Minggu, 13 Juni 2010

BAHASA ARAB_Macam Keterampilan Bukan Target Pembelajaran*

Masih banyak yang beranggapan bahwa tujuan belajar bahasa Arab itu adalah untuk bisa membaca kitab kuning atau kitab gundul, yakni buku-buku berbahasa Arab yang tidak dilengkapi dengan syakal khususnya tentang keislaman. Ini menunjukkan bahwa motif yang dominan dalam belajar bahasa Arab adalah agama. Proses pembelajaran dengan motif dan tujuan demikian ini mengarah pada kemampuan berbahasa secara pasif. Kepasifan tersebut menjadikan bahasa Arab tidak memasyarakat dan terkesan sulit untuk dikuasai.
Kemampuan membaca kitab kuning yang dianggap sebagai tujuan belajar bahasa Arab memunculkan anggapan berikutnya bahwa keterampilan membaca dianggap sebagai tujuan belajar bahasa Arab. Hal itu menimbulkan anggapan berikutnya, bahwa ada tujuan belajar bahasa untuk terampil membaca buku-buku berbahasa Arab dan ada tujuan belajar bahasa Arab untuk terampil berkomunikasi secara lisan.
Dalam prakteknya, ketika keterampilan membaca itu dianggap sebagai tujuan belajar bahasa Arab, maka penyiapan bahan pembelajarannya diorientasikan pada keterampilan membaca. Proses pembelajaran demikian itu sering kali dengan mengadakan latihan membaca tulisan bahasa Arab tidak bersyakal. Praktek yang demikian ini sudah pernah dilaksanakan di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan buku teksnya yang sengaja untuk tujuan terampil membaca kitab (lih. Al-‘Arabiyah al-Muyassaoroh ‘ala thariqot al-Qira’aha.: 1998). Akibatnya, kesulitan tidak bisa dihindari. Kesan sulitnya bahasa Arab justru muncul dari lembaga-lembaga yang mengadakan praktek seperti ini, termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam yang lainnya.
Tujuan pembelajaran bahasa Arab yang mengarah pada macam keterampilan berbahasa, yakni terampil membaca, menjadikan proses pembelajaran bahasa Arab tidak memiliki kejelasan tingkatan dari segi taraf kesulitannya. Krirteria yang dipakai seringkali berdasarkan pada keadaan tulisan sebagai bahan pelajarannya. Biasanya kalau bahan pelajaran itu untuk para pemula maka tulisannya disempurnakan dengan syakal, sedangkan bila bahan pelajaran itu untuk kelas senior maka tulisannya tidak dilengkapi dengan syakal. Macam-macam strukur kalimat serta ungkapan-ungkapan idiomatik tidak menjadi pertimbangan dalam penyusunan bahan pelajaran.
Tingkatan kemampuan dan penguasaan berbahasa itu memiliki standar yang jelas. Tidak mungkin ada seorang pelajar yang baru memiliki kemahiran menyimak pada tingkat dasar (elementary), sementara ia sudah memiliki kemampuan berbicara tingkat tinggi (advance). Begitu juga sebaliknya, pelajar itu tidak mungkin sudah memilki keterampilan menyimak tingkat advance sementara keterampilannya dalam berbicara masih tingkat elementary. Ini tidak akan terjadi. Tingkatan kemampuan berbahasa erat kaitannya dengan banyaknya kosa kata yang dimiliki serta macam-macam struktur bahasa yang dikuasai. Seorang pelajar yang dapat berbicara lancar dalam bahasa Arab mengenai ilmu kedokteran berarti ia juga sudah terampil menyimak bahasa Arab. Begitu juga seorang pelajar yang dapat mendengar dan paham dengan cepat uraian berbahasa Arab mengenai materi teknologi tingkat tinggi dapat dipastikan bahwa keterampilannya dalam berbicara dengan bahasa Arab sudah sangat baik.
Kemampuan seseorang berbahasa bertingkat-tingkat dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling tinggi. Kemampuan berbahasa itu distandarkan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat dasar (elementary), menengah (intermediate), dan tinggi (advance). Dalam bahasa Arab tingkat dasar dikenal dengan mubtadi'in, tingkat menengah dikenal dengan mutawassithah, dan tingkat tinggi dikenal dengan mutaqoddimin. Oleh karena itu bila keterampilan berbahasa itu masih saja dipilah-pilah menjadi empat macam, yakni menyimak, membaca, berbicara dan menulis, maka masing-masing keterampilan itu ada dalam semua jenjang kemampuan, mulai dasar sampai tingkat tinggi. Jadi ada penjenjangan pembelajaran bahasa dengan segala macam keterampilannya itu.
