Selasa, 05 Januari 2010

KEBIJAKAN MELARANG POLIGAMI*

Umat Islam masih banyak yang tidak berani melarang poligami. Sering kali umat Islam hanya bisa mengingatkan hendaknya berhati-hati, jangan sampai berlaku tidak adil. Larangan poligami dengan tegas memang sulit ditemukan. Ini bukan berarti larangan itu tidak ada. Demikian sulitnya menemukan larangan itu sehingga ada yang menganggap sama antara monogami dengan poligami dengan alasan bahwa keduanya memiliki dasar hukum agama yang kuat,[1] padahal jelas berbeda, maka hukumnya juga berbeda.

Setidaknya ada dua kekeliruan dalam anggapan yang menyatakan bahwa poligami dan monogami itu memiliki dasar hukum agama yang kuat. Kekeliruan yang pertama ada dalam hal memahami perbedaan pengertian atau makna dua kata, monogami dan poligami. Kekeliruan yang kedua ada dalam hal memahami maksud ayat yang dijadikan dasar poligami.

Pertama, mengenai perbedaan makna dua kata. Kata “monogami“ dan “poligami” itu bukan berbeda dalam arti tidak sama jumlah bilangannya seperti satu tidak sama dengan dua, dua tidak sama dengan tiga, dan dua juga tidak sama dengan seribu dan seterusnya. Monogami itu memiliki isteri satu atau tunggal sedangkan yang dimaksud dengan poligami itu adalah memiliki isteri banyak atau jamak. Poligami itu bukan kelanjutan dari monogami. Menikah lagi dan menikah lagi sehingga mempunyai isteri empat bahkan bisa sampai sepuluh dan seterusnya sampai seribu itu bukan kelanjutan dari memiliki satu isteri. Beristeri satu itu tidak sama dengan beristeri dua meskipun selisih satu saja, tetapi beristeri dua itu sama saja dengan beristeri seribu meskipun selisihnya banyak. Perbedaan monogami dengan poligami itu ada pada sifatnya. Perbedaan itu dalam arti berlawanan, tunggal dengan jamak.

Untuk mudahnya memahami adanya perbedaan dan bahkan berlawanan makna antara poligami dengan monogami perlu kiranya dikemukakan perbedaan antara makna aliran monoteisme dengan politeisme. Aliran politeisme itu bukan kelanjutan dari monoteisme, justru bertentangan. Monoteisme itu sama dengan tauhid sedangkan politeisme itu sama dengan musyrik. Kalau diperintahkan bertauhid itu berarti dilarang bermusyrik. Demikian juga kalau diperintahkan bermonogami berarti dilarang berpoligami. Keterangan yang demikian jelas ini sangat diperlukan supaya tidak lagi berulang pada anggapan yang keliru yang menyamakan monogami dengan poligami.

Kedua, mengenai pemahaman maksud ayat yang dijadikan dasar berpoligami. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa untuk memahami uslub atau gaya bahasa al-Quran (QS. al-Nisa’/4:3) membutuhkan nalar berpikir yang dalam agar bisa mengetahui maksud yang dikandung ayat tersebut. Telah diuraikan di depan bahwa ayat tersebut tidak mengarah pada pernikahan poligami, justru ayat tersebut mengandung larangan berpoligami. Larangan itu tidak secara terang-terangan dan juga tidak secara drastis, tetapi harus diterapkan sebagaimana dalam hal penghapusan perbudakan.

Praktek perbudakan di jazirah Arab pada waktu itu menjadi satu dalam sistem perekonomian bangsa Arab. Tidak bisa diubah dengan drastis karena bisa menimbulkan kegoncangan perekonomian masyarakat. Seorang budak bukan hanya sebagai seorang pembantu, tetapi dia itu sebagai barang yang diperjualbelikan. Meskipun Islam sudah hadir, perbudakan belum secara drastis dilarang. Akan tetapi hukum Islam sudah dipraktekkan yang mengarah pada penghapusan perbudakan dengan stimulan imbalan pahala yang besar kalau mau membebaskan budak, atau sebagai ganti tebusan atas dosa-dosa besar yang telah dilakukan.

Menyejajarkan poligami dengan perbudakan itu dapat dipahami dari surat al-Nisa’ ayat 3 itu sendiri yang menjelaskan bahwa orang yang ingin memuaskan nafsunya dengan banyak perempuan tanpa resiko perzinahan ataupun ketidakadilan maka diperbolehkan untuk ‘menggauli’ para budaknya tanpa dibatasi jumlahnya. Bunyi ayat tersebut jelasnya demikian:

.....فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ.....

