Rabu, 02 Desember 2009

Syarat Poligami yang Salah Kaprah*

Sampai sejauh ini banyak orang yang menganggap bahwa syarat poligami adalah adil. Syarat adil ini dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, bab IX pasal 55 ayat 2, yang menyatakan bahwa syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.[1] Belum dipahami bahwa adil itu bukan syarat poligami. Sampai dengan disusunnya buku ini Kompilasi Hukum Islam itu masih diberlakukan. Sudah terlalu lama anggapan yang keliru ini sehingga bisa dinyatakan salah kaprah.

Boleh saja orang awam memberikan syarat adil untuk poligami, tetapi tidak selayaknya umat Islam ikut-ikutan demikian. Lebih naïf lagi kalau dikatakan bahwa syarat adil untuk berpoligami demikian itu berdasarkan kitab suci al-Quran. Ayat-ayat suci al-Quran tidak ada yang menyatakan demikian. Ini yang perlu diuraikan agar jelas.

Umat Islam yang ikut-ikutan menjadikan adil sebagai syarat berpoligami biasanya berusaha mencarikan legitimasinya dari ayat-ayat al-Quran. Mereka mengira bahwa ada ayat al-Quran yang memberikan syarat adil untuk berpoligami. Ayat al-Quran yang dianggap memberikan syarat adil untuk berpoligami itu adalah potongan ayat ketiga surat al-Nisa’. Potongan ayat tersebut berbunyi demikian:

...)فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ ...(

(...maka jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja atau budak-budak yang kamu miliki..)(QS. 4:3).

Secara sepintas memang kelihatannya ayat tersebut menjadikan adil sebagai syarat untuk berpoligami. Selama ini banyak yang memahami demikian dengan menerjemahkan ayat itu demikian: “jika kamu tidak (akan) berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja”. Ini adalah pemahaman yang keliru, tidak sesuai dengan terjemahan yang semestinya. Ada kata “خِفْتُمْ“ (takut) yang dibuang sehingga menjadi: “jika kamu tidak (akan) berlaku adil...” padahal seharusnya berbunyi: “...jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja.....”

Dalam kenyataannya pada potongan ayat tersebut terdapat kata “إنْ” yang berarti “jika”, dan kata “فَ” yang berarti maka. Kalimat yang mengandung kata “إنْ” dan “فَ” demikian ini berstruktur pengandaian atau Uslub al-Syarthi. Kata “إنْ” sebagai “adat syarat” dan kata setelah “فَ” sebagai “jawab syarat”. Kata setelah “إنْ” itu sebagai syarat untuk terjadinya sesuatu yang lain yakni setelah kata “فَ” yang menjadi jawab syarat. Kata yang dijadikan syarat setelah “إنْ” adalah anak kalimat “خِفْتُمْ” yang artinya “kamu takut”, bukan kata “لا تَعْدِلُوا” yang artinya “kamu tidak (akan) berlaku adil”. Lengkapnya adalah “فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا“ yang artinya „maka jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil”.

Dengan memperhatikan struktur “syarat” tersebut maka tampak jelas bahwa yang disyaratkan adalah adanya rasa takut, bukan adanya perlakuan yang tidak adil ketika berpoligami. Dari potongan ayat dengan susunan demikian ini dapat dipahami bahwa ada orang yang takut berlaku tidak adil dan ada juga orang yang tidak takut berlaku tidak adil dalam berpoligami. Jadi kalau merasa takut tidak berlaku adil dalam berpoligami maka hendaknya menikahi seorang perempuan saja. Anjuran menikahi seorang perempuan saja yang berbunyi “فَوَاحِدَةً“ adalah sebagai jawab syarat dari kata “فإنْ خِفْتُمْ“. Potongan ayat tersebut tidak mensyaratkan keadilan untuk bepoligami, karena tidak berbunyi “ فَإنْ لا تَعْدِلُوا“ yang artinya “jika kamu tidak berlaku adil”. Jadi jelas bahwa maksud potongan ayat itu adalah “jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil, maka nikahi seorang perempuan saja”, bukan “jika kamu tidak (akan) berlaku adil, maka nikahi seorang perempuan saja”.

Menentukan adil sebagai syarat untuk berpoligami dengan dasar ayat ketiga surat al-Nisa’ tersebut mempunyai dua kekeliruan yang nyata. Kekeliruan yang pertama adalah dari segi pemahaman makna ayat, yakni tidak mengetahui kata yang sebetulnya menjadi syarat dalam potongan ayat tersebut. Adapun kekeliruan kedua adalah dari segi pemahaman terhadap Uslub al-Syarthi atau struktur pengandaian, yakni terlaksananya jawab syarat itu apabila sudah terpenuhi syaratnya.

Perbuatan yang menjadi jawab syarat itu baru bisa dinyatakan sah untuk dilakukan kalau syarat sebelumnya sudah dipenuhi. Kalau “adil” dijadikan syarat untuk berpoligami maka seseorang harus adil lebih dulu sebelum berpoligami. Sebelum berpoligami orang hanya mempunyai satu isteri, tidak ada isteri yang lain yang dijadikan tolok ukur untuk menimbang atau mengukur keadilan suami itu, misalnya dalam pemberian nafkah atau pembagian ‘giliran’.

