Rabu, 02 Juni 2010

BAHASA ARAB_Kendala Pengembangan Bahasa Arab*

Memang tidak bisa diingkari adanya hubungan yang erat antara Islam dengan bahasa Arab. Penanaman citra negatif pada bahasa Arab bisa terjadi karena adanya tujuan untuk mencegah tersebarnya Islam. Sebelum tahun 1943 M. sudah direncakanan agar ada kesan bahwa bahasa Arab itu sukar. Di Eropa ada upaya pengajaran bahasa Arab yang diseponsori oleh Orientalis. Cara yang mereka lakukan untuk tingkat permulaan yaitu sudah langsung diajarkan materi yang diambil dari kitab-kitab seperti Al-Bayan wa al-Tabyin, Al-Hayawan al-Kamil, Asror al-Balaghoh, Al-Mu'allaqot al-Sab'u, yang bagi orang Arab sendiri sekarang dianggap sukar untuk dipahami. Metodenya pun sangat tradisional, dimulai dengan hafalan kaidah-kaidah nahwu dan sharaf disertai terjemahan ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman untuk ungkapan-ungkapan yang memang sukar dipahami. Dengan cara demikian maka para peminat bahasa Arab, khususnya dari kalangan pelajar muslim di sana, serempak meninggalkan pengajaran tersebut (Ali al-Hadidi: 1966, 56-59) Bahasa Arab benar-benar terkesan sukar. Gagallah pengajaan bahasa Arab. Ini sebuah kegagalan yang direncanakan.
Kadang-kadang tejadi kegagalan karena kenaifan. Seorang santri harus menghabiskan waktunya bertahun-tahun. Sementara dengan susah payah seperti itu kemampuan riel yang ia capai dalam berbahasa Arab tidak secara otomatis dapat dimanfaatkan, misalnya untuk membaca dan memahami kitab-kitab klasik berbahasa Arab, apa lagi untuk berkomunkasi dalam pergaulan dan menyampaikan ide dalam pertemuan resmi. Kritik ini pedas tapi kenyataannya demikian bahwa sistem pengajaran di pondok pesantren tradisional, selain tidak efisien sekaligus juga tidak efektif (H.A. Mukti Ali: 1987).
Sukarnya mempelajari bahasa Arab berkaitan dengan metode pembelajaran. Pada waktu itu metode belum kelihatan penting. Tidak perlu heran karena metode pada awalnya tidak terlalu penting. Baru saja dirasakan pentingnya ketika terjadi peristiwa yang merusak citra bahasa Arab. Karena itu pula lalu Pemerintah Mesir pada tahun 1943 Masehi mendirikan al-Ma'had al-Tsaqofi di London yang fungsinya memberikan pengajaran bahasa Arab untuk memberikan gambaran bahwa bahasa Arab bukan bahasa yang sukar atau mati. Pengajarnya sendiri adalah dekan Fakultas Adab Universitas Beirut, lalu disusul pencarian metode yang baik spesial untuk orang asing (selain Arab), dengan mengadakan Ma'had al-Dirasat al-Islamiyah al-Arobiy di Madrid Spanyol tahun 1959 atas prakarsa Pemerintah Mesir kerja sama dengan UNESCO tgl. 21-25 September 1959. (Ali al-Hadidi: 1966, 74-77). Hasil seminar itu adalah:
1. Titik tolak perhatian ada pada bahasa Arab fusha
2. Pengajaran dengan sebanyak-banyaknya memperaktekkan ucapan dan susunan bahasa yang baku berulang-ulang
3. Tidak memakai buku pelajaran yang beredar saat itu karena tidak sesuai lagi dengan pengajaran bahasa Arab
4. Pilih kosa kata yang banyak berkembang dan selalu dibu-tuhkan dalam jumlah total 3000 kata; 1000 untuk tingkat permulaan, 2000 untuk tingkat lanjutan dan penyajiannya tidak mufrodat tapi dalam bentuk tersusun dalam kalimat.
5. Terdiri dari dua buku, pertama utuk Marhalah Ula dengan pendekatan aural-oral approach disertai audio-visual, dan yang kedua lebih diutamakan kemampuan menulis.
6. Diupayakan buku untuk pegangan guru.
7. Buku pegangan tersebut berupa kamus atau glossar yang memuat 5000 kata termasuk 3000 kata yang ada dalam buku pelajaran. (Ali al-Hadidi: 1966, 87).
Kelihatan bahwa upaya untuk pengembangan bahasa Arab dari segi metode pembelajarannya baru dilakukan tahun 1959 M. Sebelumnya bahasa Arab tidak diupayakan untuk penyebarannya, yang ada hanya pembahasan tentang bahasa Arab secara mendetil dalam buku-buku fiqh al-lughah dan sebagainya. Ini salah satu kendala pengembangan bahasa Arab dari segi metode. Kendala dari segi metode ini dimanfaatkan oleh pihak luar. Kini para pengajar bahasa Arab sendiri perlu menggali metode yang tepat. Penggalian metode tersebut tidak cukup hanya mengambil contoh dari metode pengajaran bahasa asing (selain Arab) yang sudah ada. Perlu tindakan kritis, karena mengadopsi metode tanpa mengetahui perbedaan bahasa bisa terjebak pada metode pembelajaran bahasa asing yang tidak cocok untuk bahasa Arab. Akibatnya bisa fatal.