(Artinya: .....maka )nikahilah) seorang saja (perempuan merdeka) atau budak-budak yang kamu miliki.. (QS: Al-Nisa’/4: 3).

Nabi Muhammad SAW. memerintahkan Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi, yang baru masuk Islam su-paya menceraikan enam isterinya sehingga tinggal empat,[2] Demikian Ibnu Umar menceritakan (HR. Al-Turmudzi).[3] Ini perintah terhadap seorang muallaf. Cepat atau lambat jumlah empat itu dapat dipahami sebagai sebuah terapi secara bertahap agar nantinya mengarah pada pilihan yang satu saja, yakni bermonogami.

Jumlah empat tidak bisa dipahami secara mutlak sebagai batas maksimum. Tidak terdapat sejarah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW. menyuruh umatnya menikah lagi setelah punya isteri satu atau menyuruhnya menikah lagi sampai memiliki empat isteri. Perintah yang ada adalah menceraikan isteri dari sepuluh menjadi tinggal empat. Ini mengarah pada monogami, bukan dari monogami satu isteri menjadi poligami dengan empat isteri.

Larangan berpoligami itu berbeda ketika diterapkan pada orang yang sudah lama masuk Islam, cerdas dan bukan muallaf. Dengan tegas Nabi Muhammad SAW melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami, yakni akan memadu Fatimah binti Rasulullah SAW dengan Juwairiyah binti Abi Jahl.[4] Larangan tersebut dinyatakan terang-terangan secara umum di atas mimbar sebagai berikut:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ وَهُوَ عَلَى الْمنْبَرِ إنَّ بَنِى هِشَامِ بْنِ الْمُغِيِْرَةِ اسْتَأْذَنُوْا فِىْ أنْ يُنْكِحُوْا ابْنَتَهُمْ عَلِىَّ ابْنَ أبِىْ طَالِبْ فَلا أَذَنُ ثُمَّ لا أذَنُ ثُمَّ لاَ أذَنُ إلاّ أنْ يُريْد ابْنُ أبِى طَالِبِ أنْ يُطَلّقَ ابْنَتِىْ وَ يَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإنّمَا هِىَ بِضْعَةٌ مِنىّ يُرِيْبُنِىْ مَا أرَابَهَا وَ يَؤذِيْنِىْ مَا أذَاهَا

(”Bahwasanya Miswar bin Makhramah mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar: Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughirah meminta ijinku untuk menikahkan puterinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak ijinkan, aku tidak ijinkan, aku tidak ijinkan kecuali jika Ali bin Abi Thalib menyukai untuk menceraikan puteriku dan menikahi puteri keluarga Hisyam. Sesungguhnya puteriku adalah darah dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku“) (HR Muslim) [5]

Umat Nabi Muhammad SAW yang bisa memahami hadis tersebut dan dapat menggabungkan pemahamannya dengan maksud ayat-ayat ke 3 dan ke 129 surat al-Nisa’, dapat dipastikan akan berkesimpulan hendaknya menjauhi poligami. Poligami itu dilarang secara halus. Larangan itu tidak perlu ditegaskan sebagai larangan yang makruh atau haram.

Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan kepada umatnya. Disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang disampaikan secara umum:

مَنْ كَانَتْ لَهُ اِمْرَأتَانِ فَمَالَ إلَى إحْدَاهُمَا دُوْنَ الأخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ شِقُّهُ مَائِلٌ. رواه أحمد و الأربعة

(Barang siapa yang mempunyai dua isteri sehingga ia berat sebelah kepada salah satunya, kelak ia akan datang pada hari kiamat dengan salah satu bahunya miring” (HR. Ahmad dan empat ahli hadis)[6]

Peringatan Rasulullah SAW itu tentu saja bukan hanya berkaitan dengan masalah keadilan di dunia tetapi berkaitan dengan nasib di masa depan yang jauh. Nabi Muhammad SAW tentu saja tidak senang melihat umatnya nanti dalam keadaan miring ketika dikumpulkan pada hari kiamat, maka jauh-jauh hari beliau sudah memberikan peringatan demikian itu.