Syarat adil tersebut belum pernah dan tidak akan pernah dapat dipenuhi karena isterinya baru satu. Meskipun pada waktu mulai menikah, langsung saja dengan dua orang perempuan atau lebih, yang kelihatannya bersamaan, tetapi pernikahan itu tetap saja berlangsung satu persatu, yakni ada yang pertama dan ada yang kedua dan seterusnya. Tidak ada orang menikahi isteri lebih dari satu bersamaan akad nikahnya. Dari sini dapat dipahami bahwa penentuan adil sebagai syarat yang harus dipenuhi lebih dulu untuk berpoligami adalah mustahil. Kemustahilan demikian ini tidak mungkin berasal dari al-Quran.

Selanjutnya apabila yang dimaksudkan dengan kata “syarat” itu adalah adil terhadap isteri-isterinya di waktu nanti ketika sudah berpoligami, maka itu namanya bukan “syarat” berpoligami tetapi ‘rukun’ yang sudah biasa digunakan sebagai istilah dalam ilmu fiqh. Kalau yang dimaksud dengan syarat adil dalam berpoligami itu memang apa yang biasa disebut dengan ‘rukun’ tersebut maka setiap kali seorang suami berbuat tidak adil secara otomatis gugurlah pernikahan (poligaminya) itu karena syaratnya telah dilanggar atau digugurkan oleh perlakuannya yang tidak adil itu. Demikian seterusnya apabila syarat poligami itu sering gugur maka harus sering diulangi pernikahan (poligaminya) itu setiap kali berbuat tidak adil. Ini adalah suatu perbuatan dhalim yang mustahil bisa dilakukan.

Dalam petunjuk al-Quran, seorang suami itu tidak akan mampu berlaku adil dalam berpoligami. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran. Allah SWT. berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَ تَتَّقُوْا فإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا .

(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) (QS. Al-Nisa’/4: 129).

Sangat jelas bahwa adil dalam poligami itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa adil itu bukan syarat berpoligami. Al-Quran tidak mungkin menjadikan adil sebagai syarat berpoligami karena sangat tidak masuk akal kalau al-Quran menjadikan sesuatu yang tidak mungkin dapat terpenuhi sebagai syarat untuk sesuatu yang lain. Kajian ini menunjukkan bahwa sebetulnya adil itu tidak tepat kalau dijadikan sebagai syarat untuk berpoligami.

Boleh jadi para penggagas syarat adil untuk poligami tersebut bermaksud untuk menjaga agar tidak terjadi kedhaliman terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Diberikan syarat adil yang begitu berat masih saja terjadi poligami, apalagi kalau tidak diberi syarat. Demikian alasan yang sering dikemukakan. Kemudian bisa jadi usulan untuk menghapus syarat poligami yang salah kaprah itu dianggap sebagai tindakan kurang hati-hati, tetapi perlu diingat kembali bahwa kemaslahatan yang besar itu tidak lahir dari dasar yang keliru. Justru dari dasar keliru ini akan menimbulkan kekeliruan berikutnya yang akibat dan dampaknya lebih besar.

Memang, tiadanya syarat adil untuk berpoligami sering kali memunculkan secara ”tiba-tiba” kesimpulan yang keliru. Hanya karena dorongan keinginan yang begitu kuat untuk berpoligami maka banyak orang awam mudah cenderung untuk memahami makna ayat tersebut dengan pemahaman terbalik yang dikenal dengan mafhum mukhalafah. Semula arti potongan ayat dengan syarat “khiftum“ tersebut demikian: “Jika kamu takut tidak (akan) berlaku adil maka (hendaklah menikahi) seorang perempuan saja“. Mafhum mukhalafahnya menjadi demikian: “Jika kamu berani tidak berlaku adil maka boleh-boleh saja berpoligami“.

Menarik kesimpulan dengan cara mafhum mukhalafah demikian itu tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Makna ayat secara utuh tidak bisa diabaikan. Demikian ini banyak contohnya, bahkan dalam ung-kapan dari bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan sebagai pelajaran moral dalam tradisi di Indonesia (Jawa dan Madura) demikian: “Apabila anda dicubit merasa sakit maka anda janganlah mencubit”. Ungkapan demikian ini bukan berarti bahwa apabila anda tidak merasa sakit ketika dicubit maka anda boleh-boleh saja mencubit. Arah nasehat tersebut adalah hendaknya tidak berbuat aniaya kepada orang lain, bukannya memperbolehkan mencubit karena dirinya tidak sakit kalau dicubit. Kiranya demikian juga makna utuh ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut. Syarat untuk berpoligami tidak ada tetapi maksud ayat tersebut mengarah pada pernikahan monogami agar tidak terjadi perbuatan dhalim melalui ketidakadilan dalam berpoligami.

Adapun akibat dan dampak dari kekeliruan menjadikan adil sebagai syarat berpoligami tentu saja akan tampak dengan sendirinya, baik sesudah terjadi poligami ataupun masih hanya dalam pembenaran terhadap konsep adanya syarat yang salah kaprah tersebut. Masalah yang perlu diperhatikan adalah kemauan untuk meninggalkan syarat salah kaprah itu demi menuju kebenaran (al-haq) dan mencapai kemaslahatan yang lebih besar. Ini bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa.

*) Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam Tidak Berpoligami? (Surabaya: Jauhar, 2009)

[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), 175. Lihat: Anonim, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), 17.

1 komentar:

  1. makasih prof DR Saidun.., menambah wawasan saya tentang poligami. elyaquby@yahoo.co.id

    BalasHapus

Semoga Anda berkenan