Rabu, 28 Juli 2010

BAHASA ARAB_Evaluasi Kemampuan Berbahasa Arab*

1. Evaluasi Teoretis dan Praktis
Evaluasi kemampuan berbahasa Arab mengacu pada tujuan pembelajarannya. Kemampuan membaca tulisan gundul bukan me-rupakan tujuan pengajaran bahasa Arab. Secara teoretis idealis telah dikemukakan di muka bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah agar bahasa Arab dapat dikuasai sehingga dapat dipergunakan secara aktif, baik memehami maupun memberikan kepahaman dengan bahasa tersebut. Materi pembelajaran bahasa Arab adalah kosa kata dan gramatikanya, maka yang ingin diungkap dalam evaluasi kemampuan berbahasa Arab adalah kemampuan dalam memahami dan menggunakan kosa kata Arab dengan benar sesuai aturan tata bahasanya.

Hasil yang diperoleh dari ujian tulis yang memerintahkan agar mengharakati teks gundul tidak menunjukkan kemampuan berbahasa Arab. Ujian seperti ini biasanya dengan perintah yang berbunyi: “A'rib al-Kalimat Fi Hadzihi al-Jumlah!”. Dari segi kesukarannya maka ujian dengan mengharakati itu sebetulnya paling sukar. Kesukaran tersebut tidak hanya dialami oleh para pemula, tetapi juga dialami oleh para senior. Untuk kasus demikian itu dapat diketahui bahwa santri lulusan dari pondok Gontor Ponorogo, yang terkenal dengan kemampuannya berbahasa Arab, juga masih banyak yang tidak dapat membaca kita kuning (Imam Ghozali Said: 1990, 28). Wajar demikian, sebabnya tidak lain adalah adanya proses terbalik yang tidak logis, yakni harus paham dulu maksud kalimat baru kemudian dapat menentukan harakat tulisan dengan benar.
Ujian dengan memerintahkan agar mengharakati tulisan itu tidak lain adalah karena pengaruh adanya kitab kuning. Ujian dapat tertulis dan juga bisa lisan. Kalau ujian secara lisan maka kalimat diucapkan secara jelas, kosa kata yang diucapkan sesuai benar dengan gramatikanya, jelas ucapannya termasuk bunyi tanda i'rabnya.
Pada kasus ujian tertulis maka soal yang diberika juga berorientasi pada kemampuan menggunakan bahasa Arab dengan benar. Kemampuan itu dapat diketahui dengan jelas melalui jawaban terhadap teks berbahasa Arab. Jawaban yang dimaksud harus dengan jelas diungkapkan dengan bahasa Arab, kosa kata dan gra-matikanya benar. Wujud jawabannya berupa tulisan yang lengkap dengan segala tanda i'rabnya, lengkap dengan syakalnya. Dari kejelasan jawaban tertulis itu dapat diketahii bahawa testee sudah paham atau sudah memiliki kemapuan berbahasa Arab.
Sebagai konsekwensi logisnya, tidak perlu lagi ada soal yang menanyakan kemampuan membaca tulisan gundul. Soal mesti tertulis jelas dilengkapi dengan syakal. Kalau terpaksa menggunakan kalimat perintah mengi'rabi sedemikian itu maka perlu diperhatikan bahwa teks yang akan dii'rabi haruslah sudah lengkap dengan syakalnya, sehingga pengi'raban itu logis, mengklasifikasi kata berdasarkan tanda-tanda i'rab yang sudah ada. Kemudian dengan ilmu nahwunya, maka testee berusaha mengungkapkan maksud kalimat yang dii'rabi tersebut.
Evaluasi demikian akan menghasilkan output yang memang mahir berbahasa Arab secara aktif. Kemampuan berbahasa dengan aktif inilah yang tampak sebagai tampilan output pendidikan bahasa Arab. Bukannya yang pandai itu bila sudah mampu mengi'rabi teks gundul, secara tidak logis atau menduga-duga. Dugaan-dugaan itu tidak menunjukkan kemampuan berbahasa Arab secara aktif.
2. Pembimbingan dan Ujian Skripsi Berbahasa Arab
Beban tugas akhir di Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya pada Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, atau pada Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, adalah menyusun skripsi berbahasa Arab dan mempertahankan kebenarannya dalam majlis munaqosyah.
Pada waktu ujian skripsi mahasiswa disuruh membaca beberapa kalimat dalam satu alinea sebelum menerangkan maksudnya. Ternyata banyak kesalahan dalam membaca tulisannya sendiri yang tidak berharakat. Tentu saja pertanyaan penguji menjadi berkisar pada bagaimana cara membaca dengan benar. Pertanyaan tersebut menyita banyak waktu sehingga tidak ada kesempatan untuk perta-nyaan tentang materi skripsi karena waktu ujian sudah habis. Ujian skripsi tidak ada bedanya dengan ujian membaca kitab gundul. Ada yang aneh, yaitu penulis naskah tidak dapat membaca tulisannya sendiri!. Ini tidak ada bedanya dengan orang yang berbicara tetapi tidak mengerti apa yang diucapkan.