Al-Quran (QS. al-Nisa’/4:3) secara utuh memperingatkan bahwa berpoligami hendaknya dijauhi oleh siapa saja yang sedang berjalan menuju tingkat ketaqwaan yang tinggi, yakni dekat pada keadilan dan jauh dari berbuat aniaya. Berlaku adil itu adalah jalan menuju taqwa. Allah SWT berfirman, yang artinya: ... Berlaku adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada taqwa...)(QS. Al-Ma’idah/5:8)

Melalui surat al-Nisa’ ayat 3 umat Islam dibim-bing secara halus agar terus meningkatkan ketaqwaan dan tidak lagi berkutat terus dalam permainan duniawi dengan pemuasan nafsu biologis yang fana ini. Kehalusan bimbingan ini merupakan wujud larangan poligami yang tidak drastis.

’Larangan’ poligami bagi umat Islam untuk sementara di dunia ini justru dapat memberikan sema-ngat untuk bisa masuk surga. Misalnya kaum laki-laki muslim dilarang memakai pakaian dari bahan sutra dan dilarang minum dengan mempergunakan tempat minuman dari emas, tetapi nanti di surga diberikan perhiasan-perhiasan itu. sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis berikut ini.

عَنْ حُذَيْقَةَ رَضِيَ الله عَنهُ فَالَ: إنَّ النَّبِىَ صلَّ اللهُ عليهِ و سلم نَهَانَا عَنِ الحَريْرِ و الدِيْبَاجِ والشُّرْبِ فِى آ نِيَةِ الذَّهَبِ والقِضَّةِ وَ قاَلَ هُنَّ لَهُمْ فِى الدُّنيَا و هِىَ لكُمْ فِى االآخِرَةِ – متفق عليه.

(Hudzaifah RA. berkata: “Nabi SAW telah melarang kami memakai sutra tipis dan tebal dan minum dalam wadah emas dan perak, dan beliau bersabda: Itu semua untuk mereka orang kafir di dunia, dan untuk kamu di akhirat) (HR. Bukhori Muslim)

Dalam hal ganjaran ini Allah SWT telah berfirman, yang artinya: “(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra” (QS. Fatir/35:33). Demikian juga terhadap perempuan-perempuan yang diinginkan padahal sudah punya isteri, maka diperintahkan untuk menahan nafsunya saat di dunia ini. Pada saatnya nanti di surga akan dikelilingi oleh bidadari-bidadari yang bermata jeli, sebagaimana diterangkan dalam al-Quran yang artinya: “Dan di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang bermata jeli” (QS. Al-Waqi’ah/ 56: 22).

Upaya menahan diri agar tidak berpoligami mengumbar nafsu inilah yang akan diganjar nanti di surga. Semua ini menunjukkan bahwa al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3) itu mengarah pada seruan untuk bermonogami, yang berarti ‘melarang’ berpoligami hanya dalam waktu sementara di dunia fana ini. Kebijakan melarang poligami tidak drastis, tetapi secara bertahap bersamaan dengan tumbuhnya keinsafan umat manusia itu sendiri sampai dengan memahami apa dan bagaimana sebenarnya poligami itu menurut al-Quran.

Pada masyarakat yang sudah mengikuti jejak Nabi dalam menghargai perempuan maka poligami sudah tidak lagi menjadi tradisi. Kehidupan kaum perempuan, baik yang janda ataupun yang yatim sudah terlindungi dengan aturan yang disepakati oleh masyarakat, baik yang tidak tertulis, yakni masih berupa budaya maupun yang sudah diundangkan seperti Kompoilasi Hukum Islam di Indonesia itu.

Adapun ketentuan hukum mubah dan sunnahnya poligami itu adalah berasal dari ijtihad orang, maka ijtihad orang lain lagi yang menyatakan bahwa poligami itu makruh tentu saja juga bisa dipertimbangkan keabsahannya. Kemakruhan perceraian itu karena dibolehkannya bercerai kalau keadaannya darurat. Kiranya demikian juga kemakruhan poligami itu, yakni boleh berpoligami karena keadaannya darurat, sebagaimana ada yang menyebutnya bahwa poligami itu sebagai ”pintu darurat kecil“. Ini dapat dimaklumi mengingat bahwa poligami itu tidak pernah diperintahkan dan juga tidak dilarang secara drastis.

Perlu diperhatikan bahwa amal yang diterima oleh Allah SWT adalah amal yang pelaksanaanya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan diperintahkan kepada umatnya. Nabi Muhammad SAW bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ – رواه مسلم

(Barang siapa mengerjakan suatu amal yang tidak aku perintahkan, maka amal itu ditolak). (HR. Muslim).

