Jumat, 11 Desember 2009

ISTIDRAJ DALAM PERINTAH BERPOLIGAMI*

Umat Islam senantiasa bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan. Kalaupun ada yang menganggap bahwa hukum berpoligami itu mubah, masih tetap saja umat Islam tidak dengan bebas mau melakukannya. Pertimbangan praktis mengenai resiko perbuatannya sangat diperhatikan dalam rangka untuk menjaga kesucian diri. Pada gilirannya segenap umat Islam bisa terjaga dari hal-hal yang syubhat.
Dalam hal poligami, umat Islam sangat berhati-hati. Sayang sekali kehati-hatiannya itu sekali waktu diterapkan dengan terbalik oleh beberapa pelaku poligami. Mereka bukannya berhati-hati menjaga diri dari poligami, tetapi berhati-hati dalam mencari argumentasi, yakni bagaimana agar poligaminya itu bisa dianggap sebagai upaya melaksanakan ibadah, dibenarkan oleh masyarakat sekitarnya dan disetujui oleh isteri yang dimadu serta tetap dipandang positif oleh anak-anaknya.
Al-Quran (QS. al-Nisa’/4: 3) mengingatkan agar selalu berbuat adil dengan tidak mengambil hak-hak anak yatim yang mestinya dilindungi. Sayang sekali ada saja keinginan kuat untuk menguasai harta anak yatim tersebut dengan cara menikahinya. Kalau keinginan untuk menikahi anak yatim itu dibiarkan saja maka pasti akan terjadi kedhaliman. Islam melarang kedhaliman maka dengan serta-merta diberikan jalan keluarnya. Hal ini diterangkan dalam ayat itu dengan mempergunakan huruf (حَرف) yang berfungsi sebagai kata sambung, yaitu “ف” (fa’ jawab) yang memerintahkan untuk menikahi perempuan yang lain saja. Bunyi ayat tersebut demikian :
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلثَ وَ رُبَعَ
(Maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat) (QS. 4:3).
Begitu kuatnya keinginan untuk menguasai anak yatim beserta hartanya itu sampai-sampai diberikan alternatif untuk menikah lebih dari satu asalkan bukan anak yatim itu.
Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa dengan beristeri dua sampai empat orang itu bukan berarti sudah adil atau sudah tidak berbuat kedhaliman. Poligaminya itu tetap saja berbuat kedhaliman tetapi tidak terhadap anak yatim itu, yakni kedhalimannya berpindah dari dhalim terhadap anak yatim kepada dhalim terhadap perempuan yang lain. Demikian ini dijelaskan pada lanjutan ayat itu secara langsung, bahwa pasti terjadi kedhaliman ketika berpoligami dengan menikahi dua sampai empat perempuan selain anak yatim itu, maka diperintahkan untuk menikahi satu saja perempuan yang merdeka, atau kalau masih saja ingin mempunyai banyak isteri maka bisa menikahi para budaknya tanpa dibatasi jumlahnya. Lanjutan ayat itu demikian:
...فإنْ خِفْتُمْ ألاّ تَعْدِلُوْا: فَوَاحِدَةً أوْ ما مَلَكَتْ أيْمَنُكُمْ...
(..jika kamu takut tidak berlaku adil maka nikahilah seorang perempuan saja atau budak-budak yang kamu miliki... QS: Al-Nisa’/4: 3).
Pada mulanya dapat dipahami dengan sederhana bahwa perintah untuk beristeri lebih dari satu itu adalah pengalihan agar tidak berbuat dhalim terhadap anak yatim itu. Perintah untuk beristeri lebih dari satu menunjukkan betapa kuatnya hasrat untuk menikahi anak yatim itu yang mana kekuatannya itu digambarkan sekuat nafsu untuk beristeri banyak. Dari struktur kalimat tersebut perlu diketahui lebih jauh bahwa fi’il amr demikian itu bukan hanya perintah biasa untuk dilaksanakan, karena salah satu di antara kandungan maksud perintah fi’il amr adalah untuk peringatan atau ancaman (التهديد).
Orang yang tidak memahami adanya peringatan dan ancaman pada perintah dalam fi’il amr itu akan merasa aman-aman saja melaksanakan perintah itu. Orang itu tidak merasa bahwa perintah menikah lebih dari satu demikian itu bisa menjadi istidraj. Perintah tersebut menjadi istidraj bagi orang yang tidak mau menahan nafsunya. Orang yang tidak mau menahan nafsu itu bukan berarti tidak mampu menahan nafsu, tetapi orang itu membiarkan nafsunya berkobar dan boleh jadi suka mengumbar dan biasa membangkit-bangkitkan nafsunya.
