dan dengan hasil maksimal bila komponennya dipersiapkan dengan sempurna. Misalnya mengenai lingkungan, maka nuansa lingkungan belajar menghendaki agar terasa ada kewajiban atau kesenangan untuk berbahasa Arab.
Penyajian materi pembelajaran juga tidak kalah pentingnya un-tuk disiapkan dengan sempurna. Tulisan bahasa Arab yang belum sempurna, seperti tulisan gundul yang tidak dilengkapi dengan syakal, bila dipakai sebagai bahan arahan pembelajaran menjadi buku atau teks bacaan maka termasuk komponen yang belum sempurna. Akibat dari tidak sempurnanya buku-buku teks bacaan tersebut lahirlah kesan sulitnya bahasa Arab.
Sulitnya bahasa Arab menjadi kenyataan karena yang terjadi adalah proses tidak logis ketika diperintah untuk membaca tulisan gundul. Terjadi logika terbalik, orang dipaksa untuk paham dulu agar bisa membaca teks dengan benar. Padahal tujuan membaca itu adalah untuk paham, bukan paham untuk membaca. Proses membaca tidak logis inilah yang menimbulkan kesulitan tersendiri yang tidak bisa dihindari bahkan oleh pelajar yang sudah lama termasuk guru atau dosennya.
Sampai sejauh ini belum diinsafi bahwa kesempurnaan materi pendidikan bahasa Arab, yang berupa tulisan, memiliki pengaruh yang besar. Keberadaan tulisan bahasa Arab yang belum sempurna, yang dikenal dengan kitab gundul, dapat mempengaruhi metode dan juga tujuan pembelajaran bahasa Arab. Pengaruh tersebut bukan kearah yang positif, tetapi justru menjadi problem dalam pembelajaran bahasa Arab. Salah satu di antara problem itu adalah proses membaca yang tidak logis.
Problem tersebut membutuhkan solusi pada bagian tersendiri. Bagian ini hanya untuk menunjukkan bahwa tulisan bahasa Arab itu bisa menjadi materi pembelajaran bahasa Arab ketika dilang-sungkan pembelajarannya. Materi tulisan bahasa Arab ini juga me-nuntut kesempurnaan dalam penyajiannya sebagaimana materi pen-didikan bahasa yang lain. Selama materi tulisan bahasa Arab terse-but tidak disempurnakan, maka selama itu pula problem dalam pembelajarannya tidak akan hilang.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabay: Jauhar, 2006), 37-39
_____________________
Kepustakaan
Soetari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan (Jogjakarta: FIP-IKIP Jogjakarta, 1971).
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1964).
Sudjana S F, Pendidikan Nonformal (Bandung: Yayasan PTDI Jawa barat, 1974).
Djago Tarigan dan H. G. tarigan, Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa (Bandung: Angkasa, 1987).