Dengan memperhatikan hadis tersebut di atas, maka siapa saja yang hendak berpoligami dengan memakai dasar ajaran Islam seharusnya lebih dulu mendapatkan dalil yang memerintahkan, minimal ada dalil yang hanya menganjurkannya. Demikian ini karena amal-amal yang dikerjakan oleh umat Islam adalah amal yang wajib dan yang sunnah, yakni amal yang ada perintahnya, bukan amal makruh yang harus dijauhi, apalagi amal yang haram.

Sampai sejauh ini tidak ada perintah untuk berpoligami secara mutlak, semisal perintah shalat wajib atau amalan-amalan yang sunnah, seperti perintah shalat dluha, shalat witir, puasa sunnah tiga hari pada tiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan qomariyah, ta’jil berbuka puasa, membersihkan gigi, bersuci di kamar kecil dengan tangan kiri dan seterusnya sampai dengan mencium tapak tangan setelah melambaikannya kepada hajar aswad ketika bertawaf. Semua amal yang wajib dan sunnah ada dalil dan perintah untuk mengerjakan, dan setidak-tidaknya ada anjuran ringan untuk amalan sunnah.

Menentukan bahwa poligami sebagai suatu perbuatan yang makruh dan bahkan haram tidaklah berlebihan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat hukum nikah saja yang sudah jelas bahwa pernikahan itu diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bagi yang mampu untuk berkeluarga tetapi belum menikah, bisa berkisar dari wajib sampai dengan haram. Haramnya nikah disebabkan adanya niat akan menyakiti perempuan yang akan dinikahi.[7] Kedhaliman terhadap isteri ’tua’ dan juga terhadap isteri ’muda’ sudah tidak diragukan lagi. Hak isteri ’tua’ sudah jelas terkurangi dengan adanya isteri ’muda’, dan hak isteri ’muda’ dari awal sudah tidak dapat terpenuhi seutuhnya karena sudah harus berbagi dengan isteri ’tua’. Pengurangan hak demikian itu bagi seorang perempuan merdeka sudah jelas merupakan aniaya yang teselubung.

Ketika poligami itu dinyatakan sebagai amalan makruh maka hal ini mendekati kesesuaian. Tetapi apalah artinya memaksakan diri menentukan hukum makruh terhadap poligami kalau hanya berbantah dalam hal ijtihad saja. Bukan hanya yang makruh perlu dijauhi, tetapi yang syubhat pun mesti dihindari. Memang sering kelihatan bahwa amalan makruh itu dilakukan karena terpaksa. Biasanya amalan makruh itu karena dorongan egois yang membahayakan kesehatan (kesejahteraan) diri dan atau umat manusia di sekitarnya. Seperti hukum merokok, ada yang menyatakan makruh, bahkan ada juga yang menyatakan haram seperti di Mekkah, khususnya di sekitar Masjid al-Haram. Alasannya karena membahayakan diri dan juga mengganggu orang yang ada di sekitarnya.

Dengan memperhatikan kasus merokok tersebut di atas, maka sebagian umat Islam ada yang menghukumi poligami itu haram karena melihat tiadanya alasan yang jelas semisal adanya alasan yang dianggap darurat. Poligami yang sering terjadi dewasa ini bukan karena darurat tetapi hanya karena eksploitasi kekayaan belaka. Artinya, poligami bisa terjadi hanya karena adanya uang yang berlimpah.

Dengan memahami bahwa berpoligami itu mesti berbuat dhalim, dengan perlakuan yang tidak adil, maka tidak akan mungkin al-Quran menyuruh berpoligami. Larangan agar tidak berpoligami memang tidak diungkapkan dengan gaya bahasa yang melarang secara tegas, akan tetapi larangan demikian mudah dipahami. Bagaimana mungkin terjadi al-Quran itu menyuruh umat manusia untuk berbuat dhalim? Adapun dalil dari hadis, maka tidak pernah ada perintah Nabi Muhammad SAW untuk berpoligami. Nabi Muhammad SAW tidak akan mungkin memerintahkan umatnya untuk berlaku tidak adil atau berbuat aniaya melalui poligami.