Perlu diingat kembali bahwa Al-Quran merupakan mukjizat kasih sayang untuk memberi petunjuk. Al-Quran tidak membiarkan orang keliru dalam memahaminya. Agar tidak diambil alternatif menikah dengan banyak perempuan maka langsung dengan menggunakan kata sambung huruf “ف” (fa’ jawab) yang segera memperingatkan agar tidak berpoligami, yakni untuk segera mensucikan diri dari kedhaliman dengan cara menikahi satu saja perempuan yang merdeka atau budak-budak yang dimiliki. Pilihan pada budak-budak yang dimiliki tanpa batasan jumlah itu diberikan tanpa resiko timbulnya ketidakadilan. Dengan demikian tidak akan terjadi kedhaliman sesuai dengan maksud ayat yang dinyatakan di akhir ayat itu (QS: Al-Nisa’/4: 3):
ذَلِكَ أدْنَى ألاّ تَعُوْلُوْا
(Yang demikian (satu isteri atau dengan para budak) itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)
Sekilas memang kelihatannya ayat tersebut menyuruh menikah lebih dari satu, tetapi secara seksama tampak dengan jelas bahwa struktur kalimat yang memakai fi’il amr (فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ) tidak mutlak dimaksudkan untuk perintah yang harus dikerjakan, apalagi sudah ada qarinah atau tanda bukti yang menunjukkan bahwa maksud kalimat itu bukan perin-tah. Struktur bahasa Arab demikian itu menggambarkan adanya penekanan makna untuk diperhatikan apa yang sebenarnya tersirat dalam kalimat itu secara keseluruhan. Orang-orang yang sangat berhati-hati, dalam arti sebenarnya, menindaklanjuti ayat itu sesuai dengan arah ayat tersebut, yaitu mendekat ke arah yang tidak dhalim atau menjauhi perilaku aniaya dengan tidak berpoligami.
Gaya bahasa ayat tersebut di atas yang menyatakan demikian: ...“maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat” .., itu bukan berarti membiarkan atau memberi kebebasan orang untuk mengumbar nafsunya dengan berpoligami. Gaya bahasa demikian banyak contohnya dalam bahasa Indonesia, misalnya ketika seorang anak memanjat pohon lalu dicegah oleh orang tuanya dengan menyeru: “Ayo teruskan naik, kalau jatuh kakimu nanti bisa patah!”. Dalam kalimat itu ada perintah tetapi diikuti dengan peringatan. Kiranya demikian juga makna surat al-Nisa’ ayat 3 ter-sebut selengkapnya. Di bagian depan kelihatan seperti diperintahkan berpoligami tetapi di bagian akhir ayat diberi pilihan yang paling baik. Perintah di awal ayat yang diberi persyaratan itu tidak layak untuk dikerjakan karena dilanjutkan dengan anjuran seba-gai pilihan yang baik, yakni bermonogami atau menikahi budak-budak itu. Sebagai kelanjutannya kalau tetap saja ingin berpoligami tetapi dengan menikahi para budaknya maka akan lebih baik bagi budak-budak itu karena anak-anaknya di kemudian hari sebagai manusia yang sudah merdeka, yakni sudah tidak lagi berstatus budak seperti ibunya.
Ayat itu memberikan petunjuk untuk mengadakan perubahan dari kecenderungan untuk berbuat aniaya berubah menjadi kecenderungan untuk berbuat kemakrufan, yakni dari nafsu untuk menguasai anak yatim beserta hartanya berubah menjadi memerdekakan budak dengan cara yang sangat terpuji dengan penuh kesadaran. Adapun jumlah perempuan (merdeka) yang dinikahi dari dua sampai dengan empat itu pada dasarnya untuk menunjukkan jumlah banyak, karena dapat dipahami bahwa isteri dua, tiga ataupun empat tidaklah berbeda, sama disebut poligami. Meskipun demikian bilangan empat yang dianggap sebagai batasan itu patut diperhatikan karena di sana terdapat rahasia yang belum diketahui oleh orang awam, mengapa sejumlah empat.
Pilihan dua sampai empat perempuan itu bisa jadi merupakan peringatan sindiran atas keinginan untuk pemuasan nafsu belaka. Banyaknya jumlah perempuan yang diperintahkan untuk dinikahi itulah yang menunjukkan istidraj, sehingga maksud ayat itu dapat dipahami demikian: ...”sudahlah, kawini saja perempuan-perempuan mana yang kamu sukai sebanyak mungkin untuk memenuhi kobaran nafsumu, asal jangan menikahi anak yatim itu”... Hal yang demikian itu menunjukkan tiadanya kemauan untuk menahan nafsu maka bandingannya itu sama halnya dengan keinginan untuk menikah lebih dari satu karena kobaran nafsu yang tidak ditahan sepertinya tidak cukup dengan satu isteri saja.

*Saidun Fiddaroini, Mengapa Umat Islam tidak Berpoligami (Surabaya : Jauhar, 2009), 23 - 29

1 komentar:

  1. terimakash prof.., menambah wawasan saya tentang poligami. salam dari Ya'qub Al Khoziny.

    BalasHapus

Semoga Anda berkenan