Ketika pembelajaran itu berada pada tingkat dasar maka segala macam keterampilannya juga sebatas berbahasa pada tingkat dasar. Bila sering latihan berbicara maka keterampilannya dalam berbicara sangat baik tetapi kemampuan berbahasanya masih tingkat dasar. Karena itu ketika tujuan pembelajaran bahasa Arab itu untuk mahir menyimak saja, maka perlu dipastikan tingkat kemahirannya itu: Apakah kemahiran menyimak itu untuk kemampuan berbahasa tingkat dasar, atau tingkat menengah atau tingkat tinggi? Kemahiran atau kelancaran berbahasa itu tergantung pada latihan dan pembiasaan. Kelancaran dalam menggunakan bahasa inilah yang disebut dengan keterampilan berbahasa.
Lancarnya seseorang menggunakan bahasa tidak menunjukkan tingkat kemampuannya dalam berbahasa. Seseorang bisa saja lancar dalam percakapan singkat mengenai salam pertemuan dan perbincangan ringan mengenai kesehatan atau cuaca yang biasa dipakai dalam pertemuan awal sebagai perkenalan. Percakapan demikian itu biasanya dihafal "di luar kepala". Ketika pembicaraan sudah meningkat mengenai masalah lainnya dengan struktur yang lain pula, maka perbincangan itu tidak lancar lagi. Ini gambaran bahwa seseorang bisa saja memiliki kelancaran berbahasa tetapi tingkat kemampuannya masih tingkat dasar, karena hanya sekedar menghafal percakapan yang 'itu-itu' saja sampai-sampai bisa menggunakannya dengan lancar dan cepat secara otomatis; tetapi di luar percakapan perkenalan itu tidak bisa lancar bahkan tidak bisa karena kosa kata dan struktur kalimat lainnya belum dipelajari atau dihafal.
Demikian ini menunjukkan bahwa macam keterampilan itu bukan target belajar bahasa Arab. Oleh karena itu sudah tidak layak lagi menyusun buku pelajaran bahasa Arab dengan berorientasi pada macam-macam keterampilan. Keterampilan diperoleh dengan repetisi, sedangkan kemampuan berbahasa diperoleh dengan memperbanyak penguasaan perbendaharaan kata dan struktur kalimat yang berlaku.
Demikian juga, menjadikan macam keterampilan berbahasa itu sebagai tahapan pembelajaran adalah tidak tepat, khususnya meng-anggap bahwa kegiatan menyimak dan mendengar itu paling mudah sehingga menjadi tahapan awal, sementara kegiatan menulis itu paling sukar dengan alasan merupakan keterampilan tingkat tinggi. Ini sama tidak tepatnya dengan menjadikan keterampilan membaca kitab gundul itu sebagai keterampilan berbahasa yang paling sukar. Oleh karena itu tidaklah tepat menganggap macam ketermpilan sebagai jenjang pembelajaran yang menggambarkan taraf kesulitan bahasa, yang selanjutnya dianggap sebagai tahapan target dalam belajar bahasa Arab. Ini semua pemahaman yang perlu dihindari.
Di samping itu perlu diketahui bahwa empat macam keterampilan berbahasa yang dikenal umum itu tidak semuanya berlaku untuk keterampilan berbahasa Arab. Ketarampilan membaca dan menulis dalam bahasa Arab tidak sama kasusnya dengan keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa asing lainnya semisal bahasa Inggris. Demikain ini karena berbeda karakter tulisannya. Oleh karena itu tujuan pembelajaran bahasa Arab, yang diawali dengan perolehan keterampilan berbicara meskipun secara sederhana (Yaumiyah) dan kemudian diakhiri dengan perolehan keterampilan membaca, yang berarti mengarah pada kemempuan berbahasa secara pasif, adalah suatu tujuan yang tidak berdasarkan pada prinsip dasar pembelajaran bahasa Arab.
Akhirnya perlu diinsafi bahwa tujuan pembelajaran bahasa pada dasarnya adalah untuk menguasai bahasa itu sendiri dengan terampil mendengar dan berbicara. Kemampuan dalam berbahasa diperoleh secara berjenjang dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Keterampilan berbahasa diperoleh dengan repetisi dalam tiap jenjangnya, utamanya pada jenjang tingkat tinggi, sehingga sampai pada tujuan pembelajaran yang ideal, yakni terampil berbahasa pada jenjang kemampuan berbahasa tingkat tinggi.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006),33-37
________________________
Kepustakaan
Al-‘Arabiyah al-Muyassaoroh ‘ala thariqot al-Qira’ah.(Surabaya: Sentra Kajian Bahasa IAIN Sunan Ampel, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Anda berkenan