Poligami dengan latar belakang berlimpahnya kekayaan dan kekuasaan tidak dipermasalahkan oleh Islam kalau dengan para budaknya. Kiranya inilah jalan keluar bagi yang ingin meredakan nafsunya dengan banyak perempuan atau ingin menolong para budak untuk bisa menjadi merdeka. Tampak betapa indahnya ajaran Islam, bahwa kebolehan berpoligami itu dibarengi dengan niat atau tujuan yang sangat mulia, yakni memerdekakan para hamba sahaya. Jadi tampak jelaslah bahwa kebijakan melarang poligami itu tidak berbeda dengan melarang perbudakan, tidak terang-terangan, tidak drastis dan tidak berbenturan dengan kelaziman budaya setempat.

*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009), 39-51



Catatan Akhir

[1] Hasan Aedy, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan (Ban-dung: Alfabeta, 2007), 84

[2] Lihat Imam Ahmad, Musnad Ahmad, “Kitab Musnad al-Mukatstsirin Min al-Shahabah”. Hadis No. 4380

[3] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ al-Shahih , Sunan Al-Turmudzi (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Vol III), 435

[4] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Shahih Muslim (Ban-dung: Ma’arif, t.t Vol. 2), h. 376.

[5] Bukhori, Shahih Bukhori, kitab Nikah, Hadis No. 4829, Muslim, Shahih Muslim Kitab Al-Fadloil al-Shahabah, hadis No. 4482, Imam Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi Kitab al-Manaqib hadis No. 3802. Imam Abu Daud, Sunan Abi daud, Kitab al-Nikah, hadis No. 1773, Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Nikah, hadis No. 1988, Imam Ahmad, Musnad Ahmad Kitab al-Musnad al-Kufiyyin, hadis No. 18164

[6] Lihat Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah, Hadis No. 1821; Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah, Hadis No. 1959

[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1997), 382.

7 komentar:

  1. Mudah mudahan banyak orang yang membaca artikel ini, baik pria maupun wanita, sehinnga mendapat pencerahan tentang poligami. dan bisa berpikir leih dalam sebelum bertindak.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum....Lalu,kenapa Rasululloh sendiri melakukan poligami?Wassalam...

    BalasHapus
  3. “Haramnya nikah disebabkan adanya niat akan menyakiti perempuan yang akan dinikahi”

    kalau sebelum menikah niatnya akan poligami, itu kan sama saja dengan 'niat akan menyakiti perempuan yang akan dinikahi', berarti itu haram..... (berlaku untuk istri pertama)
    Karena bagaimanapun istri pertama ikhlas dipologami tetap pasti hatinya sakit...........

    BalasHapus
  4. "Poligami dengan latar belakang berlimpahnya kekayaan dan kekuasaan tidak dipermasalahkan oleh Islam kalau dengan para budaknya"

    Zaman sekarang tidak ada yang namanya budak,
    pelanggaran HAM itu namanya


    BalasHapus
  5. 'Kiranya inilah jalan keluar bagi yang ingin meredakan nafsunya dengan banyak perempuan atau ingin menolong para budak untuk bisa menjadi merdeka'

    Gak bisa ya meredakan nafsu dengan istighfar, dll

    jika ingin menolong para budak untuk bisa menjadi merdeka memang gak bisa secara ikhlas ya tanpa adanya pamrih harus poligami atau carikan saja laki-laki yang masih bujangan yang belum punya satupun istri(untuk zaman dulu).....

    dan untuk zaman sekarang tidak boleh ada yang namanya budak sangat jelas pelanggaran HAM, jika pun ada dan ingin dimerdekakan bantulah dia dengan memberikannya pendidikan tinggi, karena dengan pendidikan derajat manusia menjadi tinggi, baik di mata Allah SWT maupun dimata manusia lain,

    BalasHapus
  6. "Tampak betapa indahnya ajaran Islam..."

    Indah bagi laki-laki, bagi perempuan terutama istri pertama??????????

    BalasHapus
  7. Poligami tidak cocok untuk zaman sekarang......

    dan untuk para wanita yang ingin derajat nya tinggi, cari lah ilmu/pendidikan jangan kawin dengan suami kaya sudah beristri,,,

    emang dengan menikahi suami kaya jadi tinggi derajat perempuan??? iya di mata manusia, di mata Allah SWT????(kecuali istri para nabi)

    dimata manusia pun tidak semua manusia menganggap nya, karena ada sebagian manusia yang menganggap poligami adalah tabu......

    BalasHapus

Semoga Anda berkenan