Selanjutnya, kepentingan memahami agama Islam memang bisa dijadikan sebagai motif mempelajari bahasa Arab. Namun kepentingan itu hanya sebatas pada kemampuan pasif. Tidak sedikit para ahli agama Islam, para da’i dan muballigh yang ahli dalam bahasa Arab tidak mempergunakannya dengan aktif, karena memang tidak diperlukan. Justru setelah memahami agama Islam dari buku-buku yang berbahasa Arab ternyata kemudian mereka menerangkan kepada umatnya dengan bahasa lokal atau bahasa umatnya sendiri yang nonArab. Akibatnya motif agama hanya sebatas untuk belajar secara pasif. Di samping itu motif agama tersebut juga terbatas hanya berguna untuk segelintir orang yang berperan sebagai da'i dan muballigh dan orang-orang yang menggantungkan kehidupannya pada pembelajaran bahasa Arab.
Dalam kenyataannya, untuk memahami agama Islam sudah tidak lagi harus mendalami bahasa Arab. Buku-buku tentang Islam yang berbahasa Arab sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bila untuk bisa khusyu' dalam shalat maka bisa dipelajari kalimat-kalimat tertentu secukupnya dan yang wajib-wajib saja seperti surat al-Fatihah, sehingga tidak harus belajar bahasa Arab sedetil-detilnya. Dengan nalar yang lebih kritis pemahaman tentang Islam sudah tidak lagi didominasi oleh para ahli bahasa Arab. Pemikiran-pemikiran baru tentang aplikasi ajaran agama Islam sering muncul dari pertanyaan–pertanyaan kritis. Dari sini kelihatan bahwa agama tidak selamanya bisa menjadi motif kuat untuk belajar bahasa Arab.
Faktor agama yang menjadi motif untuk mempelajari bahasa Arab justru bisa menjadi kendala bagi perkembangan bahasa Arab itu sendiri. Terkaitnya pengajaran bahasa Arab dengan pendalaman ilmu-ilmu keislaman merupakan kendala bagi perkembangan bahasa Arab. Demikian ini karena proses belajar mengajar bahasa Arab menjadi sebagai persiapan dalam rangka menguasai ilmu-ilmu keislaman seperti hukum agama (fiqh), teologi (tauhid), tasawuf/akhlaq, dan materi keislaman lainnya. Dalam kontek seperti ini pembelajaran bahasa Arab menjadi kering, karena fungsinya hanya menjadi medium yang tidak memiliki nafasnya sendiri sehingga terasa membosankan, seperti halnya model pengajaran yang membagi-bagi materi menjadi nahwu, sharaf, balaghoh dan insya’ (Abdurrahman Wahid: 1990, 5).
Pengalaman juga menunjukkan bahwa pada usia lanjut semangat para ahli untuk memperdalam bahasa dan satra Arab dengan seperangkat ilmu-ilmunya menjadi lebih lemah dibandingkan dengan semangat mendalami materi agama Islam secara langsung. Ilmu yang terasa dibutuhkan pada usia lanjut adalah ilmu agama Islam yang harus diperdalam semisal Hadis dan Tafsir Qur'an, sebagai bekal hidup yang langsung berkaitan dengan amal ibadah. Ilmu-ilmu yang diperlukan ini ditulis dengan bahasa sederhana, dan dapat dipahami tanpa memerlukan kajian ilmu-ilmu bahasa yang begitu komplek. Ini menyebabkan faktor agama sudah bukan lagi menjadi motif utama untuk menguasai bahasa Arab secara aktif.
Di samping itu, ditinjau dari segi ekonomi, sudah jelas tampak bahwa beberapa guru atau dosen bahasa Arab khususnya ilmu-ilmu bahasa Arab yang termasuk di dalamnya, seperti ilmu balaghoh, sastra Arab dan sebagainya, tidak menunjukkan keistimewaan atau kelebihannya. Tampak jelas bahwa secara material kurang menjanjikan bagi kebanyakan mereka yang materi kajiannya secara khusus terbatas pada bahasa Arab dan seperangkat ilmunya. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan dan memberikan dampak negatif pada pengembangan bahasa Arab itu sendiri. Buku-buku berbahasa Arab yang dimiliki secara pribadi pada saatnya nanti dihibahkan kepada perpustakaan-perpustakaan karena kurang bermanfaat di rumah. Sementara buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan yang ada di lembaga pendidikan Islam sekalipun, kurang mendapat perhatian. Perpustakaan menjadi semacam museum untuk buku-buku yang berbahasa Arab.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa motif belajar bahasa Arab dari segi material maupun spiritual kurang mendukung. Kendala pengembangan bahasa Arab terletak pada motif mempelajarinya, yakni kendala dari dalam. Faktor pendorong dari luar untuk belajar bahasa Arab menjadi relatif sangat lemah. Hanya di negeri Timur Tengah saja faktor luar ini sangat dominan. Tanpa rekayasa maksimal pengembangan bahasa Arab sulit direalisasikan di luar negara-negara Arab.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 7-11
_______________________
Kepustakaan
Abdurrahman Wahid, Prospek Pengembangan Bahasa Arab di Indonesia: Pendorong dan Kendala Kendalanya, dalam Qimah (Surabaya: Fakultas Adab, Edisi III, Agustus 1990)
Ali al-Hadidi, Musykilah Ta'lim al-Lughah al-'Arabiyah li Ghoiri al-'Arab (Kairo: Dar al- Kutub al-'Arabiy, 1966), 56-59
H.A. Mukti Ali, Meninjau Kembali Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Ulama, dalam Majalah Pesantren No. 2, Vol. IV, 1987

1 komentar:

Semoga Anda berkenan