Pengalaman ujian skripsi demikian itu menyebabkan dosen pembimbing berikutnya meminta agar mahasiswa yang dibimbing membacakan naskah skripsinya sebelum diuji. Bila ada kesalahan bacaan maka dibetulkan. Demikian proses pembimbingan skripsi sampai akhir tulisannya. Mahasiswa harus menghabiskan waktu dua kali untuk satu naskah, yaitu menulis dan membacanya di hadapan dosen pembimbingnya Demikian juga dosen pembimbing, waktunya dihabiskan hanya untuk mengoreksi tulisan dan membenahi cara membacanya sampai akhir skripsi. Kesemptan untuk memperdalam materi kajian skripsi tinggal sedikit bahkan sering terabaikan, karena sudah kepayahan. Proses pembimbingan demikian ini tidak efektif dan tidak efisien. Bisa dibayangkan bila jum-lah mahasiswa yang dibimbing banyak. Materi kajian menjadi terabaikan. Ini perlu langkah efektif dan efisien.
Langkah efektif dan efisien yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara mewajibkan agar naskah skripsi ditulis sempurna lengkap dengan syakalnya. Dengan tulisan yang lengkap, dosen pembimbing sudah dapat mengetahui kemampuan mahasiswanya dalam berbahasa Arab. Dosen pembimbing bisa mengoreksi di lain waktu dan memberikan beberapa catatan yang perlu. Bila ada kekeliruan penulisan diberi tanda dan mahasiswa harus membetulkannya, khususnya yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab. Di sini tampak jelas fungsi ilmu nahwu yaitu untuk menulis dengan benar, termasuk harakatnya, agar dapat dipahami dengan benar.
Mengenai materi kajian bisa didiskusikan pada saat pertemuan pembimbingan. Kesempatan untuk berdiskusi tentang isi skripsi menjadi sangat banyak karena sudah tidak lagi disita oleh kegiatan mengoreksi tulisan dengan cara mendengarkan bacaan dari mahasiswa bimbingannya. Begitu juga saat ujian skripsi, sudah tidak lagi bertanya tentang cara membaca tulisan.
Di samping memudahkan dosen pembimbing dalam mengoreksi naskah skripsi, langkah pembimbingan tersebut di atas juga dapat memacu mahasiswa untuk serius belajar bagaimana berbahasa Arab dengan benar. Kalau ada tulisan keliru, misalnya dalam pemberian harakat, dan ternyata lolos karena terlewati ketika dikoreksi oleh pembimbingnya maka segera diketahui oleh penguji, dan dari kesalahan itu sudah tampak kemampuannya dalam berbahasa Arab.
Pada kasus banyaknya tulisan keliru dari segi harakatnya, apalagi harakat yang juga berfungsi sebagai tanda i'rab, maka majlis munaqosah tidak dapat meloloskan begitu saja. Dari segi ini saja sudah dapat ditentukan bahwa yang bersangkutan tidak layak lulus ujian.
Kasus banyaknya salah tulis demikian itu pernah terjadi, dan penulis termasuk di antara para pengujinya. Ada seorang penguji yang mengatakan bahwa lebih baik tidak diharakati agar tidak kelihatan banyak salahnya. Ucapan demikian sangat disayangkan, karena dua hal, yaitu: pertama, akan terjadi lagi pembimbingan yang tidak efektif dan tidak efisien, sebagaimana dikemukakan di atas kalau naskah skripsi menggunakan tulisan gundul; dan kedua, bahwa ucapan itu berarti membiarkan mahasiswa jurusan bahasa Arab tidak dapat berbahasa Arab dengan baik karena ketidakmampuannya yang tersembunyi di balik tulisan gundul itu. tidak segera diketahui untuk dibenahi.
Memang sampai sekarang masih belum ada kewajiban menulis skripsi atau karya ilmiah berbahasa Arab dengan tulisan yang sempurna lengkap dengan syakalnya. Akan tetapi dengan nalar positif berdasarkan pada tiga hal, yakni: (1) keberadaan Mushaf Utsmani sekarang yang berharakat dan tidak ada yang berani menganggap bid'ah dlolalah, (2) realitas huruf-huruf yang tidak berharakat di awal- surat seperti: الـر, الـم , ق, يس, كهيعص,: dan sebagainya yang mengisyaratkan bahwa huruf-huruf Arab yang tidak berharakat itu melambangkan bunyi nama huruf itu sendiri, dan juga (3) menghargai karya Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (W. 170 H/786 M) yang berupa harakat sebagai unsur tulisan, maka sangat naif bila masih saja ada keinginan untuk tetap pada ketidaksempurnaan tulisan.
Dari kajian tersebut di atas dapat diketahui salah satu sebab makin menurunnya mutu output Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan Jurusan Bahasa dan Sastyra Arab. Dari sini pula ditemukan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan mutu dan mengembangkan Pendidikan Bahasa Arab, yaitu meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembimbingan skripsi dengan mewajibkan penggunaan sistem tulisan bahasa Arab yang sempurna sebagai syarat ujiannya. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 121-125
____________________
Kepustakaan
Imam Ghozali Said, 'Pengembangan Bahasa Arab di Sektor Ekonomi" dalam Qimah, (Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III, Agustus 1990)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan