Rabu, 02 Desember 2009

KEDHALIMAN POLIGAMI *)

Poligami sudah dikenal sebelum Nabi Muhammad SAW dilahirkan di dunia. Islam datang di saat-saat poligami diperbolehkan secara mutlak pada bangsa Persia, Romawi, Arab dan sekitarnya. Islam tidak menciptakan poligami, tidak mewajibkan dan tidak mensunnahkannya. Islam juga tidak secara mutlak melarang poligami, tetapi Islam memperingatkan bahwa berpoligami itu berbuat dhalim karena berlaku tidak adil. Ketidakadilan itu melekat pada poligami maka menjadikan adil sebagai syarat poligami sama dengan menggugurkan keabsahan poligami.
Adanya ketidakadilan dalam berpoligami itu sudah disebutkan dengan jelas dalam al-Quran, surat al-Nisa’ ayat 129. Perihal yang menonjol pada ayat ter-sebut bukan kebolehan atau larangan berpoligami, tetapi pemberitahuan sebagai peringatan bahwa se-mua orang yang berpoligami itu tidak akan bisa menghindar dari ketidakadilan. Artinya, orang yang berpoligami itu tidak akan mampu berbuat adil di an-tara para isterinya, adil secara material maupun spi-ritual.
Pada dasarnya sudah dapat dipahami bahwa ber-poligami itu melakukan suatu ketidakadilan. Pema-haman demikian bukan hanya dapat diperoleh dari makna surat al-Nisa’ ayat 129 tetapi justru dari su-rat al-Nisa’ ayat 3. Demikian ini dapat diperhatikan dengan seksama maksud ayat tersebut yang leng-kapnya berbunyi demikian:
وَإنْ خِفْتُمْ ألاّ تُقْسِطُوْا فِى اليتَمَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلثَ وَ رُبَعَ. فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ ذَلِكَ أدْنَى ألاّ تَعُوْلُوْا
(Dan jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama-na kamu menikahinya), maka nikahilah perem-puan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu ta-kut tidak (akan) berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah le-bih dekat kepada tidak berbuat aniaya) (QS: Al-Nisa’/4: 3).
Pada ayat tersebut ada dua anak kalimat yang di-anggap mempunyai maksud yang sama dengan me-makai ungkapan yang berbeda, yakni anak kalimat “ألاّ تُقْسِطُوْا” (Allaa Tuqsituu) dan “ألاّ تَعْدِلُوْا” (Allaa Ta’diluu). Kedua anak kalimat itu selama ini diterje-mahkan sama saja yakni ”tidak (akan) berlaku adil”.
Ada yang mencoba untuk membedakan bahwa anak kalimat yang pertama (“ألاّ تُقْسِطُوْا”) itu berorien-tasi pada kuantitatif dan yang kedua (“ألاّ تَعْدِلُوْا” ) itu berorientasi pada kualitatif, dengan anggapan bahwa orang laki-laki bisa memberikan bagian yang sama dalam hal materi (kuantitatif), sementara pembagian yang adil dalam aspek kualitatif, semisal kasih sa-yang, tidak akan bisa dipenuhi sebagaimana diisya-ratkan pada surat al-Nisa’ ayat 129 yang berbunyi: وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ (wa lan tastathii’uu an ta’diluu baina al-nisaa’i.
Dalam sejarahnya disebutkan bahwa surat al-Ni-sa’ ayat 127 melarang seorang laki-laki yang bersi-keras ingin menikahi seorang perempuan yatim yang memiliki harta dengan maksud untuk menguasai har-ta itu. Larangan tersebut adalah agar tidak berbuat dhalim karena tidak adil, yakni tidak memberikan hak milik perempuan yatim itu tetapi berkeinginan untuk memilikinya. Sementara larangan menikahi banyak perempuan itu adalah agar tidak terjadi kedhaliman karena tidak adil, yakni tidak sama dalam memberi-kan nafkah lahir-batin di antara para isteri.
Perbedaan maksud demikian itu tentu saja dinya-takan dengan ungkapkan yang berbeda. Anak kalimat yang pertama, yakni ”ألاّ تُقْسِطُوْا” berarti “tidak berlaku adil” karena berbuat dhalim mengambil dan meram-pas hak orang lain, atau tidak memenuhi kewajiban memberikan hak milik orang lain. Anak kalimat yang kedua ”ألاّ تَعْدِلُوْا” berarti “tidak berlaku adil” karena ti-dak sama dalam memberikan pembagian nafkah ma-terial maupun spiritual. Kedua anak kalimat itu me-nunjukkan kesamaan kandungan maksud, yakni ber-laku tidak adil atau berbuat kedhaliman tetapi berbe-da latar belakangnya. Perbedaan makna dari dua anak kalimat itu bukan dalam aspek kuantitatif atau-pun kualitatif.
Perlu dicermati bahwa anak kalimat yang perta-ma itu menunjukkan akan terjadinya ketidakadilan meskipun menikahi satu perempuan saja, sementara anak kalimat yang kedua itu didatangkan untuk me-nunjukkan adanya ketidakadilan yang terjadi karena ada beberapa perempuan yang dinikahi. Maksud anak kalimat yang pertama adalah berlaku tidak adil karena bertujuan untuk merampas hak, sedangkan maksud anak kalimat yang kedua sudah tidak perlu lagi dinyatakan alasannya mengapa tidak berlaku adil. Demikian ini karena kontek kalimatnya sudah sangat jelas dapat dipahami, bahwa latar belakang-nya adalah karena berpoligami.
Sudah bisa dipastikan bahwa melakukan poligami itulah yang menjadi alasan mengapa tidak berlaku adil meskipun alasan tersebut tidak ditampilkan. Pa-da anak kalimat kedua (”ألاّ تَعْدِلُوْا”) itu ada dua qorinah atau alasan yang jelas, yaitu ada jawab syarat, yakni hendaknya menikahi satu saja perempuan lainnya atau para budak. Alasan kedua adalah bahwa kata yang dijadikan syarat setelah kata “إنْ” (in) adalah anak kalimat “خِفْتُمْ”, yakni rasa takut: Ada perasaan takut atau tidak ada perasaan takut untuk berlaku ti-dak adil ketika berpoligami, bukannya bisa berlaku adil atau tidak bisa berlaku adil ketika berpoligami.
Persyaratan demikian itu sama dengan yang ter-dapat pada anak kalimat yang pertama (”ألاّ تُقْسِطُوْا”), kalau menikahi anak yatim yang dimaksud itu pasti terjadi ketidakadilan. Kalau takut berlaku tidak adil maka dianjurkan agar menikahi perempuan yang lain saja agar tidak berbuat dhalim pada anak yatim itu, yang mestinya harus dilindungi. Demikian juga orang yang menikahi dua perempuan sampai empat, itu pasti berlaku tidak adil maka diperintahkan untuk menikahi satu perempuan saja atau para budak. Me-nikahi para budak tanpa batas jumlahnya itu tidak melakukan ketidakadilan karena para budak tidak memiliki hak untuk menuntut tuannya atau menuntut apa yang menjadi hak-hak dalam perkawinan.
Surat al-Nisa’ ayat 3 tersebut sangat efisien, ti-dak perlu diberikan penjelasan atau alasan mengapa tidak akan bisa berlaku adil kalau menikah lebih dari satu. Ayat itu secara tersirat menunjukkan bahwa dalam berpoligami itu ada ketidakadilan. Ayat terse-but cukup dengan mempergunakan susunan anak ka-limat “ألاّ تَعْدِلُوْا“ (allaa ta’diluu) tanpa menampilkan se-bab ketidakadilannya, yakni berpoligami itu sendiri, misalnya dengan tambahan kalimat demikian:
..ألا تَعْدِلُوْا فِى نِكَاحِ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلاثَ وَ رُبَاعَ ...فواحدةً
(.....Kamu tidak berlaku adil karena menikahi perem-puan dua, tiga sampai empat...maka (nikahi) seorang saja...)
Anak kalimat “ألاّ تَعْدِلُوْا” sudah tidak lagi menjadi akibat dari berpoligami tetapi sudah menjadi satu makna. Artinya, berpoligami itu sendiri sudah me-ngandung ketidakadilan. Disini efisiensi ayat terse-but, secara otomatis menunjukkan satu makna antara sebab dan akibatnya, yakni pada saat mulai berpoli-gami itu juga sudah berlaku tidak adil, tidak menung-gu setelah lama berpoligami barulah berlaku tidak adil. Lebih jelas lagi ketidakadilan atau kedhaliman itu ketika ditampakkan adanya pelanggaran terhadap hak seorang isteri, yakni hak untuk tidak disakiti ha-tinya ketika awal mula mempunyai niat untuk meni-kah lagi.
Kepastian tentang tiadanya kemampuan untuk berlaku adil dalam berpoligami itu bukan hanya dise-butkan dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 129, te-tapi diajarkan juga oleh Nabi Muhammad SAW. ba-gaimana sikap yang seharusnya ditempuh kalau su-dah berpoligami. Beliau berdoa memohon ampunan. Bunyi doanya demikian:
اَللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِىْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُؤَاخِذْنِىْ فِيْمَا لاَ أَمْلِكُ
(Ya Allah, inilah pembagian (giliran sesuai kemam-puan) ku maka jangan Engkau siksa karena ketidak-mampuanku). (HR. Ibn Majah).
Doa tersebut di atas menunjukkan suatu peng-akuan bahwa tidak mungkin terjadi pembagian yang adil dalam berpoligami, baik pada aspek kuantitatif maupun aspek kualitatif. Pengakuan itu juga menun-jukkan adanya niat untuk mengadakan perbaikan se-bagaimana diajarkan al-Quran, bahwa Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Penyayang kepada hambaNya yang mau mengadakan perbaikan dan memelihara diri (QS. al-Nisa’/4: 129). Niat untuk perbaikan ini ditunjukkan oleh Rasulullah SAW yang “berpoligami” karena perintah Allah SWT dengan berbagai sebab untuk kepentingan dakwah dan pen-didikan Islam melalui para isterinya.
Kedhaliman berpoligami itu ada pada ketidakadil-an. Ketidakadilan tersebut mencakup dalam hal pem-berian nafkah material dan spiritual yang bersifat kuantitas dan kualitas. Salah satu akibat dari pene-tapan adil sebagai syarat poligami adalah munculnya penafsiran kata “adil”. Boleh jadi hanya karena ingin bisa memenuhi syarat poligami maka kata “adil” di-artikan hanya untuk pembagian bersifat kuantitatif. Tidaklah bisa dipahami seorang suami memberikan materi yang sama secara adil kepada para isterinya kalau ia lebih cinta terhadap salah satu di antara pa-ra isterinya. Perbedaan kualitas cinta itu menyebab-kan adanya perbedaan pemberian berwujud materi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Inilah sumber kedhaliman poligami.

*) Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam Tidak Berpoligami?, (Surabaya: Jauhar, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan